…. jejakku, cintaku ….

Posts tagged “iman

Menemani Selama 40 Hari

kata-mutiara-islam-tentang-kematian-2

Alkisah seorang Konglomerat yang sangat kaya raya menulis surat wasiat: “Barang siapa yang mau menemaniku selama 40 hari di dalam kubur setelah aku mati nanti, akan aku beri warisan separuh dari harta peninggalanku.”

Lalu ditanyakanlah hal itu kepada anak-anaknya apakah mereka sanggup menjaganya di dalam kubur nanti.
Tapi anak-anaknya menjawab, “Mana mungkin kami sanggup menjaga ayah, karena pada saat itu ayah sudah menjadi mayat.”

Keesokan harinya, dipanggillah semua adik-adiknya. Dan beliau kembali bertanya, “Adik-adikku, sanggupkah diantara kalian menemaniku di dalam kubur selama 40 hari setelah aku mati nanti? Aku akan memberi setengah dari hartaku!”

Adik-adiknya pun menjawab, “Apakah engkau sudah gila? Mana mungkin ada orang yang sanggup bersama mayat selama itu di dalam tanah.”

Lalu dengan sedih Konglomerat tadi memanggil ajudannya, untuk mengumumkan penawaran istimewanya itu ke se antero negeri.

Akhirnya, sampai jugalah pada hari di mana Konglomerat tersebut kembali ke Rahmatullah. Kuburnya dihias megah laksana sebuah peristirahatan termewah dengan semua perlengkapannya.

Pada waktu yang hampir bersamaan, seorang Tukang Kayu yang sangat miskin mendengar pengumuman wasiat tersebut. Lalu Tukang Kayu tersebut dengan tergesa-gesa segera datang ke rumah Konglomerat tersebut untuk memberitahukan kepada ahli waris akan kesanggupannya.

Keesokan harinya dikebumikanlah jenazah Sang Konglomerat. Si Tukang Kayu pun ikut turun ke dalam liang lahat sambil membawa Kapaknya. Yang paling berharga dimiliki si Tukang Kayu hanya Kapak, untuk bekerja mencari nafkah.

Setelah tujuh langkah para pengantar jenazah meninggalkan area pemakaman, datanglah Malaikat Mungkar dan Nakir ke dalam kubur tersebut.

Si Tukang kayu menyadari siapa yang datang, ia segera agak menjauh dari mayat Konglomerat. Di benaknya, sudah tiba saatnya lah si Konglomerat akan diinterogasi oleh Malaikat Mungkar dan Nakir.

Tapi yang terjadi malah sebaliknya, Malaikat Mungkar-Nakir malah menuju ke arahnya dan bertanya, “Apa yang kau lakukan di sini?”

Aku menemani mayat ini selama 40 hari untuk mendapatkan setengah dari harta warisannya”, jawab si Tukang kayu.

Apa saja harta yang kau miliki?”, tanya Mungkar-Nakir.
“Hartaku cuma Kapak ini saja, untuk mencari rezeki”, jawab si Tukang Kayu.

Kemudian Mungkar-Nakir bertanya lagi, “Dari mana kau dapatkan Kapakmu ini?”
“Aku membelinya”, balas si Tukang Kayu.
Lalu pergilah Mungkar dan Nakir dari dalam kubur tersebut.

Besok di hari kedua, mereka datang lagi dan bertanya, “Apa saja yang kau lakukan dengan Kapakmu?”
“Aku menebang pohon untuk dijadikan kayu bakar, lalu aku jual ke pasar”, jawab tukang kayu.

Di hari ketiga ditanya lagi, “Pohon siapa yang kau tebang dengan Kapakmu ini?”
“Pohon itu tumbuh di hutan belantara, jadi ngak ada yang punya”, jawab si Tukang Kayu.
“Apa kau yakin?”, lanjut Malaikat.
Kemudian mereka menghilang.

Datang lagi di hari ke empat, bertanya lagi “Adakah kau potong pohon-pohon tersebut dengan Kapak ini sesuai ukurannya dan beratnya yang sama untuk dijual?”
“Aku potong dikira-kira saja, mana mungkin ukurannya bisa sama rata”, tegas tukang kayu.

Begitu terus yang dilakukan Malaikat Mungkar Nakir, datang dan pergi sampai tak terasa sekarang 39 hari sudah. Dan yang ditanyakan masih berkisar dengan Kapak tersebut.

Di hari terakhir yang ke 40, datanglah Mungkar dan Nakir sekali lagi bertemu dengan Tukang kayu tersebut. Berkata Mungkar dan Nakir, “Hari ini kami akan kembali bertanya soal Kapakmu ini”.

Belum sempat Mungkar-Nakir melanjutkan pertanyaannya, si Tukang kayu tersebut segera melarikan diri ke atas dan membuka pintu kubur tersebut. Ternyata di luar sudah banyak orang yang menantikan kehadirannya untuk keluar dari kubur tersebut.

Si Tukang Kayu dengan tergesa-gesa keluar dan lari meninggalkan mereka sambil berteriak, “Kalian ambil saja semua bagian harta warisan ini, karena aku sudah tidak menginginkannya lagi.”

Sesampai di rumah, si Tukang Kayu berkata kepada istrinya, “Aku sudah tidak menginginkan separuh harta warisan dari mayat itu. Di dunia ini harta yang kumiliki padahal cuma satu Kapak ini, tapi Malaikat Mungkar-Nakir selama 40 hari yang mereka tanyakan dan persoalkan masih saja di seputar Kapak ini. Bagaimana jadinya kalau hartaku begitu banyak? Entah berapa lama dan bagaimana aku menjawabnya.”

Dari Ibnu Mas’ud RA dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau bersabda, “Tidak akan bergerak tapak kaki anak Adam pada hari kiamat, hingga ia ditanya tentang 5 perkara, yaitu umurnya untuk apa dihabiskannya, masa mudanya kemana dipergunakannya, hartanya darimana ia memperolehnya dan kemana dibelanjakannya, ilmunya sejauh mana diamalkan?” (HR. Turmudzi)

Sumber : ONE DAY ONE JUZ Community


WANITA PENGHUNI SURGA

imagesperempuansholeh

Oleh : KH Hafidz Abdurrahman

Dari Atha’ bin Abi Rabah berkata, Ibn ‘Abbas berkata padaku, “Maukah aku tunjukkan seorang wanita penghuni surga?” Aku menjawab, “Ya”

Ibn ‘Abbas berkata, “Wanita hitam itulah yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, ‘Aku menderita penyakit ayan (epilepsi) dan auratku tersingkap (saat penyakitku kambuh). Doakanlah untukku, ya Rasulullah, agar Allah Menyembuhkannya.’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Jika kamu mau, kamu bisa bersabar, dan kamu mendapatkan surga. Tetapi, kalau kamu mau, aku pun akan mendoakanmu, agar Allah menyembuhkanmu.”

Wanita itu tanpa ragu menjawab, pilihan yang diberikan Nabi, “Aku memilih bersabar, ya Rasul.” Dia pun melanjutkan penuturannya, “Tetapi, saat penyakit ayanku kambuh, auratku tersingkap. Mohon doakanlah aku, agar auratku tidak tersingkap.” Nabi pun mendoakannya.” [Hr. Bukhari dan Muslim]

Subhanallah, alangkah rindunya hati ini pada surga-Nya yang begitu indah. Yang luasnya seluas langit dan bumi. Betapa besarnya harapan ini untuk menjadi salah satu penghuni surga-Nya. Ketika Nabi menyebut wanita hitam legam, yang mungkin di mata manusia bahkan tidak dilirik sedikit pun, lebih-lebih dia menderita penyakit kambuhan, ternyata dia bisa meraih kemuliaan yang luar biasa. Dialah penghuni surga. Dia mendapatkan kesaksian dari Nabi saw. sebagai salah seorang penghuninya, di kala nafasnya masih dihembuskan. Jantungnya masih berdetak. Kakinya pun masih menapak di permukaan bumi.

Oh, alangkah indahnya. Mata, pikiran dan perasaan kita pun berdecak ingin mengetahuinya, apa gerangan yang mengantarkannya meraih kemuliaan luar biasa itu? Karena dia wanita biasa, berkulit hitam legam, bahkan menderita penyakit kambuhan. Dia bukan wanita yang cantik jelita, berparas elok, berkulit putih bak batu pualam, bukan pula pesohor. Sekali-kali tidak. Dia, kata Ibn ‘Abbas, hanya wanita bisa yang berkulit hitam.

Wanita hitam itu mungkin tidak mempunyai kedudukan di mata manusia. Tetapi, kedudukannya mulia di sisi Allah dan Rasul-Nya. Ini bukti, bahwa kecantikan fisik bukanlah tolak ukur kemuliaan seorang wanita. Ini juga bukti, bahwa kekayaan dan kedudukan di mata manusia juga bukan tolok ukur kemuliaannya di sisi Allah. Namun, kecantikan iman yang terpancar dari hatinyalah yang mengantarkan seorang wanita pada kedudukan yang mulia di sisi-Nya. Dengan ketakwaan, keimanan, keindahan akhlak, amal shalihnya, wanita yang rupanya biasa saja di mata manusia itu pun menjelma menjadi secantik bidadari surga. Subhanallah..

Ketika wanita yang hitam legam itu lebih memilih menerima keputusan (qadha’) Allah, yaitu penyakit ayan yang terus-menerus kambuh. Ketika wanita biasa dan penderita ayan itu sanggup menerima keputusan Allah, dia rela, dia lebih memilih bersabar dengan kondisinya, sementara di depannya terbentang pilihan kesembuhan, maka kerelaan dan kesabarannya dalam menerima keputusan Tuhannya itulah yang mengantarkannya menjadi wanita penghuni surga. Dipersaksikan Nabi di saat masih hidup di dunia.

Iya, wanita mulia ini, meski secara lahirnya biasa-biasa saja, telah berhasil melewati fitnah dalam kehidupannya di dunia. Betapa tidak, kondisi fisiknya yang hitam legam, penyakit ayan, auratnya yang tersingkap semuanya itu adalah fitnah yang menghampiri hidupnya. Namun, dia hadapi fitnah itu. Fitnah itu tidak membuatnya jatuh, bahkan terperosok dalam kemaksiatan, mempertanyakan dan bahkan memberontak keputusan Allah SWT. Sebaliknya, semua fitnah itu dihadapi dengan perasaan qana’ah, ridha, ikhlas dan sabar. Sembari meminta kepada Nabi, agar didoakan, saat dia mendapati fitnah auratnya tersingkap, itu saja yang ditutup oleh Allah SWT. Karena itu aurat. Sungguh luar biasa. Allah akbar.

