…. jejakku, cintaku ….

Genggam Duniamu untuk Akhiratmu

Allah menciptakan jin dan manusia semata-mata untuk beribadah kepadaNya (QS. Adz-Dzariyat : 56), dan dunia beserta isinya pun diciptakan Allah untuk manusia dalam rangka memfasilitasi beribadah kepadaNya. Manusiapun dibekali akal juga dalam rangka untuk beribadah kepadaNya. Namun seringkali manusia hanya berambisi mengejar dunia, dan nafsunya lebih digunakan dibandingkan akalnya, walhasil tujuan penciptaan yang semula beribadah kepadaNya, menjadi budak dunia. Lalu salahkah jika seandainya manusia berupaya untuk mengejar dunia? Tidak. Selama dijadikan sarana dalam rangka beribadah kepadaNya. Para sahabat  telah menunjukkannya.

Menemukan figur hartawan yang zuhud dan berjuang untuk agama Allah jaman sekarang memang susah. Dan kadangkala kesulitan menemukan figur itulah yang menjadikan banyak anggapan bahwa kekayaan lebih dekat kepada dosa, melenakan dunia dan menjerumuskan ke neraka. Padahal kata Rasulullah SAW seperti yang diriwayatkan oleh Ad-Dailami, harta kekayaan menjadi sebaik-baik penolong bagi pemeliharaan ketakwaan kepada Allah SWT. Cinta Allah SWT kepada hambaNya tidak tergantung pada keadaan miskin atau kaya. Banyak orang miskin yang dicintai Allah, demikian juga banyak orang kaya yang menjadi kekasihNya. Memang, banyak peringatan dalam Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa kekayaan sering menggelincirkan manusia hingga mengundang kebencian, bahkan azab dari Allah, misalnya kisah Qarun. Namun, Islam sesungguhnya tidak pernah memposisikan kekayaan sebagai musuh. Membangun peradaban Islam rasanya lebih mudah jika ditopang oleh banyaknya hartawan mukmin yang dermawan.

Berhati-hati terhadap kemiskinan

Dalam satu hadistnya, Rasulullah secara tersirat menyebutkan bahwa kemiskinan boleh jadi menjadi musuh orang-orang beriman, karena ia bisa mengantarkan kepada kekafiran (Riwayat Baihaqi). Sebaliknya kekayaan bisa menjadi perantara menjadikan kita sebagai hamba yang dimuliakan Allah (Riwayat ad-Dailami). Dalam hadist lain Rasul bersabda, “Pada akhir zaman kelak manusia harus menyediakan hartanya untuk menegakkan urusan agama dan urusan dunianya (Riwayat Ath-Thabrani). Pada QS. Al-Anfal : 60 secara tidak langsung Allah SWT menyuruh kaum muslimin untuk mengejar kekayaan dalam rangka misi membangun peradaban, selain bekal ilmu tentunya. Anjuran untuk menjadi kaya bisa dilihat dari munasabah (keterkaitan) antara perintah mempersiapkan kekuatan dengan keterangan tentang balasan menggunakan kekayaan di jalan Allah pada akhir ayat.

Tak hanya untuk menegakkan kalimat Allah, untuk menjalankan kehidupan pun setiap muslim membutuhkan kekayaan. Dan Islam menganjurkan agar kekayaan itu lebih baik jika didapatkan dari hasil bekerja (milik sendiri), bukan hasil meminta-minta (belas kasihan orang). Setiap muslim wajib memelihara muru’ah (harga dirinya). Rasulullah SAW bersabda, “Tangan di atas lebih mulia dibandingkan dengan tangan di bawah” (Riwayat Bukhari).

Kriteria Kaya

Jangan takut menjadi kaya jika membuka peluang lebih besar untuk dicintai Allah. Lalu kaya yang seperti apa?

