…. jejakku, cintaku ….

Berkarir, haruskah?

Tulisan ini adalah tanggapan atas beberapa respon tulisan saya sebelumnya, pun beberapa respon di FB sesaat setelah kata-kata Ibu Ainun Habibi dipost oleh salah seorang kawan. Banyak diantara ibu-ibu yang masih membela dirinya bahwa wanita karir tidak seburuk itu, bahwa mereka juga berjuang untuk keluarga, bahwa mereka juga memiliki keahlian yang bisa bermanfaat untuk orang lain, bahwa keadaan sekarang yang memaksa mereka sebagian merasa “WAJIB” terjun sebagai pekerja, dan respon sejenisnya.

Satu hal yang harus kita sepakati dalam membahas setiap permasalahan hidup adalah standar menilai yang sama, sehingga tak akan ada perang pendapat dari masing-masing kepala yang tak ada ujung pangkalnya. Ingat pembahasan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi beberapa tahun lalu yang sulit menemui kata sepakat? Ya karena standar dalam menilai masih diserahkan ke kepala manusia semata, entah itu sebagai wakil rakyat, sebagai pekerja seni, sebagai pengusaha hiburan, dan profesi yang lainnya, maka definisi apa itu porno pun beragam bentuknya. Dan jangan harap akan menemui kesepakatan yang dikehendaki. Lalu apa seharusnya yang layak dijadikan standar?

Sebagai umat ISLAM, tentu hukum Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya yang harus dijadikan standar. Maka jelas, apa definisi aurot yang boleh terlihat di depan umum atau tidak, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan begitu, tak peduli ia pekerja seni, tak peduli ia pengusaha hiburan, tak peduli ia aktivis pejuang HAM perempuan, semua harus tunduk pada hukumNya, sang pencipta manusia, yang Maha Tahu apa yang paling terbaik bagi umatNya, siapapun mereka. Lalu bagaimana ISLAM menyikapi begitu banyaknya perempuan yang akhirnya berkiprah di ruang publik?

ISLAM telah mengatur dalam syariatnya, apa beban kewajiban laki-laki dan perempuan, karena Allah Maha Tahu apa sejatinya maksud penciptaan kedua jenis manusia itu, ada laki-laki dan ada perempuan. Allah telah menyampaikan bahwa beban mencari nafkah merupakan KEWAJIBAN laki-laki sebagai suami, bukan perempuan. Lalu apa kewajiban perempuan? Mereka memiliki kewajiban sebagai Ummu warobatul bayt, Ibu dan Pengatur Rumah Tangga. Lalu ketika keadaan memaksa wanita bekerja karena alasan ekonomi misalnya, apa lantas hukum itu akan berubah? Ingat! Hukum Allah sampai kapanpun tak akan pernah berubah! Yang WAJIB selamanya akan menjadi wajib kecuali ada indikator lain yang diterangkan dalam nash. Maka ketika syariat menerangkan bahwa beban kewajiban nafkah itu ada ditangan suami, maka bagaimana jika kondisi tertentu ia tak mampu? Sakit yang tak memungkinkan kerja, atau meninggal misalnya, bagaimana lantas si istri bisa memenuhi kebutuhan anaknya?

Dalam ISLAM ada mekanisme yang jelas, bagaimana sekalipun tidak bekerja, maka keluarga yang kehilangan peran suami/ayah tetap bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang pertama, kewajiban itu berpindah pada ahli warisnya atau kerabatnya yang mampu, dan mereka berdosa jika tidak melakukannya (QS. Al Baqarah : 233). Lalu bagaimana jika ahli waris dan kerabatnya tidak ada yang mampu menanggung nafkahnya? Maka hal tersebut menjadi kewajiban negara! Itulah urgensinya memperjuangkan agar syariah bisa diterapkan dalam bingkai negara, tentu saja untuk menjamin pelaksanaan hukum yang hanya mampu diterapkan jika ada negara! Silakan cari buku pendukung tentang mekanisme pengolaan kekayaan negara dalam sistem ISLAM hingga mampu menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya. Era kekhilafahan telah menunjukkan bukti yang jelas, bahwa sistem ISLAM adalah sistem yang paling manusiawi, karena memang diturunkan untuk mengatur manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang tua, orang miskin dan orang kaya, lajang dan berkeluarga, ataupun yang sehat dan yang sakit. Namun, bagaimana jika dalam kondisi tertentu negara juga tidak mampu? Maka kewajiban itu berpindah ke tangan kaum muslimin yang mampu (QS. Adz Dzariat : 19).

