…. jejakku, cintaku ….

Baju Baru Suamiku

Masku ribut lagi ! Apa pasal? Beliau tidak punya baju yang bisa dipakai ke tempat kerja pagi ini. Baju kemarin sudah asam bau keringat, dan sudah ku taruh di keranjang cucian kotor. Baju yang kemarinnya lagi saat ini sedang kubilas. Sedang baju yang seharusnya sudah bisa dipakai masih bertengger di jemuran basah, karena memang sudah tiga hari ini hujan turun terus menerus. Kalau sudah begini, akulah yang tergopoh-gopoh. Ku ambil baju lembab tersebut dari jemuran, lalu kusetrika sampai asapnya mengepul-ngepul darinya.

“Sabar ya, Mas..Sebenntaaar lagi..” kataku menenangkan suamiku yang sedang bolak-balik bak setrikaan yang kupegang karena tak sabar menunggu baju mengering. Lima belas menit kemudian, bereslah.Mas sudah siap dengan baju yang masih “hangat”dan pantalonnya, dan dengan riang seperti biasanya melangkahkan kakinya ke tempat kerja.

Begitulah! Suamiku memang cuma punya 3 lembar kemeja dan 2 pantalon yang layak dipakai ke tempat kerja.Sisanya kaus oblong cap angsa,sarung, serta celana training. Bukannya aku tidak memperhatikan kesejahteraan suami. Aku sendiri ikut prihatin melihat inventarisasi pakaian mas. Kalau tak salah sudah 7 kali lebih aku sisakan anggaran khusus untuk membeli baju baru buat Mas.

Yang pertama, Mas sendiri yang mengambilnya, karena beliau butuh untuk tambahan ongkos ke luar kota. Yang kedua, kala itu aku sudah bersiap keluar , ketika Lik Giman-tukang sayur langganan kami- datang dan bilang istrinya harus operasi cesar untuk melahirkan anak mereka. Hubungan Mas dengan orang-orang kecil seperti Lik Giman memang akrab ( sampai aku bingung sendiri, apa resepnya?), sehingga mereka tidak sungkan-sungkan minta pertolongan ke keluarga kami. Melihat urusan Lik Giman lebih urgen dari pada baju baru buat Mas, kami menunda beli baju baru itu. Malah patungan dengan beberapa kawan untuk bersama-sama membiayai ongkos operasi tersebut. Yang ketiga, keempat,dan selanjutnya aku sudah tak ingat lagi karena saking seringnya acara tidak jadi membeli itu terjadi.

Tapi yang terakhir adalah paling kuingat. Waktu itu aku sudah sampai di toko baju. Dan ketika aku hendak membayar di depan kasir, baru kusadari tasku dirobek copet.Hilanglah dompet dan segala isinya…

Alhamdulillah, satu tulisan ku dimuat di majalah. Dan ini tambahan rizki buat keluarga kami. Setelah kuhitung-hitung anggaran bulan ini, ada sisa buat anggaran baju dan pantalon baru mas. Kusimpan dalam amplop, dan kuberi judul besar-besar agar mudah mengambilnya. Dan kuminta pada Mas untuk membelinya dalam minggu ini juga. Agar bisa cepat memperoleh baju dan pantalon baru, juga agar tidak “keduluan” keperluan yang lain.

Lalu jadilah, hari Ahad pagi, aku, Mas dan anak-anak kami Fitri dan Umar,berencana pergi berbelanja sekalian rekreasi. Tetapi, ketika aku sedang memakaikan Fitri jilbab kecilnya kudengar pintu diketuk orang. Mas yang membukakan. Lalu..
“Dek Asri ! Ada Tari dan kawan-kawan, nih..”

Aku yang mendengar itu berpikir sejenak. Rasa-rasanya aku tak ada janji dengan mereka. Kutemui Tari, Keke, dan Lia, adik-adik kelasku di kampus. Sementara Mas berlalu ke belakang bersama Umar dan Fitri. Ketika kulihat wajah-wajah mereka, kutahu ada persoalan yang cukup serius. Maka kutunda kepergianku bersama Mas dan anak-anak.