1. Kaya fisik

Orang yang sehat, energik (tidak malas) ditambah jika normal dan gagah, maka bisa dikatakan dia kaya secara fisik. Namun yang lebih utama adalah kesehatan, karena ianya adalah harta yang tak ternilai.

2. Kaya harta

Jika asset yang dimilikinya melebihi total hutangnya, pendapatannya terus meningkat, rasio kekayaaannya lebih dari satu. Jika salah satu tidak terpenuhi maka ia masih labil dan punya potensi untuk jatuh miskin, kecuali karena kehendakNya.

3. Kaya mental

Berkaitan dengan “siapa menguasai siapa”. Jika uang menjadikan kita sombong, menjadikan tidak giat bekerja maka uang telah menguasai kita. Orang kaya mental jika dengan bertambahnya uang justru menjadikannya semakin rendah hati, rajin, disiplin, sabar, berintegritas dan peduli. Rasulullah bersabda, “Yang disebut kaya bukanlah banyaknya harta benda, tapi kaya yang sebenarnya adalah kaya jiwa (mental)” (Riwayat Abu Ya’la).

5. Kaya sosial

Jika kekayaan itu difungsikan untuk membantu orang lain, yang akan semakin memupuk banyaknya saudara, pembela, dan jaringan silaturahim. Rasulullah SAW bersabda, “Seorang pemurah hati dekat kepada Allah, dekat kepada manusia dan dekat kepada surga” (Riwayat ath-Thabrani).

6. Kaya spiritual

Orang yang mampu menghubungkan kekayaan untuk mendatangkan pahala, bukan menambah dosa. Harta didapatkan dari cara yang halal dan dibelanjakan di jalan yang diridloi Allah.

Jika kita bisa menggabungkan seluruh kekayaan diatas, maka itulah kaya yang sesungguhnya, sebuah kekayaan yang tak perlu ditakutkan, seperti yang digambarkan Rasulullah, “Alangkah baiknya harta jika berada di tangan orang-orang shalih” (Riwayat Ahmad).

.

Zuhud

Orang kaya yang zuhud sangat dicintai Allah. Zuhud adalah sikap kesederhanaan hidup sekalipun dikaruniai harta yang berlimpah, karena mengharapkan kedudukan yang lebih tinggi di mata Allah. Harta yang dimilikinya tidak menjadikannya melalaikan akhirat. Sikap zuhud disyariatkan, namun jangan sampai dipahami keliru. Yaitu ketika zuhud dipahami sebagai sikap meninggalkan dunia dalam arti tidak mau terlibat dalam urusan duniawi, mengasingkan diri dan abai dengan permasalahan umat.  Atau dipahami sebagai sikap meninggalkan dunia dalam arti tidak perlu bekerja, berusaha atau berbuat demi urusan dunia. Akibatnya kegiatan produktif dan inovatifpun lenyap, kejumudan melanda masyarakat dan membuat umat mundur dan terpuruk. Akibatnya umat Islam menjadi umat yang mengandalkan inovasi orang-orang kafir, dan bayangkan jika orang-orang berilmu dan hartawan bukanlah orang-orang yang shalih, maka bisa dipastikan tak akan ada keberkahan di dalamnya.

Zuhud juga bukannya tak mau makan makanan enak, memakai pakaian bagus, tidak berkendaraan atau menggunakan kemudahan fasilitas lainnya. Allah sendiri menyukai hambaNya yang menampakkan atsar rejeki dan kenikmatan yang Dia berikan. Zuhud juga bukan menyia-nyiakan harta, meninggalkannya, atau membelanjakannya secara tidak benar.

Abu Dzar meriwayatkan dari Nabi SAW “Zuhud di dunia itu bukanlah dengan mengharamkan yang halal dan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi, zuhud di dunia itu hendaknya apa yang ada di tanganmu tidak lebih engkau percayai (jadikan sandaran) dari apa yang ada di tangan Allah, dan hendaknya pahala musibah jika sedang menimpamu lebih engkau sukai daripada jika musibah itu tidak ditimpakan kepadamu (HR. Ibn Majah dan Tirmidzi).

