…. jejakku, cintaku ….

Renungan untuk Para Guru

anak-sedih1

Oleh Abu Abdirrahman

Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama kami memiliki seorang teman yang jenius. Terlihat sekali dia tidak butuh untuk belajar sungguh-sungguh untuk menguasai pelajaran Matematika dengan baik. Sepertinya kami belum pernah bertemu dengan siswa secerdas anak ini.

Barangkali dia termasuk sosok-sosok langka yang pernah ada. Karena bakat luar biasa itu pula agaknya tidak ada yang memperhatikan dan memaksimalkan potensinya, mungkin semua berpikir, “Oh dia sudah bisa, tidak perlu dibantu!” Lalu dia pun sering menggunakan kemampuannya untuk meledek guru-guru dan memperlihatkan kelemahan-kelemahan mereka. Ini menyebabkan guru-guru tersebut mengabaikan bahkan membencinya.

Pada suatu hari seorang guru memintanya untuk menyelesaikan satu soal di depan kelas. Dia tampaknya sengaja menyelesaikan soal dengan cara yang tidak diajarkan, dan keluar dari buku teks yang kami gunakan. Na’asnya bukannya memberikan dukungan dan apresiasi terhadap talentanya, sang guru justru menolak penyelesaian teman kami itu, meskipun hasilnya benar, dan menganggapnya menyimpang dari kurikulum.

Parahnya lagi dia memarahi teman kami tersebut dan mengecamnya di hadapan kami semua. Sang guru rupanya tetap menyimpan marahnya, dan membalasnya dengan cara yang spesial, nilai merah. Murid jenius itu pun gagal dalam bidang studi Matematika, sementara saya –yang sampai sekarang tetap tidak menyukai pelajaran ini –dan teman-teman yang lemah lainnya lulus. Demikian satu talenta hebat yang sesungguhnya sangat dibutuhkan oleh umat ini suatu saat kelak dibunuh dengan sengaja.

Saya teringat dengan teman tersebut ketika membaca kasus serupa di sebuah Universitas di Kopenhagen Denmark. Sebuah pertanyaan fisika berbunyi: Jelaskan cara mengukur ketinggian gedung dengan barometer (alat pengukur tekanan udara)! Pada umumnya mahasiswa menjawab: Dengan mengukur perbedaan antara tekanan udara di permukaan tanah dan tekanan udara di puncak gedung.

Tetapi salah satu jawaban membuat marah dosen penguji dan langsung memberi nilai nol tanpa menuntaskan membaca jawaban. Jawaban yang membuat marah itu ialah: Ikatkan barometer tersebut dengan tali yang panjang kemudian jatuhkan ke tanah dari puncak gedung, jika sudah sampai ke tanah, ukurlah berapa panjang tali tersebut.

Meskipun jawaban tersebut benar adanya, tetapi dapat dimengerti Dosen tersebut marah; si mahasiswa memberikan jawaban dengan cara pikir yang terlalu dangkal tidak ada hubungan sebenarnya dengan barometer maupun Fisika.
Mahasiswa tersebut melakukan banding kepada pihak kampus dan dikabulkan. Rektorat memberinya kesempatan lain dengan dosen yang lain pula. Sang dosen mengajukan pertanyaan yang sama secara lisan.

Dengan penuh percaya diri sang mahasiswa memberikan jawaban, ”Ada banyak cara yang dapat kita lakukan,

Pertama: dengan melemparkan barometer dari puncak bangunan, perhatikan berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh barometer untuk sampai ke tanah, dengan memakai persamaan gravitasi kita dapat mengetahui tinggi gedung.

Kedua: jika waktunya siang hari bisa dilakukan dengan mengukur panjang bayangan barometer dan bayangan gedung, dengan rumus persamaan (tinggi termoter/tinggi bayangannya = tinggi gedung/tinggi bayangannya) dapat diketahui tinggi gedung tersebut.

Ketiga: Jika Anda tidak ingin repot-repot memikirkan urusan ini, maka cara yang terbaik ialah katakan kepada petugas keamanan, ‘Barometer ini saya hadiahkan kepada Anda, jika Anda memberitahu saya dengan benar berapa tinggi gedung ini.’ Tapi jika kita ingin memperumit masalah ini, maka kita gunakan barometer ini terlebih dahulu untuk mengukur tekanan udara di atas permukaan tanah, kemudian tekanan udara di puncak gedung, lalu hitunglah selisih antara keduanya!”

Sang Dosen pun bertanya, “Mengapa Anda tidak menulis jawaban ini? Anda tentunya paham Dosen Anda menunggu jawaban ini.”
Mahasiswa ini menjawab, ”Para Dosen sendiri yang mempersempit cara berpikir mereka, memaksa kami berpikir dengan cara mereka!”

Para pembaca yang mulia, sungguh disesalkan tidak jarang kita temukan para pendidik seperti ini, merasa terusik ketika ada seorang siswa yang lebih unggul daripada mereka: kecerdasan, bakat, atau keterampilannya. Bukannya diberi motivasi dan memberikan perhatian khusus, justru ada saja yang mematikan bakat-bakat luar biasa tersebut.

Bagian yang menyentakkan dari kedua kasus di atas ialah: bahwa si jenius Denmark, Niels Bohr, kemudian tidak hanya sekedar lulus dari matakuliah tersebut, tetapi menjadi satu-satunya orang Denmark yang meraih penghargaan nobel di bidang Fisika. Sementara teman kami yang jenius tersebut, dia tidak melanjutkan pendidikannya, saya tidak tahu entah di mana dia sekarang. Saya adalah saksi hidup atas ketidakadilan yang diterimanya, atas pemaksaan pola pikir dengan cara yang picik.

Andaikata dia telah meninggal dunia, semoga Allah merahmatinya, namun saya berharap dia masih dalam keadaan sehat wal afiat.

Kesimpulan yang ingin saya sampaikan ialah bahwa untuk membangun dan membina satu bakat kita membutuhkan banyak dana, waktu dan tenaga. Sementara untuk mematikan seribu bakat kita hanya membutuhkan sebuah lingkungan belajar yang membuat suntuk, atau pendidik yang tidak berkompeten, atau tidak sportif yang mampu membunuh bakat siswa-siswanya hanya dalam waktu satu minggu saja.

Betapa banyak bakat-bakat unggul yang berguguran di sekolah-sekolah kita, atau di perguran-perguruan tinggi kita, hanya karena pemiliknya berani berpikir dengan cara yang berbeda dari para pendidik mereka.!?

(qiblati)

Tinggalkan komentar