Iya, hidup ini adalah fitnah (ujian). Fitnah bukan hanya berupa keburukan, sebagaimana kondisi yang menimpa wanita tadi, tetapi fitnah juga bisa berupa kebaikan. Kecantikan fisik, harta melimpah, kepopuleran dan seluruh kebaikan yang kita miliki sesungguhnya merupakan fitnah kehidupan kita di dunia. Seluruh kebaikan ini bisa jadi akan memerosokkan, menjatuhkan dan bahkan menyesatkan kita. Maka, Allah pun secara khusus mengingatkan:

أَلاَ إِنَّ فِي الْفِتْنَةِ سَقَطُوْا

“Ingatlah, sesungguhnya mereka benar-benar telah terjatuh dalam kubangan fitnah itu.” [Q.s. at-Taubah [9]: 49]

Ketika kecantikan fisik, kekayaan yang berlimpah, kepopuleran dan seluruh kebaikan dunia tidak digunakan untuk melakukan ketaatan, bahkan digunakan dan dieksploitasi untuk melakukan kemaksiatan, maka semua kebaikan ini merupakan fitnah yang memerosokan, menjatuhkan dan bahkan menyesatkan si empunya. Tetapi, jika semuanya tadi digunakan untuk melakukan ketaatan kepada pemilik sejati kebaikan itu, yaitu Allah SWT, maka fitnah tadi tentu tidak membuatnya terperosok, terjatuh apalagi tersesat. Karena semuanya itu bisa dikelola sesuai dengan amanat Pemilik-Nya.

Kesadaran itulah yang dimiliki oleh Khadijah binti Khuwailid, dan putri tercintanya, Fatimah binti Muhammad saw. tuan para wanita penghuni surga. Kecantikan, kekayaan, kemuliaan dan seluruh kebaikan yang dimilikinya diberikan untuk Allah dan Rasul-Nya. Khadijah pun mendapatkan salam dari Allah dan Jibril, dibangunkan rumah untuknya di surga, semasa masih hidup di dunia. Fatimah pun sama, mendapatkan persaksian dari ayahandanya, Nabi Muhammad saw., sebagai penghuni surga, bahkan dinobatkan sebagai tuan para wanita penghuninya. Subhanallah.

Iya, ketika kecantikan wanita, kekayaan, kemuliaan dan seluruh kebaikan yang dimilikinya membuatnya sibuk berdandan, demi mendapatkan kulit yang putih, tetapi enggan memutihkan hatinya, maka semuanya itu menjadi fitnah kehidupan yang memerosokkannya. Mereka begitu khawatir dengan segala hal yang bisa merusak kecantikkannya, tetapi sama sekali tidak khawatir, jika keimanan dan hatinya yang bersih ternoda oleh noda-noda hitam kemaksiatan kepada-Nya, Na’udzu billah.

Kecantikan fisik bukanlah segalanya. Betapa banyak kecantikan fisik yang justru mengantarkan pemiliknya pada kemudahan dalam bermaksiat. Maka seperti apapun rupa kita, seperti apapun fisik kita, janganlah pernah merasa rendah diri. Syukurilah nikmat Allah yang sangat berharga. Kecantikan iman, kecantikan hati dan akhlak mulia kita.

Bagi wanita berkulit hitam, yang menderita penyakit ayan, maka penyakit ayan ini sebenarnya bukanlah penyakit yang ringan. Terlebih penyakit itu diderita oleh seorang wanita. Betapa besar rasa malu yang sering ditanggung para penderita penyakit ayan, karena banyak anggota menganggap penyakit ini sebagai penyakit yang menjijikkan.

Tapi, lihatlah perkataannya. Lihatlah, adakah satu kata saja yang menunjukkan dia benci terhadap takdir yang menimpanya? Apakah dia mengeluhkan betapa menderitanya dia? Betapa malunya dia karena menderita penyakit ayan? Namun, ternyata bukan itu yang dia keluhkan. Justru yang dia keluhkan adalah auratnya yang tersingkap saat penyakitnya kambuh.

Subhanallah. Dia lebih khawatir bila auratnya yang tersingkap, bukan mengkhawatirkan penyakitnya kambuh. Dia tahu betul akan kewajiban seorang wanita menutup auratnya. Auratnya juga merupakan kehormatan dan harga dirinya. Maka, dia pun berusaha menjaganya, meski dalam kondisi ketidaksadarannya akibat sakit ayat itu. Inilah salah satu ciri wanita shalihah, penghuni surga. Mempunyai ‘iffah, sifat malu dan senantiasa berusaha menjaga kehormatannya dengan menutup auratnya.

Selain itu, keralaan dan kesabaran wanita itu yang disebutkan Nabi saw., “Jika kamu mau, kamu bisa bersabar, dan kamu mendapatkan surga. Tetapi, kalau kamu mau, aku pun akan mendoakanmu, agar Allah menyembuhkanmu.” Tanpa ragu dia menjawab, “Aku memilih bersabar, ya Rasul.” [Hr. Bukhari dan Muslim]. Dia lebih memilih bersabar dalam deritanya. Salah satu ciri wanita shalihah yang ditunjukkan oleh wanita itu lagi, bersabar menghadapi musibah dengan kesabaran yang luar biasa.

Iya, manusia memang tidak akan mampu mencapai kedudukan mulia di sisi-Nya, dengan seluruh amalan perbuatannya. Namun, Allah akan memberinya jalan untuk meraihnya, dengan cara memberikan cobaan kepada hamba-Nya, cobaan yang tidak disukainya. Setelah itu, Allah memberinya kesabaran untuk menghadapi cobaan itu. Dengan kesabarannya dalam menghadapi cobaan, dia pun meraih kedudukan mulia yang sebelumnya tidak bisa diraihnya dengan amalannya.

Nabi saw. bersabda, “Jika datang suatu kedudukan mulia dari Allah untuk seorang hamba yang mana ia belum mencapainya dengan amalannya, maka Allah akan memberinya musibah pada tubuhnya atau hartanya atau anaknya, lalu Allah akan menyabarkannya hingga mencapai kedudukan mulia yang datang kepadanya.” [Hr. Imam Ahmad. Dan hadits ini terdapat dalam silsilah Haadits Shahih 2599].

Maka, saat cobaan menimpa, kesabaran kita akan mengantarkan kesempurnaan iman kita. Kita berharap, dengan kesabaran kita dalam menghadapi cobaan Allah akan Mengampuni dosa-dosa kita dan mengangkat kita pada kedudukan yang mulia di sisi-Nya.

Semoga seluruh fitnah (ujian) yang menimpa kita, baik dalam bentuk kebaikan maupun keburukan, tidak akan memerosokkan, menjatuhkan bahkan menyesatkan kita. Amalkanlah doa yang diajarkan oleh menantu Nabi saw. ‘Ali bin Abi Thalib:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ مُضِلاَّتِ الْفِتَنِ

“Ya Allah, hamba berlindung kepada-Mu dari fitnah yang menyesatkan.”

Amin.. amin.. amin ya Mujiba as-Sailin.


Motivator Sejati

17556fe0194611e282e122000a1f9aae_7

Saat ini, mungkin terlalu sering kita mendengar training-training motivasi dengan trainer-trainer yang begitu hebat menyampaikan kata-kata bijaknya. Ketika kuliahpun, banyak kawan kampus yang menceritakan begitu gembiranya telah mengikuti training seorang trainer terhebat se Asia, walaupun harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit, bahkan menurut saya tergolong mahal untuk ukuran kantong saya saat itu. Pernah juga beberapa kawan kuliah seolah ikut ‘mempromosikan’ sebuah training terkenal saat itu, sambil membawa beberapa buku motivasi karya sang trainer yang sangat dikenal. Apakah saya tidak tertarik?

Bagi saya, sah-sah saja mengikuti training seperti itu, tak ada alasan untuk melarang siapapun mengikutinya, kalo memang mereka suka dan mampu membayar, kenapa tidak? Tapi buat saya, motivasi ada dimana-mana. Tak perlu dengan tokoh yang berhasil mengumpulkan uang sekian miliar dengan berbagai usahanya, ataupun dengan tokoh terkenal yang sering muncul di layar kaca. Motivasi itu ada disekitar kita, ada dalam anak-anak tetangga, ada dalam ayah bunda kita, ada pada sahabat kita, ada pada guru-guru kita, dan pada siapapun yang sangat nyata berbuat untuk kehidupannya, bukan pada siapapun yang sangat nyata pandai berbicara dengan kata-kata bijaknya.

Saya pernah terinpirasi oleh Mbak Nur, keponakan Mamak yang dulu sering ikut mengasuh saya ketika Mamak sakit. Perempuan hebat yang mampu menunjukkan pada dunia, bahwa kesabaran itu tak ada batasnya. Bahwa ujian itu untuk dihadapi, bukan diratapi. Pernah menjadi penjual bakso yang sukses, hingga usaha surut imbas persoalan rumah tangganya. Pernah cerai dari suami, sekalipun akhirnya rujuk lagi. Setelah rujuk, musibah datang silih berganti. Sang suami meninggal akibat kecelakaan, disusul salah satu anaknya yang sempat mengalami kelumpuhan beberapa tahun. Menjalani kehidupan yang lebih sederhana dibanding sebelumnya, dia tak pernah lelah menghidupi keluarganya, dengan jalan yang halal. Menjadi penjual kue, penjual jamu, penjual nasi, penjual krupuk, penjual sayur, semua pernah dilakoninya. Hidup memang tak mudah, apalagi tanpa Khilafah, namun tak membutakan mata akan nikmat yang dikaruniakanNya.

Saya juga pernah terinspirasi oleh kawan-kawan kuliah, yang pernah saya tuliskan disini. Saya pun pernah terinspirasi dengan senandung cinta Mamak, ataupun tentang Bapak , bahkan dari anak-anak yang sama sekali belum saya kenal. Dan akhir-akhir ini yang sering saya tulis adalah inspirasi dari pendamping istimewa, Abi.

Namun, dari semua itu, rasanya sudah banyak orang lupa, bahwa sumber inspirasi sejati telah diberikanNya secara cuma-cuma. Tanpa perlu membayar tiket mahal, dan tanpa perlu membeli buku-buku motivasi fenomenal yang terlalu mengorek kantong. Ya, dialah Al-Qur’an.

“Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad: 7). Itulah salah satu ayatNya yang pernah mengubah jalan hidup saya 100%, kisahnya pernah saya tulis disini.

Pun dengan “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186). Ayat inilah yang membuka mata saya selanjutnya, bahwa memenuhi perintahNya, dan beriman kepadaNya adalah mutlak sebelum memohon kepadaNya.