Maka zuhud di dunia tercermin dalam 3 perkara, yaitu :

1. Bersandar pada apa yang ada di tangan Allah.

Dengan begitu ia tidak akan merasa berat melepaskan harta yang ada di tangannya, tidak merasa sedih kehilangan harta dari tangannya, harta baginya adalah sesuatu yang remeh dan kecil. Harta hanya untuk memenuhi kebutuhannya dalam kadar yang cukup dan menjadikannya sebagai jalan untuk menuju akhirat dengan mengutamakan membelanjakannya di jalan Allah, sebanyak-banyaknya.

2. Kondisi sedang ditimpa musibah atau tidak, baginya sama.

Ia akan tetap bersyukur dan bersabar, bersyukur karena terhindar dari musibah atau mendapat pahala saat ditimpa musibah. Bahkan ia lebih suka musibah itu tetap ada selama ia mendapat pahala dan keridloan Allah. Az-Zuhri berkata, “Zuhud adalah bila yang halal tidak menghalanginya bersyukur dan yang haram tidak mengalahkan kesabarannya”. Abu Said berkata, “Maksudnya adalah bersabar atas yang haram (tetap meninggalkannya) dan bersyukur atas apa yang halal, mengakui hak Allah dan menggunakan kenikmatan di dalam ketaatan”.

3. Pujian dan celaan tidak mempengaruhinya untuk tetap berada di atas kebenaran.

Artinya ia bisa menjauhkan hasrat akan pujian, prestise, kebanggaan, dsb dari hatinya. Dengan itu ia tak akan lupa diri karena pujian ataupun bertambah semangat karenanya. Ia pun tidak kendor karena celaan atau tambah giat untuk membuktikan diri. Akan tetapi ia berbuat semata karena Allah.

Sikap seperti di atas akan berpengaruh besar pada kebaikan dan kemajuan masyarakat. Tak ada salahnya menggenggam dunia, meraih ilmu, kekayaan dan tentu saja kekuasaan, asalkan dalam rangka beribadah kepadaNya dengan melaksanakan seluruh aturanNya, bukan aturan manusia. Nabi SAW bersabda, “Zuhudlah di dunia niscaya Allah mencintaimu dan zuhudlah terhadap apa yang ada di tangan manusia niscaya manusia mencintaimu (HR. Ibn Majah, al-Hakim dan al-Baihaqi). Wallahualam.

Berikut ini adalah contoh beberapa tabiat dari orang-orang  yang mampu menempatkan dunia pada letak yang  seharusnya. Mereka diberi kemampuan untuk meraih dunia, tanpa pernah meninggalkan keutamaan akhirat.

1. Harta yang berkah

Mungkin sudah banyak yang menceritakan kisah Abdurrahman bin Auf, salah satu sahabat Nabi yang memiliki kekayaan yang luar biasa, para milyader, tapi tak pernah terpikirkan kekayaan tersebut untuk memenuhi hasrat duniawinya semata.

Ketika hijrah ke Madinah, seluruh hartanya ia tinggalkan di Makkah. Sekalipun mendapat tawaran harta dari kaum Anshor, namun Abdurrahman menolaknya dengan halus. Ia lebih memilih mendoakannya dan menikmati jerih payahnya sendiri. Beliau berujar, “Semoga keluarga dan hartamu diberkahi Allah. Tunjukkan saja aku pasar terdekat”.

Lalu Ia mulai berdagang dan usahanya makin berkembang, yang menjadikannya salah satu pilar kekuatan ekonomi umat. Perdagangan yang semula dikuasai kaum Yahudi dengan sistem ribawi (seperti kondisi saat ini), tersingkir dengan sistem Islam yang dikembangkannya.

