…. jejakku, cintaku ….

Kenikmatan Seorang Pecinta

Mungkin kadang kita tak habis pikir, kok mau2nya sih ngabisin duit cuman buat balapan motor? naik gunung? memelihara binatang kesayangan? (hanya untuk sebuah analogi). Tapi tanyakanlah kepada mereka, ternyata mereka sangat menikmati aktivitas tersebut lebih dari kenikmatan apapun di dunia ini, kenikmatan nonton film, kenikmatan makanan lezat, kenikmatan pesta pora, kenikmatan menginap di hotel berbintang atau mungkin bahkan kenikmatan hubungan sex. Mereka tak peduli orang berkata apa, itulah kenikmatan seorang pecinta. Seorang pembalap akan menikmati hidup saat berada di sirkuit, saat menyalip lawan dan saat berada di garis finish. Mereka bahkan tak peduli saat nyawa mengancam. Tak jarang mereka tidak kapok untuk balapan lagi sekalipun kecelakaan yang parah dan hampir2 merenggut nyawanya pernah di alaminya. Atau bagaimana kenikmatan seorang pendaki jika sudah berhasil menaklukkan puncak gunung, sekalipun untuk itu dia harus meninggalkan keluarganya, menapaki lereng demi lereng, menahan dinginnya udara ataupun terpaan salju dan badai, terpeleset, tergores, mungkin bahkan terantuk batu dan terancam nyawanya. Tapi perjuangannya sangat luar biasa, karena di depan matanya selalu terbayang kenikmatan yang luar biasa jika sudah menaklukkan puncak gunung.

Anda mungkin kenal banyak ilmuwan andal semacam Albert Einstein, Thomas Alva Edhison, Isaac Newton dan lainnya. Orang2 semacam mereka mendapatkan kenikmatan luar biasa ketika mengamati setiap fenomena alam, merangkainya dengan berbagai hipotesa, memecahkan teori alam semesta hingga menelorkannya menjadi sebuah rumus dan kesimpulan. Yah, tak ada yang lebih nikmat dan menggairahkan hidup selain bermain dengan rumitnya kode alam semesta. Mereka tak kenal lelah, bukan untuk sebuah nobel ataupun pujian dan penghargaan, tapi untuk memecahkan misteri alam yang begitu merangsang rasa keingintahuannya.

Gambaran di atas sekedar analogi perilaku seorang pecinta. Lalu bagaimanakah perilaku kita seharusnya ketika kita mengatakan bahwa Allah lebih kita cintai daripada apapun di dunia ini? Rasulullah dan para sahabat serta generasi sholeh setelahnya menunjukkannya. Bagaimana Rasulullah, uswatun hasanah kita tak pernah silau oleh kenikmatan dunia. Bukankah Rasulullah pernah ditawari kekuasaan oleh orang2 kafir? Bukankah Rasulullah seorang khalifah, panglima perang, pedagang yang tak ada halangan untuk menumpuk harta? Tapi sekali lagi, ternyata bukan itu yang membuatnya nikmat, kenikmatan yang sesungguhnya adalah ketika dia berhadapan dengan sang Khaliq. Begitu juga para sahabat dan para ulama. Mereka bukannya orang2 yang tak bisa kaya, tapi mereka adalah orang2 yang selalu berpikir seribu kali, jika 1 dinar bisa membuat Allah lebih mencintainya, mengapa dia harus menahannya untuk dirinya sendiri, bukankah cinta Allah akan semakin kita miliki saat kita mencintai saudara kita karena Allah? Maka mereka tak pernah menahan hartanya, barang sedetikpun, selain diberikan untuk orang2 yang memerlukan. Mereka selalu takut jika ada 1 dinar miliknya yang menghalangi kecintaan Allah kepadanya.

Ada cerita menarik yang saya kutip dari inspirator sukses mulia Jamil Azzaini.

