…. jejakku, cintaku ….

Rekaman Cinta Sebuah Penantian

Malam itu, adalah tepat satu minggu usia kehamilanku menjelang sembilan bulan. Saat dimana kewaspadaanku dan suamiku sudah meningkat ke level tertinggi untuk menanti buah hati kami. Pukul 10 malam aku mulai merasakan gejala mulas yang membuatku terus terjaga, begitu juga suamiku. Namun aku memutuskan untuk menunggu perkembangan selanjutnya, apakah rasa mulas ini berlanjut atau tidak. Dan lewat tengah malam, aku mulai merasakan frekuensi mulas yang lebih sering, tapi aku terus berusaha untuk rileks dan melakukan hal-hal yang pernah kubaca pada lembar-lembar tips seputar tanda-tanda melahirkan. Suamikupun ikut menemaniku terjaga, dari raut wajahnya sesekali kutangkap bias kekhawatiran dan kesiapan untuk menyambut kedatangan buah hati kami. Dan tanpa dinyana, pukul 02.00 dini hari air ketubanku pecah. Dengan sigap suamiku segera menenteng tas yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari dan membawaku ke RS Bersalin terdekat dengan motornya.

Sesaat setelah memasuki ruang periksa, bidan yang mengecekku mengatakan baru bukaan 2, dan masih perlu menunggu cukup lama untuk bukaan sempurna. Alhamdulillah, air ketubanku masih cukup untuk dilakukan persalinan normal. Suamikupun menghampiri dan menemaniku menunggu saat bukaan sempurna. Saat menunggu di kamar bersalin, sayup-sayup kudengarkan rintihan seorang Ibu yang berada di ruang sebelahku yang hanya bersekatkan kain, sepertinya juga bersiap melahirkan. Ahh… rintihannya, sesakit itukah melahirkan? Pertanyaan itu mulai menggelayut dikepalaku.

Aku bercengkerama dengan suamiku hingga menjelang subuh, sambil sesekali menahan mulas. Dia menggenggam tanganku erat, sambil terus menyemangatiku. Diusapnya peluhku berkali-kali, dan tak pernah meninggalkanku, kecuali saat harus menunaikan sholat subuh. Tak terasa waktu menunjukkan pukul 05.00 pagi dan bidan tak juga menanganiku, Allah benar-benar menguji kesabaranku saat itu. Berkali-kali aku dan suami memanggil bidan dan mengatakan kapan tiba giliranku. Bu bidan yang juga menangani beberapa pasien lainnya akhirnya memenuhi permintaanku untuk mengecek kondisiku,

“masih bukaan 5 Bu, tunggu saja sambil tarik nafas pelan-pelan, jangan mengejang dulu ya” Dan dia berlalu lagi, menyambangi pasien lain yang juga membutuhkan pelayanannya. Suamiku lalu kembali menyemangatiku dan memintaku bersabar. Lalu memintaku membayangkan hal-hal yang menyenangkan saat si kecil lahir nanti, dan rasa sakit yang kurasakan tadi pasti pelan-pelan akan hilang, hiburnya. Sesekali aku mulai merintih karena merasakan sakit di perut yang semakin sering.

“Dzikir Mi, Istighfar” pinta suamiku. Kuturuti sarannya, setiap rasa mulas itu menyerang aku mengucap takbir dan istighfar pelan.

Pukul 07.00 pagi. Masih belum ada bidan yang menghampiriku. Kulihat wajah suamiku. Sesekali dia menunduk, dan aku baru tersadar. Suamiku menahan kantuk, aku baru ingat semalaman dia tidak tidur.

“Abi kalo mau istirahat, istirahat saja. Ummi sendirian gak apa-apa” pintaku

“Ummi aja gak istirahat, masak Abi istirahat. Abi mau disini, jagain Ummi dan Dedek” Dia masih saja terus menyemangatiku, walaupun tidak bisa menyembunyikan rasa kantuknya. Sesekali kubiarkan dia memejamkan mata sambil terus mengelus kepalaku.

