…. jejakku, cintaku ….

Jejak Fikir

TERRORIS DI INDONESIA, FAKTA ATAU FIKSI…?

3 tahun lalu saya pernah ngobrol santai dengan Letkol TNI (Purn) Petrus Sunyoto, Kopassus yang pernah meraih penghargaan dari Presiden RI sebagai “Prajurit Terberani TNI”.

Di dinding kantornya banyak piagam-piagam penghargaan, khususnya yang berkaitan dengan pelatihan anti terror di berbagai negara. Bahkan ada piagam untuk beliau dari Green Beret US Army sebagai instruktur strategi perang gerilya.

Melihat piagam-piagam itu membuat saya terkagum-kagum kepada beliau. Piagam-piagam itu juga mengusik pikiran saya untuk bertanya banyak hal, terutama apakah benar ada terroris di indonesia ini? Karena beliau adalah termasuk pasukan yang pertama-tama dilatih anti terror.

Beliau menjawab bahwa tidak ada itu terroris di Indonesia, yang ada adalah orang-orang yang marah karena sakit hati kepada pemerintah, yang tidak tahu harus mengadu ke mana lagi karena selalu dicuekin.

Saya membantahnya, karena di TV dan media lainnya disajikan berita-berita penangkapan terroris.

Beliau tersenyum atas bantahan saya tersebut. Dia jelaskan bahwa protap penanganan terroris tidak seperti itu. Semuanya harus senyap. Beliau mencontohkan tentang operasi penangkapan Osama. Kapan operasinya? Siapa yang beroperasi? Mana mayatnya? Semuanya senyap!

Trus, saya tanya lagi, kenapa operasi anti terror di Indonesia itu heboh? Bahkan ada yang diliput live oleh media.

Dia kembali tersenyum, itu bukan operasi anti terror, itu operasi pencitraan, atau operasi pengalihan isu, atau operasi dengan misi tertentu, tegasnya. Kemudian beliau bertanya kepada saya, kenapa pasukan anti terror itu bukan Kopassus? Kan Kopassus yang paling ahli menangani terror?

Saya menggeleng gak tahu.

Beliau jelaskan, bahwa kalau Kopassus atau TNI yang lain yang disuruh menangani anti terror, maka kesatuan itu gak bakal mau disuruh-suruh merekayasa. Makanya yang ditugasi adalah kesatuan yang mau disuruh-suruh merekayasa.

Oh, gitu toh…?

Sayang, tahun 2014 yang lalu beliau dipanggil Yang Maha Kuasa. Selamat jalan komandan, banyak kisah-kisah yabg engkau ceritakan ke saya yang masih melekat di benakku. Engkau adalah pelaku sejarah yang selalu kukagumi.

Sumber: FB Bambang Widianto


Waspadai Ekspor Sistematis Penyakit Kaum Luth ke Negeri-negeri Muslim

Musyawarah Nasional (Munas) IX Majelis Ulama Indonesia di Surabaya akhir Agustus lalu menghasilkan 15 rekomendasi, salah satunya adalah terkait fenomena ‪#‎LGBT‬ (‪#‎Lesbian‬, ‪#‎Homoseksual‬, ‪#‎Biseksual‬ dan ‪#‎Transgender‬). Munas MUI memutuskan bahwa LGBT merupakan fenomena global yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan bangsa Indonesia. “MUI memandang bahwa LGBT merusak keberlangsungan masa depan bangsa mencegah semua upaya yang menumbuh-suburkan dan propaganda LGBT baik melalui pendekatan hukum maupun sosial keagamaan,” demikian salah satu hasil rekomendasi MUI.

Sebagaimana diketahui, akhir Juni lalu Mahkamah Konstitusi Pemerintah Amerika Serikat melegalkan pernikahan hubungan sesama jenis di seluruh Negara bagian di Amerika. Akibatnya, tidak sedikit aktivis pro-LGBT di dunia Islam menginginkan negerinya mengikuti jejak Amerika. Tulisan ini mencoba mengulas upaya ekspor penyakit kaum Luth modern ini secara sistematis dari Barat ke dunia Islam, dan bagaimana seharusnya respon masyarakat Muslim terhadap praktek jahiliyah modern ini.

Resistensi Negeri-negeri Muslim terhadap LGBT

Di negeri-negeri Muslim, praktek homoseksual sejak lama dianggap penyimpangan fitrah kemanusiaan sehingga jarang dibicarakan secara terbuka, namun sejak dua decade terakhir ini seiring dengan kian derasnya kampanye hak-hak kaum LGBT, isu ini tidak lagi asing bagi masyarakat Muslim. Apalagi sejak PBB secara resmi mengakui hak-hak kaum Luth modern ini dalam UN Declaration on Sexual Orientation and Gender Identity (Deklarasi PBB terkait Orientasi Seksual dan Identitas Gender) yang diakui dan diadopsi pada 13 Desember 2008. Hampir semua negeri-negeri Muslim (sebanyak 54 negara) menolak menandatangani deklarasi ini, termasuk Indonesia. Sementara sebaliknya nyaris semua negeri-negeri non-Muslim –terutama negeri-negeri di Barat- menandatanganinya (sebanyak 94 negara).

Resistensi umat Islam terhadap praktek LGBT masih terlihat jelas, sebagai contoh di Turki kelompok yang menamakan dirinya Young Islamic Defense bahkan secara menantang berkampanye untuk membunuh kaum Gay dengan menyebarkan poster berisi hadits Rasulullah Saw yang berbunyi :

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

“Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya”. [HR Tirmidzi : 1456, Abu Dawud : 4462, Ibnu Majah : 2561 dan Ahmad : 2727].

Kampanye ini dilakukan Young Islamic Defense untuk menolak parade Gay di Turki akhir Juni 2015 lalu, dengan terus menyebarkan isi hadist di atas dalam bentuk poster di jalan-jalan juga melalui sosial media, demi melindungi masyarakat Muslim dari bahaya kaum LGBT.

Tahun 2013, Para Ulama Al-Azhar melalui Lembaga Riset Islam (Majma’ al-Buhuts al-Islamiyyah) telah mengeluarkan fatwa haramnya menikah sesama jenis. Pernikahan sesama jenis juga dapat mengakibatkan pelakunya keluar dari agama Islam. Fatwa itu muncul menyusul beredarnya kabar tentang menikahnya dua orang sesama jenis di Perancis, yang mengaku sebagai Muslim. Semua ini menunjukkan resistensi masyarakat masih kuat, namun tak dipungkiri gejala LGBT saat ini telah menjadi momok yang menghantui masyarakat di negeri-negeri Muslim. Karena itu resistensi saja tidak cukup, diperlukan kesadaran politik yang sempurna dari umat Islam dalam menyikapi pergerakan kaum Luth modern ini.

Kekuatan Politik Gerakan LGBT Dibackingi AS dan Barat

Di abad 21 ini, kaum LGBT telah menjelma menjadi sebuah kekuatan politik, karena telah diakui secara politis oleh Amerika Serikat sebagai “negara pertama” dalam konstelasi internasional dengan memfasilitasi tujuan puncak perjuangan kaum LGBT yakni “pernikahan sejenis”. Bahkan yang menggenaskan adalah hak-hak mereka juga telah diakui oleh deklarasi PBB tahun 2008. Rupanya abad ini adalah puncak keberhasilan mereka, dimulai pertama kali oleh Belanda yang melegalkan pernikahan sesama jenis tahun 2001, hingga menyusul hingga menyusul Belgia (2003), Spanyol (2005), Kanada (2005), Afsel (2006), Norwegia – Swedia (2009), Portugal – Islandia – Argentina (2010), Denmark (2012), Brazil – Inggris – Prancis – Selandia Baru – Uruguay (2013), Skotlandia (2014), Luxemburg – Finlandia – Slovenia – Irlandia – Meksiko (2015), dan terkini Amerika Serikat (2015). Hingga akhirnya sekarang mereka pun hendak merambah ke negeri-negeri Muslim.