Pun dengan ayat-ayat tentang hujan yang luar biasa, memberi peringatan indah bahwa tak seharusnya ada keluhan, bencana dan kesedihan saat hujan turun, karena hujan selalu turun sebagai rahmat dariNya…

Mau tahu lebih banyak motivasi indah yang bahkan akan terasa sejak kita membaca dan mendengarkannya? Buka, baca dan resapilah Al-Quran… yang diturunkan Allah di bulan yang mulia ini… yang diajarkan oleh orang paling mulia, Rasulullah SAW… dan tak lama lagi, untuk kemuliaan ummat…. saat aturanNya di setiap ayatNya… ditegakkan oleh seorang Khalifah dalam bingkai Khilafah

Allahuakbar !!!


Perangkap Setan

Sahabat Abu Hurairah ra. pernah diamanati Baginda Nabi saw. untuk menjaga gandum hasil zakat. Tiba-tiba pada suatu malam ada lelaki yang mencuri gandum itu. Namun, dia berhasil ditangkap oleh Abu Hurairah ra. “Kamu akan kubawa kepada Nabi saw.,” kata Abu Hurairah ra. kepada pencuri itu.

Pencuri itu memelas. Dengan bujuk-rayunya, dia mengatakan, sudah seminggu anak dan istrinya belum makan. Abu Hurairah ra. akhirnya melepaskan pencuri itu, dan meminta dia agar tidak mencuri lagi.

Esoknya, sehabis shalat Subuh, sebelum sempat melapor, Abu Hurairah ra. justru ditanya oleh Nabi saw. “Apa yang kamu lakukan terhadap orang yang kamu tangkap tadi malam?”

Abu Hurairah ra. kemudian menjelaskan apa yang terjadi. “Ingat, nanti malam ia akan datang lagi,” kata Nabi saw.

Benar saja, malam kedua pencuri itu datang lagi. Setelah mengambil gandum, ia kembali ditangkap oleh Abu Hurairah ra. Ia memelas lagi. Kembali, Abu Hurairah ra. merasa iba sehingga pencuri itu dilepaskan lagi.

Esoknya, Nabi saw. bertanya lagi kepada Abu Hurairah ra., seperti kemarin. Abu Hurairah ra. menjawab seperti jawaban sebelumnya. Nabi saw. mengingatkan lagi, pencuri itu nanti malam akan datang lagi. Abu Hurairah ra. bergumam, “Nanti malam, dia tidak akan aku lepaskan lagi!”

Benar saja, pencuri itu datang untuk yang ketiga kalinya dan kembali mencuri gandum. Abu Hurairah ra. kembali menangkap dia. “Sekarang, aku tidak mungkin melepaskan kamu. Kamu harus aku bawa kepada Nabi saw.!”

Pencuri itu sangat cerdik. Kepada Abu Hurairah ra., ia mengatakan, “Saya siap dibawa kepada Nabi saw, tetapi bolehkah saya berbicara, wahai Abu Hurairah?”

Abu Hurairah ra. berkata, “Mau bicara apa?”

Si pencuri itu berucap, “Abu Hurairah, maukah kamu saya beri amalan zikir?”

“Tentu, amalan zikir apakah itu?” jawab Abu Hurairah ra. penasaran.

Pencuri itu berkata, “Bacalah ayat kursi sebelum engkau tidur, pasti Allah akan menjaga dirimu dari godaan setan.”

Mendengar kata-kata pencuri itu, Abu Hurairah ra. terkesima. Akhirnya, tanpa ragu, Abu Hurairah ra. kembali melepaskan pencuri itu. Esoknya, Nabi saw. bertanya seperti pertanyaan yang kemarin. Abu Hurairah ra. pun menjawab, “Pencuri tadi malam itu memberi amalan zikir kepada saya. Saya disuruh membaca ayat kursi sebelum tidur malam. Insya Allah, Allah akan menjaga saya dari gangguan setan,” jawab Abu Hurairah ra.

Nabi saw. berkata, “Apa yang dia katakan itu benar, tetapi dia itu bohong. “Tahukah kamu, wahai Abu Hurairah, siapa pencuri itu? Dia adalah setan,” kata Nabi saw.

Menurut Ali Mustafa Yaqub, kisah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari itu memberikan pelajaran bagi kita. Pertama: setan dari jenis jin dapat menjelma menjadi manusia. Kedua: setan boleh jadi menyuruh manusia untuk beribadah, membaca al-Quran, shalat, puasa, haji dan sebagainya. Abu Hurairah telah diluruskan oleh Nabi saw. agar ia tidak membaca ayat kursi karena mengikuti perintah setan, tetapi mengikuti perintah Nabi saw. Sekiranya seseorang beribadah dengan mengikuti perintah setan dan bukan perintah Allah, maka dia telah beribadah kepada setan (Republika.co.id, 21/6/2011).

*****

Setan, menurut sebagian ulama, berasal dari kata syathana; maknanya adalah ba’uda, yakni jauh. Maksudnya, setan adalah sosok yang jauh dari segala kebajikan (Ibn Katsir, I/115, Az-Zamakhsyari, I/39). Setan juga berarti sosok yang jauh dan berpaling dari kebenaran. Karena itu, siapa saja yang berpaling dan menentang (kebenaran), baik dari golongan jin ataupun manusia, adalah setan (Al-Qurthubi, I/90, al-Alusi, I/166).

Allah SWT telah memperingatkan bahwa setan adalah musuh yang nyata (‘aduww[un] mubin) bagi manusia (QS al-Baqarah [2]: 168); permusuhannya terhadap manusia benar-benar ‘terang-benderang’ (Lihat: Al-Baqa’i, I/240, Ibn Katsir, III/351). Karena itu, Allah SWT pun telah memperingatkan agar manusia benar-benar memperlakukan setan sebagai musuh (QS Fathir [35]: 6).

Persoalannya, setan amatlah cerdik, sebagaimana terungkap dalam kisah di atas. Setan boleh jadi tidak menghalang-halangi manusia dari ibadah kepada Allah SWT dan amalan yang baik, tetapi setan menyimpangkan niat manusia beribadah atau beramal baik sehingga bukan karena Allah SWT. Boleh jadi pula setan menjadikan manusia ikhlas beramal karena Allah SWT, tetapi setan berupaya agar manusia beramal tidak sesuai dengan tuntunan Rasul-Nya.

Di dalam bukunya yang amat terkenal, Talbis Iblis (Tipudaya Iblis), Ibn al-Jauzi secara panjang lebar mengungkapkan bagaimana sepak terjang setan dalam memperdaya manusia; termasuk di dalamnya para ahli ibadah, para pembaca al-Quran, para ahli hadis, para ulama fikih, juga para pengemban dakwah.

Menurut Ibn al-Jauzi, setidaknya ada enam langkah setan dalam menjerat manusia. Pertama: berusaha menjadikan manusia kafir atau musyrik. Kedua: Jika gagal, berusaha menjadikan mereka yang Muslim sebagai pelaku bid’ah. Ketiga: Jika gagal, berusaha menjadikan mereka tukang maksiat/pelaku dosa besar. Keempat: Jika gagal, berusaha agar mereka banyak melakukan dosa-dosa kecil. Kelima: Jika gagal,berusaha menyibukkanmereka dalam masalah-masalah yang mubah (yang tidak bermanfaat dan tidak berpahala).Keenam:Jika gagal juga, berusaha menyibukkan mereka dengan urusan-urusan sederhana sehingga mereka melupakan berbagai urusan yang lebih utama; misalnya menyibukkan diri dengan amalan sunnah, tetapi meninggalkan amalan wajib.

Semua langkah setan itu, menurut Ibn al-Jauzi, diikuti dengan berbagai cara yang sering amat halus dan lembut sehingga tidak banyak disadari oleh manusia.

Perangkap setan ini juga sering tak disadari oleh banyak pengemban dakwah. Jika dakwah mulai tak semangat, halaqah sering telat, infak suka terlambat, salat malam banyak terlewat, membaca al-Quran mulai bosan, menuntut ilmu terasa jemu, dst; maka ingatlah bahwa saat itu berarti kita sudah terkena perangkap setan. Demikian pula jika kita mulai sering disibukkan oleh urusan ma’isyah hingga sering melalaikan urusan dakwah; atau kita telah merasa menjadi pengemban dakwah hanya karena sudah resmi menjadi bagian dari harakah dakwah, padahal kegiatan setiap minggunya cuma halaqah dan membaca buletin dakwah. Sadarlah, bahwa saat demikian sesungguhnya kita pun sudah berada dalam perangkap setan!

Wama tawfiqi illa bilLah. [Arief B. Iskandar]


Integrasi Sains dan ISLAM

Ada sejumlah pertanyaan menarik tentang kedudukan sains dan Islam. Pertanyaan ini berakar dari fenomena-fenomena berikut:

Munculnya kegairahan baru atas sebagian cendekiawan Islam atas sains dan keyakinan bahwa kemunduran Islam itu akibat melalaikan sains dan terlalu menonjolnya fiqih.

Munculnya sebagian cendekiawan yang meyakini kembali bahwa Qur’an adalah sumber inspirasi sains, setelah ditemukannya bukti-bukti sains modern yang sesuai dengan ayat-ayat Qur’an. Ilmu yang terinspirasi Quran ini bahkan sering diklaim sebagai sains Islami.

Di sisi lain: tingkat religiositas yang tetap belum membaik di kalangan ilmuwan sains Barat – sekalipun dapat teramati bahwa tingkat religiositas di kalangan ilmuwan sains ini masih lebih baik daripada ilmuwan sosial.

Tiga fenomena ini membuat di satu sisi umat Islam semakin bersemangat dalam beragama, namun di sisi lain mereka masih mencari bentuk, bagaimana sesungguhnya integrasi sains dan Islam.

Pada berbagai jenis pendidikan Islam di Indonesia, integrasi ini dicoba baru dalam taraf penggabungan kurikulum (Depdiknas+Depag), sehingga total jam belajar siswa menjadi relatih jauh besar dibanding sekolah biasa. Karena itu kajian bagaimana integrasi sains dan Islam itu perlu ditelaah lebih jauh.

Sejarah Kedudukan Ilmu di dalam Islam

Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan. Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama.

Hunke dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat Islam di masa khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal.

Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis menjadikan ilmu “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Para konglomeratpun sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.

Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu tanpa dikotomi ilmu agama dan sains yang bebas nilai.

Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma. Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai. Bahkan Rasulullah telah menyuruh umat Islam untuk berburu ilmu sampai ke Cina, yang saat itu pasti bukan negeri Islam.

Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi dan guideline.

Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb

Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmu, yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Ontologi

menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau diteliti. Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18). Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar tafsir menyandingkan buku Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” surat al-Ghasiyah tersebut.

Kaidah “Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb. Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing.

Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya.

Epistemologi

menyangkut metode suatu ilmu dipelajari. Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syara’pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia.

Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Karena itu, ilmu seperti sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti ilmu itu digunakan. Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.