Pukul 08.00 pagi. Ah, akhirnya bidan datang untuk melihat kondisiku,

“Sudah bukaan 8, sebentar lagi, sabar ya” dan dia berlalu lagi. Sabar. Ya, memang kata-kata itu serasa menjadi cemeti bagiku, betapa sabar adalah ujian yang indah, dan wajar jika Allah akan selalu menambahkan nikmatNya bagi orang-orang yang selalu bersabar dan bersyukur. Suamiku tersenyum. Entah apa yang terlintas di pikirnya, mungkin saja meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja, dan saat itu akan tiba sebentar lagi. Dan tiba-tiba, air mataku luruh.

“Bi, kok lama ya, Ummi mules banget, hhfffff…” aku menangis sambil sesekali merintih. Dan rasa mulas yang luar biasa membuatku mengejang sebelum saatnya, hingga bidan datang untuk memperingatkanku agar jangan mengejang dulu.

“Sabar Mi, bidan bilang sebentar lagi kok” katanya sambil menenangkanku

“Dosa Ummi banyak kali ya Bi, hingga perlu digugurkan lewat rasa sakit ini” kataku lagi.

Suamiku diam, hanya tangannya yang terus bergerak mengusap air mataku dan mengelus kepalaku. Lalu dia mengelus perutku di sela-sela rintihanku,

“Kata Dedek, Ummi yang sabar ya, yakin sama pertolongan Allah. Rasa mulas itu pertanda dedek lagi bicara sama Ummi, pengen cepet keluar katanya, tapi mungkin Allah meminta Ummi dan Dedek untuk sabar dulu. Rencana Allah indah bukan?” kutatap mata suamiku. Begitu indah. Mengapa aku baru menyadarinya sekarang. Dan tiba-tiba senyumku mengembang, walaupun air mata ini tak juga berhenti menetes.

Tirai terbuka, kulihat wajah sayu Bude yang juga menungguiku di luar kamar.

“Kamu makan dulu, biar Bude yang gantian nungguin” Ah iya, aku lupa. Suamiku belum makan, karena seharian hanya menungguiku di kamar ini.

“Nanti saja bude”katanya

“Udah, Abi makan dulu, nanti malah sakit” Akhirnya suamiku meminta izin keluar. Walaupun Bude juga menemaniku, tapi rasanya beda. Tetap saja aku membutuhkan setiap detik penjagaanya di saat-saat seperti ini. Tapi aku tak boleh egois, agar bayiku juga mengerti bahwa ayahnya selalu mencintainya sekalipun tidak berada di sampingnya.

Menit demi menit berlalu, aku masih saja berkutat dengan rasa mulas di perut yang semakin lama semakin sering dan membuatku beberapa kali mengejang. Rasanya ingin turun dari tempat tidur karena badan seperti pegal semua. Tapi bidan melarangku, bahkan buang air kecil dan besar pun harus melalui alat bantu. Ah, lelah rasanya. Akhirnya mataku kembali berbinar melihat suamiku memasuki ruangan. Diciumnya keningku sambil merapikan kerudungku yang semakin acak-acakan.

Pukul 09.00, beberapa bidan akhirnya membawaku ke ruang persalinan. Ah,akhirnya. Setelah dicek, ternyata sudah bukaan 10. Tapi beberapa kali mengejang, si jabang bayi belum juga mau keluar.

“Ada pembengkakan, harus disuntik dulu. Si bayi sulit keluar karena jalan lahirnya bengkak. Pasti ibu mengejang sebelum bukaan sempurna ya?” Bidan menanyakan sambil terus sibuk mempersiapkan alat persalinan. Kutangkap wajah kekhawatiran pada suamiku, tapi dia masih saja tersenyum menyemangatiku. Bidan akhirnya memberikan suntikan untuk mengurangi pembengkakan.