Nampak jelas LGBT sudah menjadi salah satu alat politik Barat dalam menjajah masyarakat Muslim yang dibahanbakari oleh industri hiburan kapitalis dan lifestyle hedonis yang linear dengan sistem nilai sekuler dan liberal. AS bahkan secara serius mendanai program baru bernama “Being LGBT in Asia” yang diluncurkan oleh UNDP dengan pendanaan US$ 8 juta dari USAID dan dimulai Desember 2014 hingga September 2017 mendatang. Program ini fokus beroperasi di Asia Timur dan Asia Tenggara khususnya di Cina, Indonesia, Filipina dan Thailand, dengan tujuan meminimalisir kendala bagi kaum LGBT untuk hidup di tengah masyarakat. Program berbahaya ini sangat aktif dalam memberdayakan jaringan LGBT di lapangan untuk mengokohkan eksistensi mereka secara structural dan kultural di negeri-negeri sasaran.

Di udara, jaringan media Barat juga secara agresif mengekspose komunitas minor LGBT di tengah masyarakat Muslim, sebagai contoh komunitas pesantren waria di Yogyakarta – Indonesia yang diliput oleh BBC, majalah TIME dan the Huffington Post selama bulan Ramadhan lalu yang mengambil angle opini bahwa keberadaan mereka seolah-olah telah diterima secara luas oleh masyarakat Muslim. Kampanye di udara ini semakin ramai dengan kicauan tokoh-tokoh dunia hiburan serta tokoh-tokoh pemikir liberal di negeri Muslim. Mereka terus memproduksi narasi bahwa Islam ‘membenarkan’ praktek LGBT dan masyarakat Muslim pun bisa menerima eksistensi kaum luth modern ini.

Resistensi Saja Tidak Cukup, Bagaimana Seharusnya Masyarakat Muslim Bersikap?

Para tokoh umat di seluruh dunia Islam tidak boleh membiarkan sikap masyarakat Muslim hanya bersifat temporal dan sporadis, karena sesungguhnya tantangan yang dihadapi sudah berupa kekuatan politik sistematis dengan dana besar dan sangat destruktif. Karena itu secara taktis-strategis para Ulama dan aktivis Muslim di seluruh dunia Islam memiliki tanggung jawab aksi sebagai berikut :

1. Mengkampanyekan visi politik Islam yang sangat humanis dalam melestarikan keturunan manusia dan memelihara keluhuran peradaban Islam, dengan melakukan edukasi ke tengah-tengah umat bahwa semua yang dilarang dan dilaknat oleh Allah pasti juga bertentangan dengan fitrah manusia, dalam hal ini adalah fitrah untuk melestarikan keturunan sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah ayat pertama QS An-Nisa.

﴿يا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ واحِدَةٍ وَ خَلَقَ مِنْها زَوْجَها وَ بَثَّ مِنْهُما رِجالاً كَثيراً وَ نِساءً وَ اتَّقُوا اللَّهَ الَّذي تَسائَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحامَ إِنَّ اللَّهَ كانَ عَلَيْكُمْ رَقيباً

﴾”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”

Karena itulah Allah menciptakan laki-laki dan perempuan untuk tujuan berkembangbiak alias melestarikan keturunan. Sanksi yang tegas berupa hukuman mati atau diasingkan bagi pelaku liwath (homoseksual) tidak lain adalah untuk membasmi penyimpangan fitrah dan merealisasikan tujuan hakiki Syariah Islam (maqoshid syariah) dalam memelihara nasab (keturunan) manusia. Maraknya komunitas LGBT dalam sebuah masyarakat akan mengakibatkan depopulasi manusia. Kaum LGBT tidak akan mungkin menghasilkan keturunan, apalagi keturunan yang baik, yang hidup di dalam lingkungan yang baik.

2. Merevitalisasi ’amar ma’ruf nahiy munkar dalam masyarakat Muslim. Dr Adian Husaini berpendapat bahwa bentuk kepedulian terbaik kepada para pelaku homoseksual adalah menyadarkan bahwa perilakunya menyimpang, dan kemudian mendukung mereka untuk bisa sembuh dan kembali pada kodratnya. Bukan diberikan motivasi untuk tetap mengidap perilaku menyimpang tersebut dan dibenarkan atas nama HAM. Rasulullah saw mengibaratkan kehidupan masyarakat Islam seperti sekelompok orang hidup dalam sebuah kapal yang merefleksikan bahwa sebuah masyarakat memiliki tanggungjawab kolektif untuk mencegah kemungkaran. Islam membebankan kewajiban amar ma’ruf nahi munkar pada masyarakat Muslim dan setiap orang yang beriman yang akan berfungsi sebagai sistem kekebalan yang kuat dalam masyarakat untuk mencegah penyebaran penyakit sosial.

3. Mengedukasi umat bahwa ide dan konsep HAM yang sering dijadikan hujah oleh para pegiat LGBT adalah konsep yang bertentangan dengan Islam dan justru membahayakan kemanusiaan itu sendiri akibat paham kebebasan individual egois yang menjadi ruh-nya. Paham kebebasan ekstrim yang terkandung dalam ide ini membuat individu tidak peduli dengan kemashlahatan orang banyak, apalagi generasi di masa depan. Di sisi lain HAM sejatinya juga menjadi alat politik AS untuk mengontrol dunia Islam, yang terlihat dari standar ganda AS dalam penilaian pelaksanaan HAM.

4. Menyeru penguasa negeri-negeri Muslim untuk bersatu dalam naungan Khilafah Islam, karena sesungguhnya inilah perisai sejati umat Islam yang akan menjamin kehormatan generasi Muslim dalam martabat kemanusiaan yang luhur dan mencegahnya terjerumus dalam perilaku hewani seperti LGBT. Sebagaimana perkataan Utsman bin Affan ra., “Sesungguhnya Allah SWT memberikan wewenang kepada penguasa untuk menghilangkan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan oleh al-Quran.”

Wallahu a’alam
Fika Komara
Anggota Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir


LGBT dan Kesalahan Berpikir

MUNCULNYA komunitas lesbian, homoseksual, biseksual dan transgended (LGBT) di kalangan kampus bukan hal yang baru. Semakin hari semakin menemukan celah untuk menunjukkan eksistensinya.

Majalah kampus Boulevard ITB Edisi 57 (2007) pernah menurunkan laporan keberadaan komunitas homoseksual di kampus tersebut. Selanjutnya Studenta (2008), majalah sekelompok mahasiswa pecinta jurnalisme, juga mengungkap laporan adanya Ikatan Mahasiswa Homo (IMHO) di kampus IPB.

Acara International Day Against Homophobia & Transphobia 2013 (IDAHOT) juga pernah diselenggarakan oleh kelompok LGBT di kampus Unair, Surabaya pada 15 Mei 2013 lalu, dengan mengusung tema “IDAHOT 2013 Goes to Campus”. [Baca: LGBT Kampanye di Kampus, Civitas Akademika Unair Kecewa]

Di UGM, Munculnya komunitas Himpunan Mahasiswa Gay (HIMAG) yang mulai eksis sejak tahun 2011 juga pernah menjadi bahan riset salah satu skripsi dari Fakultas Ilmu Budaya, UGM. Disusul kemudian muncul di berbagai universitas negeri lain di Yogyakarta.