Sedang aksiologi

menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban (hadharah) manusia / masyarakat yang menggunakannya. Banyak hasil riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk membenarkan suatu model yang bias ideologis ataupun kepentingan tertentu.

Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi dibatasi hukum syara’. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, bukan menjajah negeri-negeri lain. Karena itu kebuntuan untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin – seperti yang terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.

Qur’an sebagai Sumber Inspirasi Ilmu

Obsesi menjadikan Qur’an sebagai sumber inspirasi segala ilmu tentu suatu hal yang positif, karena ini bukti keyakinan seseorang bahwa Qur’an memang datang dari Zat Yang Maha Tahu. Namun, obsesi ini bisa jadi kontra produktif jika seseorang mencampuradukkan hal-hal yang inspiratif dengan sesuatu yang empiris, atau memaksakan agar kaidah hukum empiris sesuai penafsiran inspiratifnya.

Contoh yang pertama misalnya ketika ada seseorang yang menafsirkan ayat:

“ … Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia …” (QS 57-al Hadid: 25)

Kami pernah mendapatkan seseorang yang ingin menggugat Hukum Kekekalan Energi dengan landasan ayat ini, seraya mengajukan proposal untuk membuat energy multiplier.

Energy Multiplier adalah pengganda energi. Alat semacam ini – kalau ada – akan memiliki konsekuensi yang sangat jauh, karena dengan rangkaian beberapa multiplier, teoretis energi 1 watt saja akan mampu memberi energi untuk seluruh dunia. Tentu saja alat semacam ini secara fisika maupun teknis mustahil. Namun perancangnya yakin 100% bahwa dia benar, karena rancangan mesinnya diyakininya di-backup oleh ayat al-Hadid tadi. Tentu saja ini penafsiran yang sembrono.

Sedang contoh yang kedua adalah ketika pada suatu saat, teori sains yang berlaku dianggap cocok dengan suatu ayat, lalu beberapa abad kemudian eksperimen membuktikan bahwa teori tadi keliru atau tidak lengkap, lalu orang cenderung menolak penemuan baru itu dengan alasan tidak sesuai dengan Qur’an. Hal seperti ini terjadi di abad pertengahan di kalangan gereja di Eropa, yang menolak teori heliosentris dari Copernicus dan Galileo, karena dianggap bertentangan dengan dogma al-Kitab bahwa bumi adalah pusat perhatian Tuhan. Hal serupa – walaupun dalam skala yang lebih kecil – juga terjadi di beberapa kalangan umat Islam. Sebagai contoh: ketika di Qur’an disebutkan adanya 7 buah langit,

Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Qs. 41-Fussilat:12)

Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (Qs. 67-al Mulk:5)

ada sejumlah orang yang kemudian menafikan perjalanan ke bulan atau ke planet-planet, apalagi bila itu dilakukan orang-orang kafir yang dianggap temannya syaitan. Kita tentu ingat bahwa “planet” seperti Venus atau Mars dalam bahasa Arab akan disebut “bintang”. Mungkin di sini tafsir kita yang perlu direvisi.

Religiousitas di kalangan Ilmuwan

Bagi orang yang menekuni sains dan al-Quran, akan didapatkan banyak ayat yang menyentuh suatu cabang sains – yang baru bisa dikenali sebagai sains setelah zaman modern. Karena saya mempelajari geodinamika, saya amat tersentuh dengan ayat seperti berikut:

Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan…(QS 27 – an-Naml:88).

Tersentuhnya adalah bahwa fakta pergerakan benua beserta gunung-gunung di atasnya beberapa decimeter pertahun baru diketemukan abad-20. Darimana Rasulullah, yang hidup 14 abad yang lalu, bisa mengetahui fenomena ini, kalau bukan Yang Maha Berilmu yang memberitahunya?

Hal serupa akan ditemui oleh orang astronomi, biologi, oceanologi dan sebagainya. Pertanyaannya, mengapa tidak semua saintis kemudian menjadi religious?

Jawabannya: tidak cukup hanya mengenal keberadaan Tuhan. Seperti tidak cukupnya kita ketika sadar punya boss, namun tidak tahu apa visi-missi boss, dan juga tidak tahu apa yang membuat boss senang atau marah.

Mereka menganggap persoalan Tuhan ini persoalan pribadi, bahkan bisa-bisa justru “menyalahkan” Tuhan ketika dilihatnya Tuhan “tak berbuat apa-apa” ketika ada ummat-Nya yang menderita, tertindas, lapar atau sakit.

Mereka mungkin akan menyembah Tuhan dengan suatu cara yang menurutnya paling rasional. Mereka gagal memahami kemauan boss – karena mereka berhenti dengan tahu bahwa ada boss, namun tidak mencari tahu, siapa orang kepercayaan boss yang pantas mereka jadikan rujukan dan juga teladan.

Wajarlah, bahwa dalam Islam dituntut dua jenis pengakuan: dikenal dengan syahadat Tauhid dan syahadat Rasul. Tanpa mengikuti Rasul, pengenalan keberadaan tuhan tidak akan banyak berbuah, karena kita tetap belum tahu hidup kita mau dikemanakan. Jadinya kita tidak tahu bahwa Tuhan akan menolong orang-orang yang tertindas atau lapar atau sakit itu melalui tangan-tangan kita. Kita akan terinspirasi untuk melakukan upaya itu setelah mengkaji manual yang diberikan Tuhan via para Rasul. Di situlah kita tahu, bahwa kita hidup sebagai agen, untuk sebuah missi pada sautu lahan yaitu planet bumi ini.

Integrasi Sains & Islam pada Pendidikan

Dengan mengetahui seluruh “duduk perkara” sains dan Islam di atas, tampak bahwa hakekat persoalannya adalah memadukan agar pada setiap aktivitas kita, setelah ada kerja keras dari kekuatan tubuh kita, ada kerja cerdas berdasarkan sains dan kerja ikhlas berdasarkan Islam.

Dalam dunia pendidikan, yang biasanya akan dikembangkan pada seorang anak didik adalah olah fikirnya (kognitif), sikapnya (afektif) dan life-skill-nya (psikomotorik). Di sinilah perlu penelaahan yang mendalam agar di setiap aspek ada muatan sains dan Islam secara sinergi. Bahkan lebih jauh lagi, beberapa mata pelajaran bisa dipadukan sehingga tercipta suatu fokus yang berguna secara praktis.

Sebagai contoh: Mengajarkan masalah air.

Kita bisa membahas mulai dari soal siklus air (IPA/fisika). Agar terkesan, bahasan bisa dilakukan di tepi kolam atau sungai. Di situ sekaligus ada pengetahuan tentang IPS/geografi. Kemudian bagaimana manusia berbagi air (matematika). Lalu bagaimana hukum-hukum Islam yang berkait dengan air (thaharah, hadits “manusia berserikat dalam air, api dan padang gembalaan”). Dan terakhir siswa diminta membuat karangan tentang bagaimana menjaga sumberdaya air (bahasa Indonesia / bahasa Inggris).

Contoh lain: mengajarkan masalah tuas.

Tuas atau pengungkit umumnya diberikan dalam pelajaran fisika (IPA). Kenapa tidak melakukannya di tukang beras yang punya timbangan, sekaligus mengenalkan pasar (IPS). Lalu anak-anak diminta menghitung berapa Rupiah yang dibayarkan bila yang dijual sepuluh kilo beras dan dua kilo gula pasir (matematika). Lalu diberikan hukum-hukum Islam tentang larangan mengurangi timbangan (agama). Dan terakhir: buat karangan tentang bagaimana agar pasar tampak rapi dan nyaman (bahasa).

Dalam cakupan yang lebih mikro, kita bisa pula memasukkan motivasi Islam ke dalam semua kajian sains. Konon Imam al-Khawarizmi ingin mengembangkan persamaan-persamaan aljabar karena ingin menyelesaikan persoalan pembagian waris dalam Islam yang akurat.

Seorang pendidik muslim dapat membuat contoh-contoh yang amat relevan dengan sisi peran murid sebagai siswa/siswi muslim.

Misalnya: untuk matematika geometri, bisa dibuatkan contoh untuk menghitung tinggi masjid atau luas areal yang diperlukan untuk membangun masjid.

Untuk pelajaran fisika mekanika bisa dibuat soal berapa sudut lontaran meriam untuk dapat mencapai benteng kafir penjajah.

Untuk pelajaran kimia titrasi bisa dibuat soal berapa cc larutan yang harus disediakan – sampai warnanya berubah – untuk mendeteksi adanya lemak babi.

Demikianlah, masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh para pendidik muslim. Islam menjadi ontologi, epistemologi dan aksiologi dari semua aspek sains, dan pada gilirannya, sains yang dipelajari semua terasa terkait dengan kehidupannya praktis sehari-hari.

Yuph, Islam membumi. Sekolahpun jadi menyenangkan.

 

Dr. Ing Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina

(Profesor Riset di BAKOSURTANAL)


ISLAM, tak sekedar ritual!

Apa yang membedakan ISLAM dengan agama yang lain? Tentu saja karena ISLAM tak sekedar ibadah ritual, tapi ISLAM adalah ideologi.

ISLAM adalah tauhid, penghambaan total kepada Allah dan ketaatan total pada apapun yang dibawa Rasulullah. Bahwa Rasulullah tak sekedar menjadikan ISLAM di ruang privat, namun sebagai pemutus perkara diantara kaum muslimin. Bukankah Rasulullah adalah negarawan yang berpikir bagaimana ISLAM tak sekedar diterapkan di Madinah? Bukankah Rasulullah tak pernah menjadikan tambang garam, sumber air, api, padang gembalaan dan semisalnya dikuasai oleh individu dengan dalih privatisasi? Apalagi diserahkan pada orang kafir? Bukankah Rasulullah hanya menjadikan ISLAM saja sebagai dasar negara saat memimpin di Madinah? Ya, syahadat tak sekedar “percaya” bahwa Allah dan Rasulnya benar-benar ADA, namun mau “mempercayakan” seluruh hidup kita dikendalikan oleh aturan Allah yang dibawa oleh Rasulullah SAW.

ISLAM memerintahkan untuk sholat 5 kali sehari, dan menganjurkan untuk sholat sunnah guna melengkapi kedekatan kita kepadaNya. Tapi seluruh warga sholatpun belum tentu menghapus penghambaan kepada hukum selain ALLAH, selama syariah belum dijadikan sumber dari segala sumber hukum. Sebelum wakil rakyat menjadikan Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya sebagai sumber dari segala perundang-undanganNya. Bukankah kita selalu memohon petunjuk jalan yang lurus dalam setiap sholat kita? Bukankah petunjuk jalan yang lurus hanya ada dalam syariahNya? Lalu mengapa kita masih percaya pada hukum buatan manusia?