“Mas, Mas pergi sendiri saja, ya? Sama Fitri juga boleh. Atau kalau nggak kerepotan sama Umar juga nggak papa..,” kataku ketika menemui Mas di belakang sambil membuat minuman.
“Hem..Memang ada persoalan serius?”Mas bertanya padaku sambil mengajak Umar bercanda.
“Sepertinya…” Aku mengangguk.
“Yah, sudah kalau begitu. Kita pergi bertiga aja, ya, Fitri. Malah enak nggak ada ibu….” Mas tidak melanjutkan ucapannya ketika melihatku merengut mendengar gurauannya.
“Nnng, nggak deng…Nggak enak nggak sama ibu ya, Fit? Sepi..” sambungnya. Aku tersenyum.
“Tapi ingat, ya, Mas. Ini uang buat baju dan pantalonnya. Insya Allah, sudah Dek Asri hitung dan cukup untuk membeli 2 kemeja dan 1 pantalon bermutu bagus. Jangan dibelikan yang murahan. Cepet rusak soalnya…,” Pesanku wanti-wanti.

Mas cuma mengangguk-angguk. Walaupun aku sangsi, Mas mendengarkan dengan sungguh-sungguh atau tidak yang aku pesankan. Dan setelah berpesan pada Fitri agar menurut apa yang dikatakan ayahnya selama berbelanja, dan memakaikan Umar yang sedang digendong Mas topi, aku membawa minuman ke depan dan tak lama diikuti oleh Mas, Fitri, dan Umar.

Fitri mencium tanganku dan tangan adik-adik kelasku. Dia memang “primadona”. Semua yang datang pasti senang memanjakannya.

“Fitri pergi dulu, ya tante-tante…Assalamu’alaikum…,” pamitnya kenes. Lalu dengan riang menyusul ayahnya yang sudah keluar lebih dahulu.

**************

Lepas Ashar, Mas, Fitri, dan Umar pulang. Kulihat Mas cukup kerepotan membawa belanjaan, menggendong Umar, dan menggandeng Fitri.
“Sudah pulang Tari cs..?” Tanya Mas padaku. Yang kuiyakan sambil mengambil Umar yang pulas tertidur dalam   gendongan Mas.
“Kecapekan..”Mas berkata sambil memandangi wajah damai Umar.

Ku bergerak menidurkan Umar di kamar anak-anak. Kulihat Fitri pun nampak mengantuk, maka kusuruh dia untuk tidur juga. Fitri menurut, tapi tak mau melepaskan kardus besar yang sedari tadi dipeluknya.

”Ada apa, Dek..? Katanya masalahnya cukup serius…”

“Oh, Tari cs? Itu Anis- mas mungkin belum kenal- baru masuk tahun ini. Katanya harus operasi usus buntu..Kasihan anak itu, kan baru saja masuk…Rumah orang tuanya di Surabaya lagi… Jadi Tari dkk itu bergantian untuk menjenguknya di rumah sakit. Insya Allah, dek Asri mau menjenguknya besok. Ingin tahu keadaannya.” Aku membukakan kaus kaki Umar dan melap keringat yang bertaburan di wajah montoknya.

“Fitri, bungkusannya ditaruh dulu, ya, Nak…” Kataku melepaskan bungkusan itu dari pelukan Fitri. Entah karena mengantuk, Fitri tidak memberontak seperti biasanya. Dia diam saa ketika kardus itu kuambil. Hmm, balok susun. Aku membaca tulisan bahasa Inggris di kardus tersebut. Tiba-tiba aku jadi curiga pada Mas yang masih berdiri di pintu kamar di belakangku.

Kumenoleh pada Mas.
“Baju dan pantalonnya mana, Mas?” Mas hanya nyengir memandangku.
“Nnng, belum sempat membeli…,” Katanya.

“Sampai di tempat mainan, Fitri merengek minta dibelikan balok susun itu. Mas pikir sudah lama tidak membelikan Fitri mainan. Jadi..” Aku memandangi Mas dengan memanyunkan bibir.

“Terus ke toko buku. Ada buku bagus yang ingin Mas baca. Juga buku bergambar buat Fitri dan Umar buat belajar. Jadi…” Aku tambah memanyunkan bibir.
“Lalu Mas ingat, Dek Asri sendiri selama dua tahun ini juga belum pernah membeli baju dan jilbab baru. Jadi Mas ke tokonya Harits (seorang kawan Mas yang berwiraswasta berdagang busana muslim). Dan akhirnya baru sadar ketika uangnya tinggal lima ribu..”

Aku melongo. Tidak tahu, apakah harus kesal atau bagaimana terhadap Mas. Namun kurasakan ada rasa bahagia yang menyelusup, karena Mas benar-benar memikirkan kepentingan kami, lebih dari kepentingannya sendiri.

Jazakallah ya, suamiku. Semoga Allah membalas kebaikan Mas. Doaku sambil memandangi Mas penuh terima kasih.
“Awas ya, kalau ribut-ribut baju lagi karena cuma punya baju tiga..,”k ataku berpura marah. Mas cuma tertawa.

.

Sumber : prayoga.net

Tinggalkan komentar