Baru-baru ini sebuah akun twitter bernama @GayUGM yang memiliki 1.802 follower juga ramai dibahas oleh pengguna media sosial. Akun yang eksis sejak Januari 2013 ini, relatif cukup aktif men-tweet dan berkomunikasi dengan akun-akun lainnya. Akun ini juga sempat me-retweet informasi mengenai legalisasi pernikahan sejenis di Irlandia.

Fakta tersebut menyadarkan kita betapa kebebasan perilaku sudah semakin menemukan tempatnya di kalangan intelektual, kalangan yang justru diharapkan mampu menjadi agent of change dengan kapasitasnya dalam mengedukasi masyarakat menuju pada perubahan

dengan kacamata pandang yang benar, tidak hanya aspek intelektualitas, namun juga moralitas.

HAM dalam Iklim Demokrasi: Jembatan Legalisasi

Studi-studi akademis mengenai fenomena LGBT  yang semakin ramai dipicu banyaknya fenomena pemberitaan maupun aktivitas dari anggota LGBT sendiri. Kemudian diangkatnya wacana atau sosok LGBT dalam media popular, termasuk dunia perfilman, sehingga masyarakat semakin familiar.  Termasuk di ranah kampus yang biasanya menjadi bagian dalam studi analisis terkait perilaku dan budaya.

Alih-alih menghilangkan diskriminasi dan mendukung hak-hak kaum LGBT, upaya itu justru semakin menjerumuskan generasi pada ‘pembenaran’ kebebasan perilaku. Hasilnya, LGBT tidak pernah dianggap ‘perilaku menyimpang’, mereka tetap dalam ‘penyimpangannya’, semakin eksis dengan adanya upaya untuk mendukung ‘penyimpangan’ mereka.

Ujungnya, melahirkan gejala di masyarakat untuk memaklumi dan bahkan melindungi segala bentuk penyimpangan perilaku. Apalagi di bawah bendera HAM, sebagai bagian dari alat

penjamin kebebasan individu, Forum Lesbian Gay Biseksual Transgender/Transeksual Interseks dan Queer (LGBTIQ) Indonesia seolah semakin mendapatkan tempat pembenaran dan perlindungan untuk terus eksis dan berkembang.

LGBTIQ Indonesia merupakan forum yang terdiri dari 30 organisasi LGBT serta yang mendukung isu LGBT yang terbentuk pada 2010. Siti Noor Laila (Ketua Komnas HAM), menjelaskan bahwa sejak bulan Juni 2013, LGBT telah menjadi bagian dari pembahasan dalam sidang paripurna Komnas HAM. Hasil Paripurna tersebut adalah Komnas HAM berkomitmen untuk juga melakukan pembelaan terhadap LGBT seperti yang telah disebutkan dalam Resolusi PBB mengenai Sexual Orientation and Gender Identity (SOGI) dengan berfokus pada perlindungan terhadap kekerasan dan diskriminasi.

Pada bulan Juli 2013, Forum LGBTIQ Indonesia pun menyoroti kembali tentang Dialog Nasional yang terselenggara di Bali, dimana United Nations Development Programme (UNDP) memfasilitasi pertemuan antara organisasi dan komunitas LGBT, praktisi pluralisme dan HAM, akademisi, lembaga HAM nasional serta pemerintah. Hasil pertemuan tersebut menghasilkan serangkaian rekomendasi terkait dengan pemenuhan dan perlindungan terhadap LGBTI. Beberapa hal yang disampaikan oleh Forum LGBTIQ Indonesia adalah terkait dengan pengakuan keberadaan LGBTI di hadapan hukum, pengintegrasian perspektif SOGIE (Sexual Orientation and Gender Identity and Expression) di berbagai kementerian dan lembaga dalam rencana strategis 2015-2019, serta pelibatan organisasi LGBTI dalam berbagai diskusi menyangkut pembuatan keputusan terkait HAM.

HAM, juga menjadi alat ampuh Barat dalam mendukung kebebasan perilaku, dan fatalnya, banyak kalangan intelektual terbius dengan perjuangan HAM ala Barat. Prof Dadang Hawari (Guru Besar FKUI) mengaku cukup sering menangani kasus-kasus homoseksual. Kebanyakan pasiennya mengidap homoseksual sebagai ikutan dari penyakit mental Skizofrenia. Oleh karenanya, keberhasilan terapi sangat ditentukan oleh sejauhmana motivasi seorang penderita homoseksual. Metode terapinya meliputi terapi biologik (obat-obatan), psikologik (kejiwaan), sosial (adaptasi), dan spiritual (keagamaan, keimanan), yang disingkat menjadi terapi BPSS. Dia menambahkan, penderita juga harus dijauhkan dari materi-materi pornografi dan orang-orang homoseks. “Jadi, organisasi homoseks dan pendukung homoseks harusnya tidak dibiarkan. Tapi, kita kalah dengan orang-orang yang selalu teriak HAM,” pungkasnya.

Inilah dampak penerapan demokrasi sekular yang menjadi penopang sistem kehidupan kapitalis saat ini. Sebuah sistem kehidupan yang tidak pernah melibatkan peran agama (Islam), atau peran Pencipta, dalam mengatur seluruh kehidupan, termasuk dalam kajian studi tentang perilaku yang hanya mensadarkan pada HAM.

Sekularisasi bidang pendidikan akhirnya mengantarkan studi yang dilakukan lagi-lagi hanya berdasar pada buah pemikiran para pakar (yang kebanyakan dari pemikir barat, dimana tidak pernah mengenal norma agama dalam mengendalikan perilaku), tidak pernah menyentuh akar persoalan (mengapa LGBT bisa terus eksis dan semakin marak, bahkan menuntut pelegalan), dan dengan metode berpikir yang keliru, menjadikan problem perilaku bagian dari studi ilmiah, padahal seharusnya dianalisis secara rasional (Lihat At Tafkir, Taqiyuddin an Nabhbhani). Secara intelektual pun, teori ‘gen homo’ sudah terpatahkan (salah satunya lihat: Ruth Hubbard “Exploding the Gene Myth”), sebuah metode yang hampir bisa dianalisa secara ilmiah melalui studi di laboratorium, sedangkan secara psikologis, sosiologis dan budaya, perilaku tersebut tidak cukup dianalisa dengan kacamata ilmiah, yang dianggap final hanya berdasarkan pada kajian pada fakta yang sempit, padahal banyak aspek problem sistemik yang menjadi dasar kemunculan LGBT yang terus meningkat dan semakin berani unjuk diri.

Nyatalah, iklim kebebasan, yang didukung oleh HAM dan kajian ‘ilmiah’ pro LBGT oleh kalangan intelektual, semakin menancapkan eksistensi LGBT, dan dalam alam demokrasi, eksistensi mereka akan mudah menemukan celah untuk dilegalisasi !

Korban Liberalisme  

Merespon semakin eksisnya LGBT, kemudian lahirlah organisasi-organisasi atau gerakan yang mengangkat kepedulian terhadap nasib LGBT. Inilah yang akhirnya turut andil meningkatkan eksistensi mereka, sebutlah beberapa diantaranya YIFOS, SAMSARA, PKBI DIY, P3SY (Perhimpunan Perempuan Pekerja Seks Yogyakarta ), Komunitas Pelangi Jogja, dan masih banyak lagi.