ISLAM memerintahkan untuk membaca dan mentadabburi Al-Qur’an. Tapi seluruh warga melakukan tadarus setiap haripun belum tentu menyelesaikan kasus kemaksiatan yang semakin merajalela. Karena Al-Qur’an tak akan mampu menyelesaikan persoalan ketika hanya dibaca, dan tak difungsikan sebagaimana mestinya. Bukankah katanya Al-Qur’an itu petunjuk? Bukankah petunjuk itu memberikan jalan bagaimana kita melewati kehidupan agar tak salah langkah? Lalu mengapa sampai detik ini kita tak menjadikan Al-Qur’an untuk menyelesaikan seluruh persoalan hidup? Dari persoalan negara hingga rumah tangga, dari masalah pribadi hingga satu negeri, dari ibadah mahdhah hingga muamalah, dari ekonomi hingga hubungan luar negeri, dari syirik hingga politik, dari pergaulan hingga pendidikan, dari kita bangun tidur hingga kita tidur lagi, dan dari sejak lahir hingga kita mati.

ISLAM memerintahkan untuk berpuasa ramadhan dan puasa sunnah lainnya untuk menjadikannya benteng hawa nafsu kita. Tapi seluruh kaum muslim berpuasa pun belum mampu membentengi umat dari serangan pemikiran kufur. Dari ide demokrasi, HAM, gender, pluralisme, kekebasan, sekulerisme yang semakin hari semakin menggerogoti akidah kaum muslimin. Bukankah dulu ada Khalifah yang menjadi benteng serangan orang-orang kafir baik fisik maupun pemikiran? Bukankah kita butuh negara yang melindungi seluruh kepentingan kaum muslimin? Bukankah seluruh umat ISLAM di belahan bumi manapun adalah laksana satu tubuh?

ISLAM memerintahkan kita untuk menuju baitullah. Namun seluruh kaum muslimin dari belahan bumi manapun berhaji setiap tahun, ternyata belum mampu menghentikan kebiadaban orang-orang kafir terhadap saudara-saudara kita di Palestina, Afghanistan, Irak, Kashmir, Chechnya, Xing jiang, Moro, dan belahan bumi manapun. Bukankah mereka sudara kita? Bukankah begitu indahnya ukhuwah saat kita dipertemukan di baitullah? Bukankah Allah kita satu? Bukankah Rasul kita satu? Bukankah kitab kita satu? Bukankah kiblat kita satu? Lalu mengapa kita tak mau bersatu?… ISRAEL dan antek-anteknya bukannya tak bisa dikalahkan, tapi kita yang belum menjadikan akidah sebagai dasar persatuan!

Jadilah agen-agen pejuang syariah, yang tak hanya memikirkan ketakwaan individu semata, yang tak hanya berupaya meraih keshalihan pribadi, yang tak cukup hanya memikirkan diri sendiri, yang berjuang keras agar kemuliaan ISLAM juga dinikmati seluruh dunia, yang menjadikan dunia takluk di bawah kepemimpinan ISLAM dan kaum muslimin, layaknya Rasulullah dan para sahabat yang membinasakan kejahiliyahan Makkah, layaknya Muhammad Al Fatih yang menaklukkan Romawi,  layaknya Mushab bin Umair yang menjadi duta Madinah dan layaknya Sholahudin al Ayyubi yang meruntuhkan kedigdayaan pasukan Salib… dan kita adalah anak cucu mereka! Yang darahnya mengalir di setiap jengkal tubuh kita! Yang kemuliaannya masih layak kita jaga sepenuh jiwa raga!

Jadilah SUPERHERO… yang tak cukup menyelamatkan cacing kepanasan, tak cukup menyelamatkan seorang kawan, tak cukup menyelamatkan diri dan kehormatan namun mampu menyelamatkan peradaban dari jurang kehancuran!

Kita mampu! Menunjukkan pada dunia bahwa ISLAM adalah rahmatan lil alamin dan kita adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan!

.

*Teruntuk para pejuang syariah dan khilafah… bertahanlah, karena pertolonganNya selalu ada di depan mata….


Allah, sesuai Prasangka hambaNya

Selalulah berkhusnudzon dengan ketetapan Allah, dalam kondisi apapun. Aku tahu pasti hasilnya, karena terlalu sering aku mengalami banyak hal yang semua berpangkal pada satu, khusnudzon sama Allah.

Aku memahami hakikat berkhusnudzon dengan ketetapanNya, ketika memasuki tahun pertama kuliah. Disanalah aku mengenal tentang Islam yang sesungguhnya, dan tentu saja, semakin mengenal Allah dan syariatNya.

Dulu, aku memutuskan kuliah karena aku yakin ayah dan kakakku mau membiayaiku, dan tidak akan membuatku telantar. Tapi keyakinan itu sirna, setelah Ayah dipanggil olehNya, dan penghasilan kakakku (satu-satunya orang yang berpenghasilan tetap di keluargaku) hanya cukup untuknya hidup. Bayangkan, gaji kakakku yang hanya 500 ribu sebulan, mana cukup untuk kehidupanku dan biaya kuliahku, untuk dirinya sendiripun aku rasa kurang dari cukup (dalam kacamata manusia), sedangkan biaya satu semesterku minimal untuk SPP 700 ribu. Namun, beruntunglah diriku saat itu. Saat dimana pemahamanku tentang konsep iman, konsep rejeki dan konsep qada qadar sudah mengakar kuat. Alhamdulillah, keyakinan pada pertolongan Allah lah yang membuatku selalu merasa bisa dan mampu bertahan, apapun yang nanti aku alami. Tentu dengan berusaha menunjukkan padaNya, bahwa aku layak mendapatkan pertolonganNya (Muhammad : 7).

Hanya karena kemudahanNya lah, aku mendapatkan lima beasiswa dalam kurun selama 5 tahun kuliah. Jumlah terbanyak yang pernah diraih oleh mahasiswa dimana tempatku belajar. Karena kemudahanNya lah, aku mendapatkan tawaran mengajar privat disana-sini, tanpa perlu bersusah payah mengajukan lamaran ke sebuah lembaga bimbingan belajar. Karena kemudahanNya lah, aku mampu mengasah keterampilan menjahitku, secara otodidak, dari hanya memasarkan produk kain flannel secara kecil-kecilan, hingga diberi kemudahan rejeki untuk membeli mesin jahit dan mesin obras, lalu menjalankan usaha jahitku saat itu. Alhamdulillah, karena pertolonganNya, aku mampu memenuhi kebutuhanku sendiri, sejak sebelum lulus.

Aku selalu ingat cerita yang selalu kuberikan pada para siswa SMP binaanku, cicak yang merayap pun selalu bisa mendapatkan nyamuk yang terbang, itulah kemurahan Allah. Maka jangan pernah berputus asa dari rahmatNya.

Dulu, sering aku tak memegang uang sepeserpun di tangan, sedangkan mau pinjam lagi ke kawan satu kostan terbersit rasa malu, karena hutang yang kemarin pun belum mampu kulunasi. Tapi aku selalu yakin, Allah tak akan pernah menelantarkan hambaNya, selama kita yakin akan pertolonganNya. Dan sering, disaat rasa laparku tak mampu tertahan lagi, ada yang tiba-tiba membayar daganganku, sekalipun mungkin hanya 5 ribu saja, Alhamdulillah, setidaknya aku bisa makan malam nanti dan esok pagi. Atau sering, ada kawan-kawan kostan yang berbagi rejeki. Dan mungkin tak pernah terpikirkan, ketika aku pulang dari praktikum, dan ternyata aku tak membawa uang sepeserpun untuk naik angkot. Waktu itu dengan ridlo, aku memutuskan jalan kaki, padahal jarak yang harus kutempuh lebih dari 10 km, tapi Subhanallah, di tengah jalan ada kawan yang memberi tumpangan. Atau ketika aku tak punya cukup ongkos untuk sekedar mudik ke kampung halaman, Subhanallah, dosenku yang baik saat itu, menawarkan pinjaman kepada mahasiswanya, dan kau tahu, aku mengembalikan uang pinjaman itu pada lebaran tahun berikutnya. Atau ketika aku butuh dana untuk penelitian saat itu, iseng kugesekkan KTM ku, berharap masih ada sisa beasiswa yang terkirim. Padahal aku tahu, beasiswa itu sudah habis masa berlakunya, karena 2 bulan sebelumnya aku selalu mendapati KTM ku kosong. Tapi memang kebiasaanku saat itu, setiap mengantar teman ke ATM, aku sering iseng menggesekkan KTM ku, dan Subahanallah, lagi, aku tak menyangka beasiswa itu akhirnya terkirim lagi, sebagai perpanjangan tahun berikutnya. Kejadian-kejadian kecil itu, selalu membuatku tak bisa untuk bersu’udzon kepadaNya. Aku hanya mampu menangis, karena Allah begitu menyayangiku, sekalipun diri ini berlumpur dosa dan maksiat. Astaghfirullah…

Dan cerita tak berhenti sampai disini. Aku ingat saat penelitian, aku sengaja mengambil proyek dosen dengan topik dan masa penelitian yang mudah dan singkat, disamping mencari yang ada penyandang dananya, salah satunya untuk mempercepat proses kelulusanku, yang kutarget tak lebih dari 4 tahun. Di tengah jalan, ternyata tak semudah yang kubayangkan. Dari kesalahan penyiapan bahan, tempat penelitian yang harus mengantri dan bahan-bahan penelitian yang harus kutanggung dulu, karena dana yang belum cair. Tapi Alhamdulillah, aku tak harus mengulang sekalipun ada kesalahan penyiapan bahan, lalu tempat yang mengantri membuatku mengenal penelitian di topik yang sama yang akhirnya memudahkan saat proses penulisan, dan kemunduran pencairan dana akhirnya ditanggung oleh kawan yang satu penelitian denganku, walaupun kelulusanku akhirnya mundur sekitar enam bulan dari target awal. Subhanallah, betapa indah rencanaMu ya Allah, yang tak akan mungkin mampu kuurai, bagaimana ini semua bisa terjadi?

Apakah masih ada cerita lain? Ya, masih ada dan mungkin belum akan selesai hingga aku menghadapNya. Aku ingat, salah satu impianku adalah mengajar di salah satu SDIT favoritku di kota tempatku kuliah. Dan kau tau, tahun kelulusanku adalah tahun dimana SDIT tersebut membutuhkan banyak guru, karena perluasan kelas dan beberapa guru yang memutuskan keluar. Yah, aku diterima, sesuatu yang dulu kupikir sangat sulit, melihat banyak kakak tingkatku yang gagal (bahkan aku merasa kualitas mereka lebih baik dariku) ketika mendaftar dulu. Subhanallah, Kau meluluskanku di tahun yang tepat ya Allah.