Suatu ketika delegasi pemerintah daerah Himsh datang menghadap Khalifah Umar. Himsh adalah sebuah wilayah di Syam yang masuk dalam pengawasan kekhalifahan Khalifah Umar bin Khaththab. Gubernur Himsh bernama Said bin Amir al-Jumhi. Khalifah Umar yang terkenal karena kepeduliannya kepada fakir-miskin meminta delegasi untuk menyerahkan daftar fakir-miskin di Himsh. “Berikan daftarnya agar aku bisa memenuhi kebutuhan mereka,” pinta Khalifah Umar.

Mereka kemudian menyerahkan satu buah buku yang berisi nama-nama penduduk Himsh yang tergolong fakir-miskin. Menariknya, diantara daftar itu terselip nama gubernur mereka sendiri; Said bin Amir al-Jumhi. Demi melihat nama Said, seperti tak yakin Umar bertanya “Ini Said bin Amir siapa?” Mereka menjawab “Gubernur kami”. Umar bertanya heran, “Gubernur kalian miskin?!” Mereka menjawab. “Ya, Demi Allah, dapurnya sering tidak berasap dalam waktu yang lama.”

Mendengar itu Umar menangis tersedu sampai air matanya membasahi janggutnya. Sambil terisak Umar mengambil seribu dinar (bila dikonversikan dengan rupiah, kira-kira saat ini senilai Rp 600 juta), lalu dimasukkannya ke dalam satu kantong. Umar berkata “Berikan salamku kepada pemimpin kalian dan katakan, ‘Khalifah Umar mengirimkan uang ini kepadamu agar kau bisa mempergunakannya untuk memenuhi kebutuhanmu”. Air mata Umar masih saja mengalir.

Delegasi pun kembali ke Himsh. Mereka lalu menghadap kepada Said dan memberikan titipan dari Khalifah Umar lengkap dengan pesannya. Said melihat isinya, dan ia tersentak. Dijauhkannya kantong itu dari hadapannya, seraya berkata “Innalillah wa inna ilaihi rajiun!”. Lalu Said bertanya pada istrinya, “Wahai istriku apakah engkau mau membantuku?” Istrinya menjawab, “tentu wahai suamiku”. Berdua, mereka pun membagikan dinar pemberian Khalifah Umar itu kepada rakyatnya sendiri.

Selang beberapa waktu kemudian, Umar datang untuk melihat kondisi masyarakat di daerah Syam. Tak lupa Umar singgah di Himsh untuk menengok sang gubernur. Melihat kondisi Said, Umar pun memberi bantuan seribu dinar lagi untuk Said. Pemberian Khalifah Umar diadukan kembali oleh Said kepada istri tercintanya.

Seperti sebelumnya Said mengajak istrinya untuk memberikan uang itu kepada orang lain, “dinar ini akan kita berikan kepada orang yang datang kepada kita, jadikan dinar ini sebagai pinjaman yang baik bagi Allah.” Dinar itu diberikannya kepada siapapun yang datang kepadanya. Said juga memerintahkan keluarganya untuk membagikan semua dinar itu kepada para janda, yatim, dan fakir miskin di daerah Himsh. Alangkah beruntungnya rakyat ketika mendapatkan pemimpin yang benar2 takut dan cinta pada Allah.

Luar biasa bukan? Mengapa? Karena mereka sadar umur mereka tak ada bandingannya di dunia ini, apalagi di akhirat yang abadi, lalu apalagi yang kita cari selain kecintaan Sang Maha Pecinta? Maka tidak heran kalau banyak ulama yang lebih menikmati di penjara daripada taat kepada rezim yang menghinakan agama Allah, menikmati di siksa daripada menggadaikan keimanannya dan lebih menikmati kematian ketika membela agamanya daripada hidup tanpa izzah…karena semata-mata rindu bertemu Sang Maha Pencinta. Subhanallah…

Sudahkah kita menikmati berjuang di jalanNya??!…wahai saudaraku sesama pengemban dakwah?!!  Semoga bisa menjadi renungan kita semua yang menanti pertolonganNya demi tegaknya tatanan kehidupan yang lebih baik. Amin.

Terinspirasi dari “The True Power of Love by Imam Al-Ghazaly

Tinggalkan komentar