Menurut mereka kepedulian itu diartikan dalam bentuk memberi dukungan dan pengakuan, tanpa menyasar bagian paling mendasar, yaitu ‘kebebasan perilaku’ yang akhirnya mengarah pada ‘penyimpangan perilaku’. Padahal yang seharusnya dilakukan adalah menyadarkan bahwa LGBT adalah perilaku menyimpang yang harus disembuhkan dan diselamatkan, agar tidak semakin banyak generasi yang terjerumus pada perilaku yang sama.

Mereka juga harus disadarkan, bahwa LGBT juga korban iklim liberalisme, yang tak pernah

mengenal kata perilaku ‘salah’. Selama keberadaan mereka memberikan manfaat, terutama nilai ekonomi, maka mereka harus diperjuangkan untuk eksis. Sebuah paham yang bergandengan tangan dengan neoimperialisme untuk semakin menancapkan penjajahannya, termasuk di Indonesia. ILO menjadi salah satu perpanjangan tangannya, dalam proyek penyebaran ide kebebasan yang mendukung manfaat ekonomi, yaitu tersedianya tenaga kerja dari berbagai kalangan, tanpa memandang orientasi seksualnya.

Pada tahun 2012, Organisasi Buruh Internasional (ILO) menginisiasi proyek “Gender Identity and Sexual Orientation: Promoting Rights, Diversity and Equality in the World of Work (PRIDE)”. Proyek tersebut fokus pada bidang penelitian diskriminasi terhadap pekerja dari kalangan LGBT di berbagai belahan dunia dan menyoroti langkah-langkah perbaikan dalam mengatasinya.

Proyek fase pertama telah dilakukan di Argentina, Hungaria dan Thailand, dan proyek berikutnya akan dilakukan di Costa Rica, Prancis, India, Indonesia, Montenegro dan Afrika Selatan. Proyek tersebut berangkat dari kenyataan di 76 negara anggota ILO masih mengkriminalisasi hubungan sesama jenis dan belum adanya peraturan perundangan yang melindungi hak-hak pekerja LGBT.

Pada Mei 2015, sebanyak 17 negara, termasuk Argentina dan Afrika Selatan telah memberikan pengakuan legal pada pernikahan sesama jenis. Mengutip pidato Direktur Jenderal ILO, : The ILO is committed “to promoting decent work for all women and men, regardless of sexual orientation or gender identity. Decent work can only exist in conditions of freedom and dignity. It means embracing inclusion and diversity. It requires us to stand up against all forms 

of stigma and discrimination…and to the insidious role of homophobia and transphobia in fostering discrimination.” (lihat : Discrimination at work on the basis of sexual orientation and gender identity: Results of the ILO’s PRIDE Project).

Walhasil, LGBT adalah dampak dan korban penyebarluasan ide-ide kebebasan, yang pastinya lahir dari rahim ideologi kapitalis sekular, yang tidak pernah melihat agama sebagai tolok ukur segala perbuatan

Dukungan yang diberikan dalam kacamata kapitalis liberal, adalah dukungan yang tidak pernah menyelesaikan persoalan mereka, bagaimana menyadarkan bahwa perilaku mereka adalah menyimpang dan menyembuhkan.

Tanpa membuka mata akan penyimpangan yang terjadi, tidak mungkin para LGBT ini punya keinginan untuk menjadi manusia seutuhnya sesuai dengan tujuan penciptaanNya. Inilah seharusnya bentuk dukungan tersebut : Menyadarkan bahwa LBGT adalah penyimpangan yang harus diluruskan, sehingga bisa diselamatkan, bukan sekedar diberi dukungan untuk eksis, yang akhirnya justru menjerumuskan mereka agar tetap memilih untuk ‘menyimpang’!

Maka, jangan salah jika banyak peneliti sering keliru jika menggunakan cara pandang sekular untuk menyelesaikan LGBT. Sebab, kaca-mata yang digunakan tidak diambil dari sumber Islam yang shahih. Seperti pernyataan Boellstorff yang menganggap kajian komprehensif mengenai Islam Indonesia sangat jarang menyinggung homoseksual, hal ini mencerminkan homoseksual menjadi sesuatu yang tidak dapat dibandingkan dengan Islam sebagai wacana publik di Indonesia (Boellstorff, 2005).

Atau buku saku bagi kalangan psikolog, yang merupakan rangkuman singkat Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang mendasarkan pada pandangan Barat bahwa LGBT tidaklah menyimpang (sebab lima dari tujuh orang tim task force DSM adalah homo dan lesbian, sisanya adalah aktivis LGBT).

Akhirnya “homoseksualitas” dikeluarkan dari daftar penyakit internasional (International Classification of Diseases) oleh WHO pada 17 Mei 1990. Indonesia juga telah memasukkan homoseks dan biseks sebagai varian yang setara dengan heteroseks dan bukan gangguan psikologis. Hal itu tertuang dalam Panduan Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa (PPDGJ) III, sejak 1993 dengan acuan DSM tersebut. Para pemikir barat telah sangat keliru, ketika menisbatkan Islam hanya dalam ranah fakta kekinian, termasuk di Indonesia. Hal ini wajar, karena sejatinya mereka adalah para intelektual yang melihat Islam hanya dari sudut pandang barat, yang fatalnya, pemikiran seperti ini juga diamini para intelektual muslim. Lalu bagaimana Islam memandang LGBT, dan memberikan solusinya?

ISLAM, datang untuk menyelamatkan, bukan menjerumuskan !

Sebagai dien yang sempurna, yang kebenarannya bisa dibuktikan secara intelektual, Islam telah mengatur seluruh sendi kehidupan dengan begitu rincinya. Termasuk mengatur tentang orientasi seksual manusia. Islam telah memandang dengan jelas terkait potensi kehidupan manusia, yang didalamnya terdapat salah satu naluri yang berkaitan dengan ketertarikan antar lawan jenis. Naluri tersebut adalah naluri seksual (Gharizatun Nau’). Islam mempunyai cara pandang yang khas dalam memenuhi naluri seksual dibandingkan dengan ideologi yang lain. Islam memandang bahwa naluri seksual ini dalam pemenuhannya mesti diatur sedemikian rupa sehingga tidak ada penyimpangan sedikitpun. Islam memandang bahwa naluri seksual ini ada sebagai sarana untuk melanjutkan keturunan. Dalam Islam, seksualitas merupakan nikmat Allah Subhanahu Wata’ala untuk melanjutkan keturunan.  Sebagaimana

firman Allah dalam,

نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ وَقَدِّمُوا لأنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ مُلاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِي

“Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Baqarah : 222)

Sedangkan Kapitalisme memandang bahwa pemenuhan naluri seksual ini sangat berorientasi pada kepuasan seksual belaka dan menafikan adanya proses melanjutkan keturunan. Sehingga jalan yang ditempuh oleh ideologi kapitalisme sangat bermacam-macam, homoseksual/lesbian pun bisa menjadi legal, bahkan pedofil dan pelampiasan pada hewan pun bisa muncul dalam iklim kapitalis sekular. LGBT dan turunannya adalah fenomena sosial yang ada didalam kehidupan masyarakat yang kapitalis sekular. Karena dalam pandangan Islam, tegas dinyatakan bahwa LGBT adalah penyimpangan terhadap syariat (faahisyah), seperti dalam beberapa firmanNya,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu?”” (QS:Al-A’raf [7]: 80)

أَتَأْتُونَ الذُّكْرَانَ مِنَ الْعَالَمِينَ

“Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia,”.(QS: Asy-Syu’araa [26]: 165).

“dan kamu tinggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”.(QS: Asy-Syu’araa [26]: 166).