Lagi? Tentu saja. Di tengah perjalanan, ketika usia mengajarku baru menginjak dua bulan, kakak memintaku pulang, karena Mamak tercintaku membutuhkan kehadiranku. Walaupun aku harus meninggalkan semua mimpiku disini, lagi-lagi aku yakin, mungkin Allah punya rencana lain dengan semua ini. Dan ternyata iya, disinilah aku akhirnya membangun mimpi selanjutnya.

Sungguh tak disangka, saat kepulanganku adalah saat dimana sebuah balai penelitian tanaman perkebunan, membutuhkan seorang peneliti. Apakah sebuah kebetulan? Bukan, karena inilah skenario Allah yang Maha Indah. Mereka membutuhkan peneliti bukan pada saat harus membuka lowongan. Balai itu membutuhkan peneliti, karena salah satu peneliti yang baru direkrutnya memutuskan keluar, dan dia berada pada bidang yang kutekuni saat kuliah, Pemuliaan Tanaman. Kau tahu kan, jika dia tak keluar, maka lowongan itu tak mungkin ada, dan jika bukan bidangku, maka akupun tak akan mungkin diterima, karena syarat seorang peneliti adalah sesuai dengan bidang kepakarannya. Entah mengapa aku yakin sekali, inilah jalanku, sekalipun saat itu aku harus melewati banyak kandidat yang lain dan hanya satu orang yang direkrut. Dan Alhamdulillah, Subhanallah, lagi dan lagi, rasa syukur tak hentinya kupanjatkan pada Dzat Yang Maha Pengasih.

Menjadi peneliti, membuatku meraih mimpi-mimpiku. Mimpi memiliki publikasi skala nasional bahkan internasional, mimpi menjelajah Nusantara bahkan luar Negara, mimpi memiliki jaringan hingga ke pelosok negeri, dan tentu saja, selalu berada dekat dengan Mamak tercintaku. Subhanallah, maka alasan apa yang membuat kami harus bersu’udzon kepadaMu?

Lagi, di tahun pertama aku bekerja, kakak ketigaku terlilit hutang sebagai akibat kebangkrutan usahanya, bahkan hingga puluhan juta. Hingga gaji tahun pertamaku harus tersisih untuk turut melunasi hutang-hutangnya. Tapi Alhamdulillah, Allah memberiku cahayaNya hingga bisa melihat segala permasalahan dengan jernih, dan mengambil hikmah tentunya. Rumah peninggalan ayah di kota tempatnya bekerja, akhirnya kami jual. Dan Subhanallah, berkat penjualan rumah itu, kami akhirnya mampu memperbaiki rumah yang ditinggali Mamak  yang kondisinya sudah hampir ambruk, disamping untuk melunasi hutang-hutangnya. Ya, aku yakin Allah membuka kami jalan untuk menjual rumah itu, karena Maha Tahu apa yang paling tepat diberikanNya untuk kami.

Dan tentu saja, tentang jodoh. Aku sudah tak menghitung lagi, berapa proses kulewati dan selalu berakhir dengan kegagalan. Tapi aku selalu yakin, kelak, Allah akan memilihkan seseorang untukku di saat yang tepat.

Aku ingat perkataan guru mengajiku saat itu… “Jodoh itu dari Allah, maka mintalah sama Allah, dan upayakan diri kita layak mendapatkan jodoh dariNya”, Yah, aku akhirnya sadar, jangan pernah menyalahkan orang yang meninggalkan kita, jangan pernah menyalahkan mereka yang tak ikhlas menerima kita, terlebih jangan pernah menyalahkan takdir. Tapi teruslah ukur diri kita, sudahkah kita layak mendapatkan jodoh terbaik dariNya? siapkah kita saat Allah menjodohkan kita dengan manusia pilihanNya? maka fokuslah pada apa yang bisa kita upayakan, jangan fokus kepada hal-hal yang diluar kemampuan kita, karena menentukan siapa dan kapan jodoh kita, adalah HAK Allah semata. Dan tahukah kau, dulu aku pernah berharap mendapatkan seseorang yang mau menemaniku di kota kelahiranku, dan memiliki kemampuan berwiraswasta yang mumpuni, selain sholeh dan giat berdakwah tentunya. Dan Subhanallah, ternyata sosok seperti itu akhirnya dihadirkanNya di hadapanku. Dan dia, ya Allah, laki-laki itu begitu ikhlas menerimaku… sesuatu yang aku yakin, Jika Kau sudah memudahkannya, maka tak ada satupun yang  bisa menyulitkannya.

Dan nanti ya Allah, jika aku kehilangan apapun yang aku sukai, apapun yang aku sayangi, dan apapun milikMu yang Kau titipkan padaku, aku yakin Kau telah menyiapkan ganti yang lebih baik, dan rencanaMu ya Allah, adalah rencana yang terindah, skenario mengagumkan yang hanya akan terlihat indah, pada mereka yang berkhusnudzon pada setiap ketetapanMu…

“Duhai Tuhanku, karuniakan padaku ilham agar aku selalu mensyukuri

nikmat-Mu yang  Kau anugrahkan padaku dan kepada kedua orang tuaku,

dan agar aku selalu beramal shaleh yang Kau ridhai. Dengan rahmat-Mu

masuk ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shaleh.” ( An-Naml/27:19).

Amin


Tingkat Kepribadian Manusia

Abdul Fattah Rashid Hamid Ph.D., Seorang psikolog Muslim lulusan St. Louis University USA , dalam bukunya “ Pengenalan Diri dan Dambaan Spiritual” menyebutkan bahwa perjalanaan setiap Individu dalam menuju kesempurnaan kepribadiannya akan melewati tingkatan kepribadian sebagai berikut :

Kepribadian Tingkat I : AN-NAFS al- AMARAH
Pada tingkat ini manusia condong pada hasrat dan kenikmatan dunia. Minatnya tertuju pada pemeliharaan tubuh, kenikmatan selera-selera jasmani dan pemanjaan Ego. Di tingkat ini iri, serakah, sombong, nafsu seksual, pamer, fitnah, dusta, marah dan sejenisnya, menjadi paling dominan.

Kepribadian Tingkat II : AN-NAFS al-LAWWAMAH
Pada tingkat ini manusia sudah mulai melawan nafsu jahat yang timbul, meskipun ia masih bingung tentang tujuan hidupnya. Jiwanya sudah melawan hasrat-hasrat rendah yang muncul. Diri masih menjadi subjek yang dikendalikan hasrat-hasrat yang bersifat fisik, ia masih sering tertipu oleh muslihat dunia yang sementara ini.

Kepribadian Tingkat III : AN-NAFS al- MULHIMA
Pada tingkat ini manusia sudah menyadari cahaya sejati tidak lain adalah petunjuk Allah. Semangat Takwa dan mencari Ridha Allah adalah semboyannya. Ia tidak lagi mencari kesalahan-kesalahan orang lain tetapi ia selalu introspeksi untuk menjadi hamba Allah yang lurus. Ia selalu berzikir dan mengikuti sunnah nabi Muyhammad SAW.

Kepribadian Tingkat IV : AN- NAFS al-QANAAH
Pada tingkat ini hati telah mantap, merasa cukup dengan apa yang dimilikinya dan tidak tertarik dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Ia sudah tidak ingin berlomba untuk menyamai orang lain .
Ketinggalan ‘status ‘baginya bukan berarti keterbelakangan dan kebodohan. Ia menyadari bahwa ketidakpuasan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah menunjukkan keserakahan dan ketidakmatangan pribadi. Pada tingkat ini , manusia mengetahui bahwa seseorang tidak dapat memperoleh kebaikan apapun kecuali dengan kehendak Allah. Hanya Allah yang mengetahui apa yang terbaik dalam situasi apapun.

Kepribadian Tingkat V : AN-NAFS al- Mut’MAINNAH
Pada tingkat ini manusia telah menemukan kebahagiaan dalam mencintai Allah SWT. Ia tidak ingin memperoleh pengakuan dalam masyarakat atau apapun tujuannya. Jiwanya telah tenang, terbebas dari ketegangan, karena pengetahuannya telah mantap bahwa segala sesuatu akan kembali pada Allah. Ia benar-benar telah memperoleh kualitas yang sangat baik dalam ketenangan dan keheningan.

Kepribadian Tingkat VI : An-NAFS al- RADIYAH
Ini adalah ciri tambahan bagi jiwa yang puas dan tenang. Ia merasa bahagia karena Allah Ridha padanya . Ia selalu waspada akan tumbuhnya keengganan yang paling sepele terhadap kodratnya sebagai abdi Tuhan. Ia menyadari bahwa islam adalah fitrah insan dan ia pun haqqul yaqin pada firman Allah : “…..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu…” Ia patuh pada Allah semata-mata hanya sebagai perwujudan rasa terimakasih nya.

Kepribadian Tingkat VII : An-Nafs al-KAMILAH
Ini adalah tingkat manusia yang telah sempurna (al-insan al –Kamil)
Kesempurnaannya adalah kesempurnaan moral yang telah bersih dari semua hasrat kejasmanian sebagai hasil kesadaran murni akan pengetahuan yang sempurna tentang Allah. “Selubung diri “ nya telah terbuka hanya mengikuti kesadaran Ilahi. Nabi Muhammad SAW adalah contoh manusia yang telah sampai pada tingkat ini. Kepribadiannya mengungkapkan segala hal yang mulia dalam kodrat manusia .

Ditingkat mana diri berada?
Seorang ahli hikmah berkata, “Barangsiapa hendak memperbaiki jiwa hendaklah bersungguh-sungguh menekan diri sampai terbebas dari keburukannya “Wallahualam bishawab”

Sumber: Ir Permadi Alibasyah

http://www.facebook.com/SHOLAT.BERJAMAAH.DI.MASJID.YUK


Antara Percaya dan Mempercayakan

Pernah baca buku “Setengah Isi Setengah Kosong (Half Full Half Empty)” karangan Parlindungan Marpaung terbitan MQ Publishing? Ini buku motivasi ringan yang saya baca pertama kali waktu kuliah sekitar 4 tahun lalu. Waktu itu belum begitu heboh, hingga beberapa bulan kemudian ternyata buku itu akhirnya menjadi best seller. Dan saya akui memang cukup memikat karena kemasan bahasanya yang ringan dan mudah dipahami. Saya tidak akan mereview isi bukunya, saya hanya ingin berbagi satu judul yang sering saya jadikan contoh ketika berdiskusi dengan kawan-kawan seputar keimanan. Judul cerita yang saya maksud dalam buku itu adalah “Antara Percaya dan Mempercayakan”.

Dalam cerita itu dikisahkan, suatu kali diadakan sebuah lomba menyeberangi air terjun Niagara yang dihubungkan ujung ke ujungnya dengan seutas kawat baja. Setiap peserta yang ambil bagian dalam lomba itu hanya dibekali panitia sebuah tongkat penyeimbang.