Lalu bagaimana menyikapi dengan perempuan yang bekerja dengan alasan ingin mengaktualisasikan ilmunya? Dalam ISLAM hukum asal wanita bekerja MUBAH, bukan WAJIB ataupun HARAM. Namun, kemubahan itu bisa menjadi haram jika tidak memenuhi ketentuan syariat. Antara lain, jika pekerjaan itu melalaikan kewajiban utamanya sebagai Ibu dan pengatur rumah tangga, termasuk lalai dalam mengasuh anak-anaknya yang telah menjadi amanahnya, atau bekerja tanpa ridlo suaminya, maka pekerjaan itu harus ditinggalkan, karena yang mubah tidak boleh mengalahkan yang wajib. Dalam hal ini, ketentuan nash sudah jelas, bisa dicari ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan kewajiban utama seorang perempuan, terlebih seorang istri dan seorang Ibu.

Jadi sampai kapanpun, hukum wanita bekerja tak pernah berubah menjadi WAJIB, dan yang perlu kita upayakan untuk menolong para perempuan yang akhirnya merasa “WAJIB” bekerja karena kondisi adalah, memperjuangkan agar syariat bisa ditegakkan, karena itu satu-satunya jalan menjamin maslahat, untuk setiap umat.

Ibu mengandung, itu hal biasa. Ibu meregang nyawa dikala melahirkan, menjadikannya istimewa. Ibu menyusui bayinya, memang sudah fitrahnya. Ibu mendidik putra-putrinya, menjadikannya mulia.

Namun….

Ibu mati-matian bekerja demi nafkah keluarga adalah sumber derita dan malapetaka! Tak percaya? Lihatlah di media, bagaimana wajah generasi kita, kebebasan dijadikan kiblat pergaulan, kehidupan hedonis dijadikan anutan, budaya permisiv dijadikan acuan, para idola layar kaca dijadikan pujaan, dan bagaimana materi dijadikan tujuan !

Wallahualam.

2 responses

  1. Disa

    Bagaimana bila istri diminta bekerja oleh suami, org tua dan mertuanya secara bersamaan??? apakah hrs dilawan jg?? mgkn si istri tdk mau utk bekerja dan ingin mengurus anak saja, tp bila si “penentu” surga (suami) nya mlh lbh ridho bila dia bekerja apa hukumnya??? ditambah org tua dan mertuanya yg ridho jg.

    Februari 7, 2013 pukul 20:19

    • Assalamualaikum ukhti yang dirahmati Allah…

      hukum wanita bekerja sudah jelas, mubah dengan syarat tidak melalaikan kewajibannya sebagai ummu wa rabbat al bayt (Ibu dan pengatur rumah tangga), dan hal itu tidak pernah menjadi kewajiban, apapun kondisinya, karena kewajiban nafkah itu dibebankan pada suami,
      Allah berfirman:
      ‎وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
      Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
      (Al-Baqara: 233)

      jika kenyataannya suami malah meminta istri bekerja, kemungkinannya adalah, suami tidak mengetahui hukum syariah tentang hal ini, sehingga seharusnya dia tidak menyuruh istrinya bekerja, karena justru akan abai terhadap pengasuhan anaknya, padahal anak adalah amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah… kemungkinan yang kedua suami mendahulukan tujuan duniawi seperti harta yang akan diperoleh atau status sosial yang lebih jika istri bekerja, maka standar ini harus diluruskan bahwa standar bagi seorang muslim bukanlah materi namun keridloan Allah semata…

      saran saya, niatkan pernikahan sebagai ajang saling menasehati antar pasangan secara ma’ruf (baik) dengan komunikasi yang sebaik-baiknya, dan memohonlah kepada Allah untuk membukakan pintu pemahaman bagi mereka yang masih abai terhadap hukum Allah….

      Ingatlah bahwa beban mendidik dan mempersiapkan generasi tak bisa dilakukan dengan sambilan dan diwaktu sisa, jika ingin hasilnya adalah generasi Rabbani yang mampu memimpin peradaban dan menjadi aset akhirat kita….

      InsyaAllah…

      Februari 11, 2013 pukul 04:20

Tinggalkan komentar