Hingga akhirnya Allah memusnahkan kaum nabi Luth dengan menimpakan sebuah gempa vulkanis yang diikuti letusan larva, kota Sodom tersebut Allah runtuhkan, lalu dijungkirbalikan masuk kedalam laut mati. Hal ini telah Allah gambarkan di dalam firman-Nya berikut :

وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِمْ مَطَرًا فَسَاءَ مَطَرُ الْمُنْذَرِينَ

“Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu”.(TQS. Asy-Syu’araa [26]: 173).

Atas dasar-dasar Al-Quran tersebut, Islam telah mengatur kehidupan manusia dengan sebaik-baik aturan. Sehingga ada beberapa hal yang Allah perintahkan untuk menjauhkan manusia terjerumus kedalam aktivitas liwath (Homoseksual dan Lesbian).

Pertama, secara individual

Islam memerintahkan menjauhi hal-hal yang dapat mengundang hasrat melakukan liwath. Sejak dini, Islam memerintahkan agar anak dididik memahami jenis kelaminnya beserta hukum-hukum yang terkait. Islam juga memerintahkan agar anak pada usia 7 atau 10 tahun dipisahkan tempat tidurnya sehingga tidak bercampur.

”Janganlah seorang laki-laki melihat aurat laki-laki, jangan pula perempuan melihat aurat perempuan. Janganlah seorang laki-laki tidur dengan laki-laki dalam satu selimut, begitu juga janganlah perempuan tidur dengan perempuan dalam satu selimut.” (HR. Muslim)

Islam juga memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menundukkan pandangan, menjaga aurot, tidak khalwat dan ikhtilat, dan mengharamkan segala sarana yang bisa memicu penyimpangan naluri tersebut, seperti media porno, prostitusi, minuman keras, narkoba, dsb.

Kedua, sanksi bagi pelaku liwath

Negara, dalam pandangan Islam, harus menerapkan had bagi para pelaku liwath, yaitu bunuh baik muhshan maupun ghairu muhshan.. Hukuman ini begitu tegas termaktub di dalam Al-Quran dan Assunah, yang dalam pandangan Islam, hukuman ini berfungsi sebagai pencegah dan penebus dosa.

Siapa saja yang kalian jumpai melakukan perbuatan kaum Nabi Luth as. maka bunuhlah pelaku dan pasangan (kencannya). (HR. Abu Daud, Turmudzi, Ibnu Majah).

Had liwâth dapat dijatuhkan dengan syarat, pelaku liwâth baik pelaku maupun yang dikumpulinya; baligh, berakal, karena inisiatif sendiri, dan ia terbukti telah melakukan liwâth dengan bukti syar’iyyah, yaitu, kesaksian dua orang laki-laki, atau seorang laki-laki dan dua orang perempuan. Seandainya pelaku liwâth adalah anak kecil, orang gila, atau dipaksa dengan pemaksaan yang sangat, maka ia tidak dijatuhi had liwâth. Itulah beberapa penjelasan seputar liwath di dalam Islam. Pencegahan tersebut hanya akan efektif ketika Negara menerapkan syariat Islam secara kaaffah, karena akan didukung oleh sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pendidikan, sistem pergaulan dan sistem sanksi yang kesemuanya berlandaskan syariat, bukan sekular liberal.

Sebagai penutup, jadilah para intelektual yang menyebarkan pemikiran yang sudah teruji kebenarannya, dan bagi seorang Muslim, tentu landasan kebenaran sudah mutlak, yaitu Al-Qur’an dan sunnah RasulNya. Mengutip pernyataan  Dr. Adian Husaini, MA “dosa pemikiran itu tidak ringan, karena menyebarkan pemikiran yang salah juga berat dosanya, apalagi jika kemudian diikuti oleh banyak orang.” Wallahualam.*

Sumber : hidayatullah.com


Saya Marah !

Saya marah…

Sangat marah….

Ketika saya dihina, disepelekan dan dicampakkan !

apalagi ….

Jika itu dilakukan pada Ayah dan Ibu saya !

terlebih…

jika itu adalah Pencipta Saya!

Pencipta Ayah dan Ibu Saya!

….

Ya… Kami berhak marah…

ketika aturan Allah dilecehkan… hukumNya disepelekan… dan ketetapanNya dalam kitabNya dicampakkan!

 


The Dagelan Continues…

Di tengah-tengah keriuhan berita tentang penggerebegan dan penangkapan para anggota ISIS (Islamic State of Iraq and Suriah) di berbagai tempat di tanah air setelah seminar tentang ISIS di JIEX Kemayoran beberapa hari lalu, saya mendapatkan kabar bahwa nanti malam, sekitar pukul 19.30, 16 orang warga Indonesia yang ditangkap di Turki akan tiba di tanah air. Berdasarkan informasi yang berkembang, keenam belas orang itu datang ke Turki sebelum menyeberang ke wilayah Suriah, untuk bergabung dengan ISIS.

Tapi menurut seorang kawan yang bertugas di Markas Besar Polri, ke-16 orang itu bukanlah 16 orang yang dilaporkan menghilang oleh keluarganya dan berencana untuk ke Turki, pekan lalu. “Enam belas orang yang baru datang ini sebenarnya sudah ditangkap lama sebelumnya,” ujarnya. Sementara, dalam berbagai pemberitaan, ke-16 orang warga Surabaya, Solo dan Malang yang terdiri dari orang tua dan anak-anak itu digambarkan juga bahwa mereka akan bergabung dengan ISIS.

Kawan saya ini kemudian bercerita, bahwa sebenarnya ke-16 orang yang “akan tiba di Bandara Soekarno Hatta” nanti malam ini sebenarnya sudah tiba kemarin. Semula, Mabes Polri dan Interpol Indonesia akan mengumumkan keberhasilan mereka menjemput “para anggota ISIS” itu dalam sebuah konferensi pers yang mereka selenggarakan. Tapi rupanya, Departemen Luar Negeri Indonesia memprotes karena merasa tidak dihargai kontribusinya. Sebab, Departemen Luar Negeri merasa ikut membantu negosiasi untuk melepaskan ke-16 warga Indonesia yang ditangkap di Turki itu.

Karena mendapat protes keras, akhirnya Mabes Polri dan Interpol Indonesia mengurungkan rencana konferensi pers mereka. Keenam belas orang warga Indonesia yang sudah mendapat label sebagai anggota ISIS itu kemudian diangkut dan diinapkan ke National Traffic Management Centre (NTMC) Mabes Polri di jalan MT Haryono. “Skenarionya nanti mereka seolah baru datang, dan kemudian digelar konferensi pers bersama,” kata sumber di Mabes Polri tadi.

Sssttt… cerita tentang penangkapan di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia pun sebenarnya lucu-lucu loh… Mulai dari yang ditangkap masih dalam status wajib lapor (dan rajin melapor), tapi dibikin drama dengan penangkapan heboh di depan Mall. Padahal kalau tidak ada niat show, polisi bisa langsung menangkap dia saat laporan mingguan ke polisi. Belakangan diketahui pula bahwa orang-orang yang disebut-sebut sebagai anggota ISIS dan ditangkap di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang kemarin juga masih dalam pemantauan polisi, dan bahkan dalam status wajib lapor.

Proyek baru tampaknya masih bikin kikuk polisi. Sebab, menurut seorang perwira berbintang satu di mabes Polri, sebenarnya polisi juga masih bingung harus memakai undang-undang apa untuk menjerat orang-orang yang baru datang dari Suriah. Polisi, dan BNPT memang sudah meminta Presiden Jokowi untuk mengeluarkan Perpu larangan ke daerah konflik, tapi Wakil Presiden Jusuf Kalla menolaknya… “Cukup undang-undang yang ada saja. Teroris kan selama dia berbuat jahat siapa saja harus dihukum. Tidak perlu pakai Perppu,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) di Istana Wapres, Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Kamis (26/3/2015).