Sejak pagi lomba telah dimulai, banyak peserta yang akhirnya gagal menyeberangi air terjun itu. Hingga akhirnya ada peserta yang dengan pengalaman dan kepiawaiannya mulai menapaki kawat baja tersebut dengan mantap. Ketika sampai ditengah perjalanannya, angin mulai berhembus dengan cukup kencang, peserta lomba itupun terayun-ayun, dia berusaha mencapai keseimbangan dengan tongkatnya, dan dengan sangat hati-hati dan perlahan, dia menapakkan kakinya di kawat yang licin karena uap air terjun.

Perlahan namun pasti, peserta itu memasuki tahap terakhir dari bagian perjalanannya. Sejenak dia terhenti akibat goyangan kawat baja yang merusak keseimbangan tubuhnya. Tampaknya, uap air terjun dan angin tengah hari yang berhembus cukup kencang sangat mempengaruhi usahanya untuk mencapai seberang air terjun itu.

Akhirnya, dengan segala upaya, motivasi dan konsentrasi yang fokus, peserta ini berhasil menyeberangi air terjun Niagara dengan disertai tepuk tangan dan penganugerahan medali kehormatan sebagai satu-satunya peserta yang berhasil menyelesaikan lomba.

Tidak lama kemudian, pria ini ditantang untuk kembali lagi menyeberangi ketempat asal guna membuktikan bahwa keberhasilannya bukan karena faktor keberuntungan semata. Tantangan ini diterima oleh pria itu, dengan memberikan sebuah pertanyaan kepada panitia dan para penonton.

“ Oke saudara-saudara, saya akan menyeberangi kembali menuju tempat asal, dan satu pertanyaan saya, apakah kalian percaya saya dapat melakukan hal ini ???”. Serentak semua penonton dan panitia mengatakan, “ Percaya.!!!!!”.

Lagi pria itu bertanya :“Kalau kalian percaya saya mampu melakukan penyeberangan ini, siapakah seorang diantara kalian yang bersedia bersama-sama dengan saya menyeberangi kembali air terjun ini ?”

Semua penonton dan panitia terdiam, “ Ayo, adakah diantara kalian yang berani? “. “Jangan khawatir, saya akan menggendong , dan kita bersama-sama pasti bisa menyelesaikan pekerjaan ini!” jelasnya lagi.

Kembali suasana hening, dan banyak pula penonton dan panitia yang menundukkan wajahnya. Tidak ada yang menjawab.

Ditengah keheningan, tiba-tiba seorang anak kecil menyeruak ditengah kerumunan massa, dan mengatakan bersedia. Akhirnya, perjalanan menyeberangi kembali air terjun Niagara dimulai, dan tampaknya, memakan waktu lebih lama dari perjalanan pertama kali tadi. Melewati setengah perjalanan, penonton bersorak dengan keyakinan bahwa kedua orang itu akan tiba di seberang dengan selamat.

“Sungguh pertunjukkan yang luar biasa!” ujar reporter televisi CNN yang meliput kejadian itu. Akhirnya tibalah pria itu beserta dengan anak lelaki yang dipundaknya dengan selamat, disertai dengan sorak sorai penonton. Fokus penonton sekarang bukan lagi kepada si Pria, melainkan kepada si anak kecil. Penasaran dengan keberanian si anak kecil ini, diapun diajak naik keatas panggung dan diwawancarai oleh panitia lomba.

“Nak, mengapa kamu mau mengajukan diri untuk naik bersama-sama dengan Pria itu menyeberangi air terjun yang berbahaya ini?”, tanya ketua panitia lomba.

“Saya berani, karena dia adalah Ayah saya!”jawab anak itu singkat.

Disini terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara PERCAYA dan MEMPERCAYAKAN. Sikap penonton dalam cerita di atas adalah lambang dari “PERCAYA”, sedangkan keikut sertaan si Anak di pundak Pria itu adalah “MEMPERCAYAKAN”.

…………………………………………………………………………………………………………..

Dan itu menggambarkan sejatinya kita, jika kita bertanya kepada saudara kita sesama muslim, Percayakah kita pada Allah? Saya yakin hampir setiap kaum muslimin yang kita temui akan menjawab dengan tegas “Percaya !!”. Tapi, apakah kita sudah mempercayakan hidup kita di tangan Allah? Pencipta kita yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi hambaNya? Jika iya, lalu mengapa masih banyak yang meragukan perintah Allah? Mengapa masih banyak yang mempertanyakan aturan Allah? Mengapa masih banyak yang tidak yakin aturan Allah pasti yang terbaik, pasti bermanfaat dan pasti mensejahterakan, terlepas apakah kita tahu atau tidak manfaatnya, tapi kepastian itu, Allahlah jaminannya.

Jika mau tahu seperti apa seharusnya kita mempercayakan hidup kita ditangan Allah, tengoklah kisah Rasulullah dan para sahabat menyikapi aturan Allah yang baru saja mereka terima. Ketika ayat pelarangan minum khamr turun, serta merta seluruh sahabat membuang kendi-kendi khamr yang mereka miliki, bahkan memuntahkan khamr yang baru saja hendak dan sudah diteguknya, hingga dikisahkan saat itu Mekah banjir khamr. Mereka seketika itu juga melaksakan perintah Allah langsung begitu seruan dalam ayatNya turun, tanpa menunda-nunda dan tanpa bertanya-tanya. Tidak ada satupun di kalangan sahabat yang bertanya dulu pada Rasulullah mengapa Allah mengharamkan khamr dan baru akan mematuhinya setelah puas mendapat jawaban Rasulullah. Padahal khamr sangat bermanfaat untuk menghangatkan tubuh karena Mekah pada malam hari sangat dingin. Tapi tak ada satupun yang melakukannya, kenapa? Jawabannya sudah jelas, keimanan membuat mereka mau mempercayakan apapun di tangan Allah.

Begitu juga kisah sahabiyah. Ketika ayat tentang kewajiban jilbab dan khimar turun, serta merta mereka mengambil dan menyobek kain apa saja yang ada di depannya, entah itu gorden, alas duduk atau apapun untuk menutupi auratnya. Seketika !! dan Tanpa Bertanya !!! Apalagi menunda-nunda dengan berbagai alasan. Dan kau pasti tahu alasannya kan? Karena tidak ada yang bisa 100% dipercaya kecuali Allah. Allah adalah jaminan akan kebaikan bagi kita, apapun itu aturannya.

Dan saya rasa semua juga pasti tahu tentang kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, putranya. Alasan apakah yang mendorong Ibrahim mau menyembelih anaknya Ismail? Tidak lain dan tidak bukan adalah Allah semata. Sesuatu yang dimata kita sangat kejam, ternyata begitu mulia di sisi Allah.

Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meragukan aturan Allah. Apapun itu !!! Apalagi mengharamkan apa yang sudah Allah halalkan seperti jihad, poligami, pembatasan usia nikah, atau pembatasan mahar bagi wanita misalnya. Kalaupun terjadi masalah itu bukan karena hukum Allah yang salah, tapi penerapannya yang tidak sesuai syariah. Jadi bukan hukumnya yang akhirnya di rubah, tapi pelaksana hukumnya yang harus mau berubah. Begitupun sebaliknya, menghalalkan apa yang Allah haramkan, seperti privatisasi sektor-sektor publik, homo, lesbi, waria, khamr, judi, riba, zina yang semakin marak dimana-mana. Jadi dalam Islam seharusnya tidak akan pernah sekalipun ditolerir adanya pernikahan sesama jenis atau lokalisasi judi sekalipun seluruh wakil rakyat setuju untuk diundangkan !!!

Aturan Allah pasti terbaik bagi hambaNya, apakah itu ekonomi, politik, tata pergaulan, pendidikan, rumah tangga baik itu dari bangun tidur hingga kita tidur lagi ataupun dari diri sendiri hingga pengaturan negara. Aturan Allah juga bukan aturan yang mustahil untuk dijalankan, karena sudah terbukti mampu mensejahterakan lebih 13 abad lamanya bertahan dan melingkupi 2/3 dunia. Dan tentu saja, kita mau melaksanakannya karena itu adalah konsekuensi keimanan kita, konsekuensi yang seharusnya membuat kita mempercayakan sepenuh hidup kita ditanganNya. Tanpa kecuali.

Jadi, sudahkah kita mempercayakan hidup kita di tangan Allah? Kita sendiri yang bisa menjawabnya. Wallahua’lam.


Thoriqul Iman

Thoriqul Iman atau jalan menuju keimanan harus di lalui melalui dua jembatan, yaitu dalil aqli (akal) dan dalil naqli (nash). Mengapa harus melalui keduanya? Agar kita bisa mencapai derajat keimanan yang 100% (tazdiqul jazm), tanpa setitik keraguanpun. Tak ada celah yang kelak bakal mengusik ruang keimanan kita, keimanan itu akan mampu bertahan melewati apapun serangan pemikiran, tak tergoyahkan hingga di penghujung hidup kita.

Tulisan ini mencoba mengurai betapa pentingnya dua jembatan yang harus kita lewati tadi. Kita akan merasakan betapa jalan akal benar-benar harus kita kuasai, ketika kita berhadapan dengan orang-orang ateis yang mengedepankan akal dalam mencari hakikat keberadaan Tuhan. Kekuatan nash dalam Al-Qur’an dan hadist tak akan mudah diterima oleh kalangan mereka, karena belum mempercayai kebenaran Al-Qur’an. Itulah mengapa jalan akal untuk menjawab apakah Tuhan itu ada? Apakah Muhammad seorang Rasul dan Apakah Al-Qur’an itu buatan Allah atau karangan manusia? Harus bisa kita uraikan. Setelah simpul pertanyaan itu kita uraikan dan mampu memberi jawaban yang memuaskan, maka hal-hal yang ghaib, yang diluar inderawi kita, pasti akan kita percayai 100%, karena semua diberitakan dalam Al-Qur’an. Bagaimana mungkin kita percaya surga, neraka, hari kiamat, adanya Allah, jika Al-Qur’an tidak kita percayai kebenarannya, sedangkan kita mengetahui semua hal ghaib tersebut melalui berita dalam Al-Qur’an. Dan bagaimana mungkin kita bisa percaya Al-Qur’an itu perkataan Allah, jika keberadaan Allah saja belum kita yakini.

Menghadapi pertanyaan dari orang-orang ateis, maka ada hal-hal yang harus kita perhatikan :

  1. Gunakan dengan logika akal, karena nash belum akan mampu memalingkan keyakinan mereka
  2. Yakinkan bahwa ketika dia mengajak berdiskusi adalah dalam rangka mencari kebenaran, bukan karena ego yang berujung pada debat kusir
  3. Kita hanya bisa berupaya, Allah lah yang memiliki hak membolak-balik hati manusia. Maka berdo’alah kepadaNya agar Dia memudahkan lisan kita dan memberikan petunjukNya.