Banyak dokumentasi yang menyebutkan infak Abdurrahman untuk perjuangan Islam dan kaum muslimin yang begitu besarnya. Ia selalu memberikan sumbangan kendaraan jihad baik unta maupun kuda sejumlah ribuan untuk ekpedisi dakwah dan jihad.

Hingga wafatnya, ia masih mewasiatkan 50 ribu dinar untuk para veteran perang badar. Ustman bin Affan berkata, “Sungguh harta Abdurrahman halal dan suci. Makan dari hartanya akan menyehatkan dan mendatangkan berkah”. Subhanallah.

2. Hati yang Ridlo

Kegiatan perniagaan tak selalu menjadi penghambat dalam memperdalam ilmu. Abu hanifah tersohor sebagai saudagar yang dermawan. Suatu ketika saat ada keperluan, beliau meninggalkan tokonya dan berpesan kepada pegawainya agar menjual dagangannya dengan harga yang telah ia tetapkan. Namun ternyata karena barangnya laku keras, sang pegawai menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Rupanya berita dari sang pegawai sangat merisaukannya. Maka diperintahkanlah sang pegawai untuk mencari pembeli tersebut sampai ketemu, dan memberi harga yang seharusnya.

Kehati-hatian dan kejujuran Abu Hanifah dalam memanfaatkan hartanya telah membentangkan ridlo Allah, yang menjadikannya mudah menerima dan memahami ilmu serta menyampaikannya, dan memberikan manfaatnya untuk umat. Subhanallah.

3. Konsisten

Namanya Assari Assaqti, guru dari Imam Junaid. Selain sebagai ulama, ia juga pedagang. Suatu kali ia membeli barang seharga 60 dinar, dan akan menjualnya lagi dengan mengambil untung 3 dinar. Tiba-tiba barangnya menjadi langka dan harga di pasaran melonjak hingga 90 dinar. Dan ketika ada seseorang yang menawarnya dengan harga 90 dinar, ia tetap menjualnya seharga 63 dinar.

Keuntungan materi, adalah nilai yang harus dicapai dari amal berdagang, namun tak menutup kemungkinan untuk mendapatkan nilai lainnya. Yaitu nilai sosial dan nilai ruhiyah, yang akan semakin mendatangkan kecintaan Allah kepadanya. Subhanallah.

4. Sederhana

Adalah Kyai Hasani Nawawi, pengasuh Ponpes Sidogiri, Jatim yang santrinya mencapai tiga ribuan dari seluruh Indonesia. Dari kekayaan yang dia miliki, ia sebetulnya mampu membeli kendaraan, namun dalam kesehariannya ia tampil sederhana dan senantiasa berbagi dengan memanfaatkan sarana umum, entah angkot ataupun para tukang becak. Kepeduliannya terhadap rakyat kecil dan pekerja kasar patut dicontoh.

Ada sebuah ungkapan bijak, simpanlah harta di dalam peti, jangan dimasukkan ke dalam hati. Harta yang disimpan di dalam peti akan mudah didayagunakan sesuai kebutuhan dan keperluan. Meski banyak dan berlimpah ruah, tak akan sampai mengusik hati, karena bisa digunakan untuk memperbanyak upaya menolong dan berbagi kebaikan terhadap sesame. Akan berbeda jika dimasukkan ke dalam hati, yang pasti akan sulit mengeluarkannya di jalan Allah, dan ia tidak menjadi tuan bagi hartanya namun menjadi hamba bagi hartanya.

Benarlah kata Nabi SAW, semaslahat-maslahatnya harta adalah berada di tangan orang yang sholeh, semata-mata mengharapkan keridloan Allah semata. Wallahualam.

 

Pustaka :

Suara Hidayatullah edisi 08/XXI/Des 08

Suara Hidayatullah edisi 07/XX/Nop 07

Suara Hidayatullah edisi 04/XX/Agt 07

Al-Wa’ie N0.111 Th. X Nov 09

Tinggalkan komentar