To be continued…

dikutip dari jurnalis ANTEVE Hanibal Wijayanta dalam akun facebooknya…


Setengah Jalan ?

cov106-gbr

Tak terasa…

sudah setengah jalan,

menuju ajal

….

Bagaimana jika jalan itu tak sepanjang yang kau kira ?

 


Simulakra dan Tasripin

Sewaktu kecil saya pernah menipu kakek. Usia beliau tujuh puluh waktu itu, dan mewakili generasi yang minim sekali bersentuhan dengan ikon-ikon kemajuan. Kakek saya itu seorang petani dusun yang tinggal di ujung gunung, perbatasan Kabupaten Magelang dan Semarang, yang sepanjang hidupnya tak memiliki piranti elektronik apapun. Oh, kecuali senter kecil bertenaga baterai. Sebaliknya, saya generasi yang sedang antusias menyongsong jaman baru. Sekalipun kami sama-sama belum menikmati listrik, tetapi setidaknya di rumah bapak saya sudah tersedia radio dan tape recorder bertenaga aki kecil. Dengan tape recorder inilah saya menipu kakek.

Ketika menginap di rumah kami, kakek biasanya saya putarkan musik favorit keluarga, yakni gending Jawa. Atau istilah populernya uyon-uyon, entah itu dengan radio atau tape. Kakek tentu saja tahu tentang radio atau tape, atau lebih tepatnya tahu menikmatinya. Tetapi beliau tidak tahu mengoperasikannya. Dan yang sama sekali tak diketahuinya adalah bahwa tape recorder bisa digunakan untuk merekam suara kita sendiri. Entah bisikan apa tiba-tiba saya kepikiran untuk merekam suara saya, menirukan penyiar yang sering didengar oleh kakek dari radio. Lalu dalam rekaman itu saya menyampaikan salam hangat kepada kakek saya, lengkap dengan deskripsi detil yang mengindikasikan bahwa penyiar gadungan tersebut mengenal betul sosok kakek saya. Hasilnya sesuai harapan. Kakek terheran-heran dengan kejadian ini, dan mulai menceritakannya dengan penuh antusias kepada orang-orang terdekat, misalnya kepada bapak, ibu, dan paman saya. Ketika beberapa minggu kemudian saya berterus terang tentang penipuan ini, kakek marah besar.

Kenakalan saya itu sebenarnya suatu persoalan filosofis yang serius. Apa yang dimaksud dengan kenyataan? Benarkah yang kita anggap kenyataan itu sesungguhnya cuma “kesan-kesan” yang dihasilkan di dalam ruang interpretasi? Bisa jadi “kenyataan” itu hanyalah tiruan atau bahkan pemalsuan dari sesuatu yang lain? Peniruan atau pemalsuan dari sebuah model nyata? Atau … bahkan bukan lagi tiruan, tetapi khayalan yang tidak lagi bersumber dari realitas manapun? Wow akhirnya kita sampai pada polemik pelik tentang representasi, yang telah mengharu-biru jagad intelektual sejak Parmenides, Plato, Hegel, hingga Umberto Uco atau Baudrillard. Seandainya saya tak berterus terang kepada kakek tentang penipuan itu, mungkin sampai akhir hayatnya kakek akan tetap percaya bahwa penyiar radio itu benar-benar mengenal beliau. Sementara bagi saya — yang tahu persis kejadiannya, realitas yang diyakini kakek itu omong kosong belaka.

Terhadap peristiwa sederhana yang berlangsung di depan mata, kita akan dengan mudah mengatakan, “Saya tahu persis kejadiannya”. Tetapi peristiwa model begini tidak memiliki peran signifikan dalam sistem kognisi kita. Ini seringkali hanyalah peristiwa remeh-temeh, misalnya gelas pecah atau kran macet. Sedangkan yang dominan dalam hidup kita adalah kejadian-kejadian yang sudah dimediasi. Atau dengan istilah lain, sudah dimanipulasi, baik dalam nosi baik atau buruk. Dan pernyataan ‘saya tahu persis kejadiannya’ menjadi diragukan.

Saya tak sendirian. Kenakalan saya bukan modus baru. Memanipulasi ‘kenyataan’ telah terjadi sejak ribuan tahun silam. Plato, filosof Yunani itu, pernah mendokumentasikan dialog njlimet tetapi serius antara kolega Socrates — seorang anak muda bernama Theaetetus — dan seorang asing dari Elea. Dialog itu pada dasarnya membahas tentang definisi Kaum Sophis, dan oleh karenanya dialog itu diberi judul “Sophist”. Kaum Sophis adalah sekelompok intelektual yang menyebarkan atau mengajarkan pengetahuan dengan meminta imbalan — tren aneh yang lagi booming jaman itu. Orang Asing dari Elea itu menganalogikan kaum Sophis sebagai pemburu bayaran (hired hunter), yang menukarkan hasil buruan dengan sejumlah uang. Sementara lawannya adalah pemburu sejati (faithfull hunter), yang menyedekahkan hasil buruannya secara cuma-cuma. Lalu dialog itu menyinggung tabiat para seniman kriya yang memahat patung tidak dalam proporsi yang benar sesuai tubuh manusia, tetapi sengaja didistori — tubuh bagian atas lebih besar dibanding bagian bawah. Tujuannya agar patung-patung itu memiliki citra lebih gagah. Bahasa Latin memiliki istilah khusus tentang ini, yakni simulakra. Istilah ini baru masuk ke dalam kamus Bahasa Inggris kira-kira abad ke-16, yang arti harfiahnya adalah “kemiripan”, “keserupaan”, “similarity”, atau “likeness”. Menurut orang Elea itu, baik para Sophis atau para seniman memiliki nosi yang mirip, yakni berperan layaknya “pedagang”. Barang dagangannya disebutnya “food of the soul”, dibedakan dengan barang dagangan fisik pada umumnya, atau “food of the body”. Isi dialog itu kira-kira begini (Maaf, ini cuma “Dialog Plato” palsu versi saya. Versi aslinya lebih bertele-tele :):

Orang Asing: “Apakah kita sepakat menggunakan istilah ‘yang nyata (being)’ dan yang ‘tidak nyata (not being)'”?
Theaetetus: “Ya, sepakat.”
Orang Asing: “Apakah menurut anda patung-patung — yang berkesan gagah — itu ‘nyata'”?
Theaetetus: “Tidak, tetapi tiruan dari ‘yang nyata'”?
Orang Asing: “Berarti ‘tidak nyata’?”
Theaetetus: “Saya kira demikian.”
Orang Asing: “Mengapa?”
Theaetetus: “Karena patung-patung itu tidak benar-benar persis sesuai aslinya, tetapi sengaja didesain untuk memunculkan kesan-kesan khusus.”
Orang Asing: “Hmm… tapi bukankah kesan-kesan itu akhirnya mempengaruhi persepsi kita tentang kenyataan? Bahkan … orang-orang justru akhirnya lebih percaya patung yang berkesan khusus itu ketimbang yang persis aslinya? Jadi, ‘yang tidak nyata’ itu mungkin saja menjadi ‘nyata’?”
Theaetetus: “Hmm…bener juga sih.”