Berpikir apakah Pencipta itu ada atau tidak, kita harus jeli mengamati sekeliling kita. Bahwa di dunia ini yang bisa kita indera ada tiga, alam semesta, manusia dan kehidupan. Sekarang kita lihat hakikat ketiganya.

1. Alam semesta.

Adalah sebuah kesatuan, terbatas dan tidak bisa berdiri sendiri. Udara tak akan ada tanpa adanya ikatan molekul di dalamnya, ikatan tidak akan terjadi tanpa adanya ruang dan hukum interaksi, interaksi tak akan ada tanpa faktor-faktor pengaruhnya seperti suhu, kelembaban dsb. Tumbuhan tak bisa hidup tanpa media, sebutlah tanah. Tanah tak ada tanpa zat penyusunnya, zat penyusun tak akan terbentuk tanpa dukungan makhluk lain seperti fosil, binatang, air, dsb. Bumi juga tak akan ada pada tempatnya tanpa atmosfir, atmosfir tak akan ada tanpa udara penyusunnya, udara tak akan ada tanpa komponen penyusunnya, begitu seterusnya.

Ternyata semua penyusun alam semesta terbatas sifatnya dan saling bergantung dengan yang lain. Jika alam semesta dianggap ada dengan sendirinya, lalu apa yang pertama kali ada? Apakah mungkin ada jika komponen pendukungnya tak ada? Tak ada yang mampu membuktikannya karena memang tak akan pernah bisa.

2. Manusia.

Manusia sebagai makhluk yang berakal, terbentuk karena bertemunya sel telur dan sperma. Ilmu genetika pun akhirnya membuktikan ternyata ada sistem DNA yang begitu canggihnya, penyimpan data paling mutakhir yang berisi kode-kode yang mengendalikan reaksi jutaan pasang basa pada diri manusia. Tak ada DNA, fungsi manusia tak akan terbentuk. Jika manusia ada dengan sendirinya, maka DNA harus ada pertama kali. Lalu bentuknya seperti apa? Sedangkan DNA tak akan bereaksi tanpa peran simpul-simpul mekanisme tubuh manusia, seperti syaraf, asupan makanan, lingkungan, dsb. Dan belum ada yang mampu membuktikan seutas DNA akan mampu berkembang menjadi manusia yang utuh dengan begitu banyak kemampuannya.

Ternyata manusia pun terbatas dan memiliki ketergantungan. Jika ada dengan sendirinya, seperti apa wujudnya? Hal ini juga belum ada yang sanggup membuktikannya karena memang tak akan bisa dibuktikan.

3. Kehidupan

Kehidupan juga terbatas, karena kita tak pernah bisa merasakan kehidupan orang lain. Kehidupan kita selalu bergantung pada kehidupan makhluk lain. Lalu bagaimana caranya kehidupan itu ada dengan sendirinya? Jika ada makhluk hidup yang pertama kali ada dengan sendirinya, apa bentuknya? Padahal makhluk hidup juga terbatas seperti yang diuraikan sebelumnya. Jika yang pertama kali adalah benda mati, bagaimana bisa memunculkan kehidupan?

Ternyata kehidupanpun terbatas, karena yang berjiwa pasti mati. Jika kehidupan ada dengan sendirinya, lantas siapa yang menghidupkannya?

Banyak pelengkap fakta yang mendukung pemikiran di atas (silakan buka karya harun yahya yang sebagian besar mengungkap runtuhnya teori evolusi dengan pemaparan fakta yang jeli dan tak terbantahkan). Sebagai contoh, kumbang yang tak berakal mampu membuat sarang heksagonal yang begitu akuratnya. Apakah kumbang yang pertama kali ada tak mampu membuatnya? Ingat! Kumbang tak berakal! Lalu bagaimana dengan keterbatasannya (tak berakal) dia mampu membuat sarang dengan begitu akuratnya tanpa alat ukur sedikitpun? Dan masih banyak contoh lainnya (silakan kunjungi harunyahya.com).

Dari sini jelas, bahwa apapun yang kita indera semua TERBATAS. Sesuatu yang terbatas, TAK MUNGKIN ADA DENGAN SENDIRINYA karena selalu butuh yang lain untuk ada, maka otomatis ketika dia ada memerlukan YANG TAK TERBATAS, yang tentu saja bukan makhluk dan berbeda dengan makhluk, dan dialah PENCIPTA.

Dengan penjelasan dan paparan fakta yang begitu gamblang, bagaimana jika mereka tak juga mengimani keberadaan Sang PENCIPTA? Maka urusan ini kita serahkan pada ALLAH, sang pembolak-balik hati manusia. DIA akan memberi petunjuk pada siapa yang Dikehendaki dan menyesatkan siapapun yang dikehendaki. Wallahulam

Lalu bagaimana akal memahami hakikat keberadaan seorang Rasul dan Al-Qur’an itu wahyu?

Ketika memahami bahwa kita diciptakan di dunia adalah terbatas, dan semua yang tercipta ternyata selalu berhubungan satu sama lain, maka kita bisa menarik benang merah bahwa ternyata semua tercipta punya tujuan dan punya maksud. Tujuan adanya penciptaan juga tak lepas dari kehendak Sang Pencipta. Ketika kita berpikir bahwa Sang Pencipta “hanya sekedar” menciptakan makhluknya (alam semesta, manusia dan kehidupan), maka tak akan mungkin ada keteraturan interaksi yang luar biasa, tak perlu adanya akal untuk manusia karena toh Sang Pencipta punya kuasa untuk menetapkan apapun. Maka kita bisa semakin memahami, ternyata “akal” ini diciptakan “hanya untuk manusia” itupun sudah pasti ada maksudnya.

Pencipta Maha Tahu tentang apapun yang diciptakannya, maka DIA lah yang sesungguhnya paling BERHAK mengatur apa yang diciptakannya. Lalu bagaimana makhluknya bisa mengetahui KEMAUAN SANG PENCIPTA tadi? Bagaimana makhluknya, dalam hal ini manusia mengerti “rambu-rambu” yang digariskan Sang Pencipta, agar manusia tahu betul, apa hakikat penciptaannya di dunia ini?

Inilah urgensi keberadaan seorang Rasul. Dia harus berada di tengah-tengah manusia, dan dari jenis manusia, untuk menunjukkan “apa yang harus dilakukan” manusia dalam penghambaan kepadaNya. Maka tak mungkin dia “Pencipta” itu sendiri karena DIA memiliki kuasa untuk menunjukkannya dari kalangan manusia, terlalu naïf rasanya jika seolah-olah “Pencipta” harus turun tangan dan terjun ke alam dunia untuk sekedar menjelma manjadi seorang makhluk. Tak mungkin juga dari kalangan selain manusia, apakah itu jin atau malaikat, karena hakikatnya contoh itu harus menunjukkan secara nyata aktivitas yang pasti bisa diikuti, dan tentulah pasti dari kalangan manusia. Dan kemudian sejarahlah yang berbicara siapakah para Rasul sesungguhnya, dan siapakah Rasul terakhir, yang tentu saja ajarannya yang harus diikuti, karena sempurna dan paripurna. Dialah Rasulullah Muhammad SAW (silakan baca shirohnya…untuk mengetahui kisah indahnya yang berasal langsung dari skenario ALLAH SWT). Seorang sosok yang menggambarkan contoh yang utuh, sebagai individu maupun bagian dari masyarakat, sebagai pemimpin maupun seorang hamba, sebagai ayah maupun suami, sebagai pendidik maupun pengemban dakwah, sebagai panglima sekaligus pasukan, sebagai sahabat sekaligus pembawa risalah… tak ada celah kisah yang menunjukkan kelemahannya sebagai seorang Rasul.

Sedangkan keimanan kepada Al-Qur’an, kita harus mengamati secara jeli hakikat Al-Qur’an itu sendiri. Bahwa Al-Qur’an adalah kitab berbahasa Arab, maka realitas tersebut memungkinkan kita melihat,

  1. Apakah Al-Qur’an itu karangan orang Arab?
  2. Apakah Al-Qur’an itu karangan Muhammad?
  3. Apakah Al-Qur’an itu kalam ALLAH?

Bahasa Arab memiliki ketinggian sastra yang luar biasa, pun masa ketika diturunkannya Al-Qur’an adalah masa dimana berkumpulnya kehebatan para ahli sastra yang ada sepanjang sejarah. Dan nyatanya, pada saat itu tak ada satupun karya sastra yang serupa Al-Qur’an mampu dilahirkan dari tangan mereka. Karena jika ini adalah hasil karya sastra orang Arab, maka tak bisa dipungkiri, pasti ada sosok yang sanggup menunjukkan karya yang serupa. Sebagai contoh, ketika kita tahu karya JK Rowling adalah fenomenal, ternyata ada banyak karya serupa yang isinya tidak jauh berbeda, Lord of The Rings atau Narnia misalnya, begitupun karya tulisan manusia yang lain. Tapi, tidak dengan Al-Qur’an!

Lalu apakah Al-Qur’an karangan Muhammad? Ingat Muhammad juga orang Arab, maka ketika tak ada satupun ahli sastra yang mampu, tentu saja Muhammad pun tak mampu. Ditambah lagi redaksional hadits yang sangat berbeda dengan bahasa Al-Qur’an. Jika Al-Qur’an adalah karangan Muhammad, maka pasti akan ditemukan kemiripan redaksional hadist dengan bahasa Al-Qur’an, karena tidak akan mungkin seseorang dengan gaya bahasa yang sama mengeluarkan dua karya tanpa ditemukan adanya kemiripan sedikitpun diantara keduanya. Ingat! Bahasa Al-Qur’an juga disampaikan melalui lisan Rasulullah!

Maka kemungkinannya tinggal satu, Al-Qur’an adalah kalam ALLAH. Itulah petunjuk untuk makhlukNya, yang disampaikan melalui seorang Rasul, untuk menuntun manusia agar tahu apa tujuan penciptaannya dan mengerti betul “Mengapa ia harus diciptakan di dunia ini?”.

Maka ketika kita meyakini Al-Qur’an adalah kalam ALLAH, tak ada satupun yang kita ragukan isinya. Termasuk nash-nash tentang keimanan dan hal-hal ghoib yang diberitakan di dalamnya. Tak memilah dan memilih ayat-ayat yang ada sesuai kehendaknya, tapi berusaha agar hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an bisa diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan, karena ….

ATURAN ALLAH WAJIB DITERAPKAN … sesuai dengan hakikat penciptaan kita di dunia… Wallahualam.

Pustaka : Nidzomul Islam oleh Syekh Taqiyyudin an Nabhani