Beberapa kali aku diminta mengejang lagi, tapi bayiku belum mau keluar. Rintihanku semakin panjang, hingga aku beberapa kali menarik baju suamiku yang membuatnya terpaku.

“Abiii, kenapa dedek belum mau keluar ya..” tanyaku sambil menangis dan menahan sakit.

“Sabar Mi, mungkin si dedek lagi siap-siap sebelum ketemu Abi dan Umminya, biar keliatan cantik. Sabar ya” Aku tak tahu apa yang dirasakan suamiku, yang selalu kulihat hanya senyumnya dan yang kurasakan hanya genggaman tangannya yang lebih erat dari rantai baja sekalipun.

Pukul 10.00. Satu jam sudah berlalu. Akhirnya beberapa bidan dan seorang dokter mengatasi persalinanku. Entah apa yang akan mereka lakukan, yang kupikirkan hanya bayiku bisa segera keluar dengan selamat dan sehat. Akhirnya dokter memberiku sebuah suntikan, dan memintaku untuk mengejang jika sudah diberikan aba-aba. Beberapa bidan menekuk kakiku  dengan kuat. Ah, aku sudah lupa bagaimana rasanya, yang kupedulikan hanya bayiku segera keluar.

Saat aba-aba itu kudengar, kutumpahkan seluruh sisa energiku. Satu kali, dua kali, tiga kali, si dedek masih belum juga mau keluar, hingga beberapa saat kurasakan kakiku keram, dan dokter menghentikan aba-abanya. Suamiku menatapku iba. Kurasakan desah nafasnya penuh dengan lantunan dzikir. Kuraih tangannya, dan kubisikkan sesuatu,

“Abi, kalo Ummi ada salah Ummi minta maaf ya. Doain Ummi” Suamiku kembali mengusap air bening di sudut mataku. Dia hanya diam. Entah apa yang dipikirkannya, hanya kurasakan genggaman tangannya yang semakin hangat dan erat.

Perutku kembali kontraksi, dan bidan kembali bersiap memanduku untuk mengejang. Aku mengejang dengan sekuat tenaga yang tersisa. Entah tenaga itu kudapatkan darimana, karena seharian aku tak melirik makanan, walaupun seluruh bidan dan keluarga membujukku untuk makan. Dan akhirnya, 10.25… si kecil pun menampakkan wujudnya dan mengeluarkan tangisannya…

Kudengar sayup suamiku berlari kecil dan mengabarkan kepada keluarga.

Beberapa menit berlalu, bidan menyerahkan putri kecilku dalam dekapanku. kudekap putriku. Erat. Kucium wangi tubuhnya, dan kurasakan gerakan tangannya. Ya Allah, begitu indah karuniaMU.

Tak henti aku mengucap tahmid, Alhamdulillah… begitu cantiknya, begitu sehatnya…

Ah, Abi benar, si kecil betul-betul telah mempersiapkan diri untuk bertemu Abi dan Umminya.

Selamat datang sayang, kami telah menunggumu. Menunggu untuk ikut berjuang menegakkan kalimatillah. Syariah dan Khilafah. Allahuakbar…

Salatiga, untuk putri kecilku tersayang…

5 responses

  1. bacanya ikut deg-degan..
    perjuangan seorang ibu ya..
    dan itu luar biasa.

    Maret 7, 2012 pukul 08:38

  2. klo eMak yg baca ini pasti anyis..

    #ciumcium dedek

    Maret 7, 2012 pukul 18:57

  3. Subhanallah..
    Sebuah episode persalinan yang mendebarkan dan berujung kebahagiaan 😀

    Maret 8, 2012 pukul 15:03

  4. hera

    KEREN….
    aku pake air manta lho hehehhe

    April 5, 2012 pukul 18:55

  5. sungguh sgt luar biasa perjuangan seorang wanita mnjadi seorg ibu

    Mei 1, 2012 pukul 10:14

Tinggalkan komentar