Media Amerika ternyata paling getol menciptakan simulakra. Di Yalta, tahun 1945, ketika nestapa Perang Dunia Ke-2 baru saja usai, Silvester “Rocky” Stalone pernah mejeng bareng PM Inggris Tuan Churcill, Presiden AS Mister Roosevelt, dan Presiden Rusia Kamerad Stalin. Bayangkan, Stalone yang ototnya berbuku-buku itu cuma memakai singlet alias kaos oblong, sementara para pemimpin dunia itu berjas lengkap. Pada foto itu, Si Rocky seolah-olah habis menasehati para kampiun perang itu dengan logat Brooklyn nan medok, “Sok atuh Bos, bagi-bagi hasilnya yang rata. Jangan berebut, ya!” Scientific American lebih gila lagi. Majalah itu menayangkan potret Abaraham Lincoln memangku dan memeluk mesra bintang seronok, Merlyn Monroe. Dalam foto itu Nona Monroe tampak bahagia, sementara Lincoln terlihat bijaksana.

Kurang ajar memang. Tapi tenang saja. Foto-foto itu palsu, atau istilah teknisnya montase (montage). Dengan mudah kita bisa menyangkal kebenarannya: bagaimana mungkin mereka yang beda generasi bisa berpose dalam satu potret? Apalagi waktu itu sebagian sudah meninggal dan lainnya masih hidup. Mudah sekali mengetahui kepalsuannya, bukan? Benar, memang mudah. Tetapi itu karena kita masih bisa melihat — walau sedikit — jejak kenyataan, atau kepingan artifak. Bagaimana dengan anak cucu beberapa generasi mendatang yang tak tahu apa-apa? Atau bagaimana kita sendiri jika berada dalam kondisi buta — tak memiliki informasi memadai? Pasti sulit. Sebab, foto-foto itu sulit sekali untuk dicap palsu. Sangat bagus, seperti asli. Anda tentu tak akan bisa menduga bahwa foto Menteri Sekretaris Negara AS James Baker dengan Presiden Irak Sadam Husein itu palsu. Padahal aslinya foto itu antara Tuan Baker dan Menlu Philipina, Raul Manglapus, sebelum akhirnya disisipi potongan tubuh Pak Saddam, musuh bebuyutan Amerika. Di foto aslinya mimik Baker tampak tegang, seolah merasa bersalah akibat borok sejarah para pendahulunya. Sementara dalam foto palsu itu Baker justru rileks — lengannya  merangkul akrab pundak Saddam, disaksikan oleh Manglapus yang juga ceria. Lengan itu aslinya tidak melingkar di pundak siapapun, tetapi menjuntai di atas bantal sofa. Para seniman fotografi bahkan menilai foto palsu itu lebih baik dari aslinya.

Satu lagi tentang tipu-menipu. Kali ini digambarkan secara filmis dalam “Wag The Dog”. Film ini digawangi oleh seabreg mega bintang seperti Robert De Niro, Dustin Hoffman, Kristen Dunst, Anne Heche, dan Dennis Leary, yang berkisah tentang penyelamatan presiden incumbent Amerika Serikat dari aib: berselingkuh dengan gadis panggilan di bawah umur. Parahnya dua minggu lagi musim kampanye. Untuk mengalihkan isu, tim publik presiden lalu membuat simulakrum yang tak kalah sinting, sebuah liputan dokumenter palsu tentang perang yang juga palsu di Albania, dimana para tentara Amerika terjebak dalam medan perang yang bengis. Situasi perang itu sendiri tidak digambarkan secara hingar-bingar ala “Saving Private Ryan”, melainkan cuma latar reruntuhan gedung dan penampakan seorang gadis setempat yang panik dan memelas, sambil menggendong seekor pudel. Memang sesekali terdengar juga desingan metraliur dan dentuman artileri, tapi tak heboh amat. Ending-nya mudah ditebak, para “rambo” itu berhasil menyelamatkan sang gadis, dan dielu-elukan sebagai pahlawan. Alhasil, isupun teralihkan.

Serangkaian simulakra itu memang persis seperti yang diramalkan oleh orang asing dari Elea itu. Realistis, halus, detil, dan yang lebih penting: mengesankan. Tak menyisakan ruang keraguan bagi kita — pemirsanya — bahwa realitas itu sebenarnya sama sekali tidak nyata. Mark Slouka, budayawan Amerika, menyebut bangsanya sendiri — dan saya kira juga sebagian besar penduduk bumi ini termasuk kita — sudah menderita vertigo sejarah, semacam simtom kebingungan akut. Tak lagi bisa membedakan yang nyata dan tak nyata. Jungkir balik, begitulah.

Tak usah jauh-jauh ke Amerika. Foto dramatis tentang negeri kita pun ada. Foto ini sekalipun bertajuk China Begger (Pengemis Cina), tetapi judul itu ditulis terlalu kecil, nyaris tak kelihatan. Yang justru menonjol adalah potret seorang nenek pengemis berkebaya dan berkain batik, sedang bersandar pada dinding gedung yang lengang sembari menadahkan mangkuk alumunium ke orang-orang yang lewat. Nenek itu sangat memprihatinkan, memang. Tapi itu tak seberapa. Yang membuat foto itu begitu menggelegakkan emosi adalah gambar sekelompok gadis sekolah berseragam merah-putih, seragam SD kita, lewat di depan sang pengemis sambil menertawai kepapaannya. Dan bahkan salah satu dari gadis kecil itu mengacungkan jari tengah kepada si nenek, yang dalam budaya Barat diartikan sebagai simbol penghinaan yang keji. Tak ayal di dunia mayapun menggembung diskusi yang melibatkan ribuan netters, baik dari dalam dan luar negeri — termasuk kawan-kawan kita sendiri, tentang betapa bobroknya moralitas anak-anak kita. Caci maki, kejengkelan, keprihatinan. Sahut-menyahut seolah kita sedang membahas tragedi pedih dan bayangan kelam masa depan. Padahal gambar itu seratus persen palsu. Anak-anak dan nenek pengemis itu berasal dari foto berbeda. Pun telunjuk tengah yang diacungkan itu juga bukan milik anak itu. Teknik montasenya buruk, cropingnya kasar, pencahayaannya tak konsisten. Lalu ketika saya dan beberapa orang lain di Internet bilang bahwa foto itu palsu, sebagian besar khalayak tetap saja meneruskan diskusinya, dengan tambahan kata-kata bersentimen moral, “Baiklah, mungkin benar gambar itu palsu. Tetapi bukankah kita tetap perlu waspada terhadap ancaman keruntuhan akhlak anak-anak kita?” Saya akhirnya bertanya-tanya sendiri, mengapa orang-orang itu seperti menikmati self-bullying, semacam sado-masochism, dimana dirinya sendiri dipermainkan oleh realitas palsu? Ataukah ini yang oleh Uco dan Baudrillard disebut hiperealitas?  (Anda mungkin ingat tentang betapa dahsyat religiusitas para penghuni cyberspace ketika tiba-tiba menemukan gambar palsu tentang malaikat yang turun di atas Ka’bah. Saya pernah berhasil membuat potret model begitu hanya dengan asap, kamera digital, dan cahaya blits).

Anda boleh setuju atau tidak, produsen simulakra terhebat adalah media massa, khususnya tivi. Sinetron, infotaintment, dan berita. Ya berita (news), benteng pembeda terakhir antara yang nyata dan tak nyata pun kini terindikasi korup. Korup bukan dalam pengertian umum, tetapi sebagaimana yang dimaksud dalam Dialog Plato, yakni menghadirkan representasi yang tak sesuai dengan aslinya, alias tak nyata. Atau dalam terminologi Mark Slouka, representasi yang semakin bersaing dengan kenyataan, yang pelan-pelan mengaburkan tabir antara yang nyata dan yang virtual. Tivi semakin sukses membuat pemirsanya lebih prihatin terhadap artis ayu mungil yang tergolek sayu di ranjang rumah sakit karena tifus, melebihi kepedulian mereka terhadap tetangga asli yang juga sedang opname karena demam berdarah. Atau tiba-tiba kita menjadi begitu takjub terhadap selebritis yang memanjakan anjing atau kucing piaraannya, sementara kita tak mendapat berita apapun seputar anggaran kemewahan si kucing yang melebihi gaji para pawangnya.

Tetapi selalu ada dua sisi mata uang. Tak selamanya simulakrum ber-output buruk bagi pihak-pihak yang terlibat. Salah satunya tentang Tasripin. Adalah sebuah berkah ketika media “berhasil menemukan” anak Banyumas berusia dua belas tahun yang bernasib malang ini, yang selama beberapa pekan menghiasi media-media nasional, termasuk media dari daerah-daerah yang jauh. Anak ini diberitakan sebatangkara karena ibunya meninggal tertimpa longsoran batu di kali, sementara bapak dan kakak sulungnya merantau ke Kalimantan tanpa kabar. Keluarga dekat yang tinggal sekampung berkesan tak mau mengurus. Akibatnya, anak kecil yang seharusnya riang bermain ini terpaksa mensulihi peran sebagai kepala keluarga bagi ketiga adiknya. Lalu, tentu saja, berita mengharukan ini mengundang simpati orang banyak. Tak hanya dermawan biasa, tetapi juga Bupati dan bahkan Presiden SBY. Tasripin yang sempat putus sekolah itupun akhirnya kini bisa melanjutkan. Rumahnya diperbaiki oleh tentara dari Kodim. Bahkan akhirnya para dermawan berhasil membawa pulang sang ayah dan dipertemukan dengan anaknya. Ketika ditanya oleh tivi apakah dia akan meninggalkan lagi anaknya, ayah Tasripin menjawab tegas, “Tidak, Pak”.

Eh, tunggu dulu. Rupanya kisah Tasripin tak persis seperti itu. Situs Aliansi Jurnalistik Independen (AJI) wilayah Purwokerto (ajikotapurwokerto.or.id) memuat tulisan Shinta arDjahrie, seorang aktivis lembaga amal di Purwokerto, yang juga menyalurkan titipan bantuan kepada Tasripin. Menurut Shinta, anak malang itu tak benar-benar hidup sendiri. Dia diasuh oleh pamannya, Ali Katun, walapun tak tinggal serumah. Pamannya inilah yang menyediakan makanan pokok untuk Tasripin dan adik-adiknya. Situs Riau Pos (riaupos.co) juga memberitakan bahwa Kuswito, ayah Tasripin yang berpenghasilan hanya satu juta sebagai buruh di perkebunan sawit itu, juga selalu rutin mengirim uang 300-an ribu sebulan. Tapi uang itu tak mencukupi, hingga Tasripin kadang bekerja serabutan untuk menambah biaya sekolah adik-adiknya. Tapi mengapa anak-anak ini tak tinggal saja dengan pamannya? “Kuswito bersikeras supaya anak-anaknya tetap di rumah. Dia menolak tawaran saudara-saudaranya untuk mengasuh anak-anaknya. Kami pun merasa sedih,” kata Ali. Lagian rumah Tasripin dan pamannya juga sangat dekat, hanya terpaut satu rumah.

Rupanya pemberitaan media yang tak sesuai itu melukai hati Ali Katun, sang paman. “Kami memang hidup kekurangan, Mbak. Tapi kami tidak pernah menelantarkan anggota keluarga kami sendiri,” kata Ali kepada Shinta. Yang menyinggung perasaan Ali dan keluarganya adalah berita bahwa Tasripin makan nasi hanya berlauk garam selama berhari-hari.

Pada titik ini, Shinta pun keheranan. Bagaimana mungkin pemberitaan bisa korup (meminjam nosi Plato) seperti ini? Mengapa Ali sang Paman, yang kebetulan juga ketua RW, yang rumahnya hanya berjarak 20 meter atau selisih satu rumah dengan tempat tinggal Tasripin, tak disertakan sebagai nara sumber? Juga orang-orang setempat, seperti guru ngaji dan kepala dusun? Bagi Shinta, pemberitaan Tasripin ini menyimpan teka-teki tersendiri. Dia menduga sang wartawan tak benar-benar datang ke lokasi. Reportase ini semata-mata berdasarkan informasi dari pihak ketiga, semacam “press release”, entah dengan maksud apa.

Akhirnya, anda dan saya akan selalu gamang mensikapi realitas. Di masa depan kita akan semakin kesulitan membedakan antara ‘yang nyata’ dan ‘yang tak nyata’. Tentang kegamangan ini Mark Slouka menasehati, “Cobalah mulai saat ini Anda belajar mencintai hal-hal yang benar-benar nyata. Pergilah ke taman, dan sentuh daun-daun yang berguguran. Rasakan juga anginnya yang mencicit-cicit. Juga ciumlah kening istri anda di taman itu, rasakan wanginya. Jangan biasakan mencium kening virtual di dunia maya.”

Saya sendiri lagi mencoba menyelami makna hadist ini, “WAMA ‘ARAR FA NAFSAHA WA KHAR ‘ARA RABBAHU”. Barangsiapa mengenal diri sendiri, sesungguhnya ia mengenal Tuhan. Bukankah Tuhan adalah Realitas Sejati?

 

***

Tulisan diatas saya ambil dari http://www.goeska.com/.

Saya sependapat, bahwa banyak  ‘media’ (mungkin hampir semua) yang lebih cenderung bekerja untuk opini tertentu. Saya teringat ketika mahasiswa dulu mengikuti beberapa aksi masiroh (demonstrasi damai untuk menyampaikan opini tertentu) dan biasanya esoknya kita akan mengecek apa yang ditampilkan oleh media. Ternyata rata-rata ‘tidak’ menyoroti apa keinginan dan opini yang disampaikan, tapi yang tampil justru gambar anak-anak yang ikut aksi seolah kami adalah massa tak tau diri dengan melibatkan anak dibawah umur, aksi kami malah memicu kemacetan padahal saat itu kita dalam posisi menyeberang dan telah minta ‘ijin’ pada pengawal lalu lintas sehingga mereka pun harus menghentikan laju kendaraan, atau kalo yang ikut aksi 100 ataupun 999, mereka akan mengutip jumlah yang sama, “ratusan massa”, padahal bisa jadi jumlahnya mencapai seribu orang ataupun opini yang tersampaikan meleset dan bahkan menyimpang dari tujuan aksi. Atau pernah ada opini dalam sebuah surat kabar di Bogor yang mencantumkan berita “Warga Bogor tolak Syariah Islam”, padahal yang aksi bukan representasi warga Bogor, karena paling sekelompok orang yang mengatasnamakan beberapa organisasi massa. Begitupun opini ‘teroris’ yang sejak tragedi WTC sering sekali terdengar di media, dan anehnya, tersangka ‘teroris’ hanya tersemat pada pelaku “yang masih diduga” orang Islam, jika bukan Islamis, maka tak ada embel-embel ‘teroris’.

Maka, jangan terkecoh antara fakta dan opini. Cerdaslah memberi dan menerima informasi!


Kalau Sistem Demokrasi Haram, Sepak Bola Juga?

Kritik-mengkritik itu soal biasa, tentu selama masih dalam koridor yang dibenarkan. Apalagi dalam masalah agama, kritik itu bisa jadi usaha untuk mengingkari kemungkaran atau untuk meluruskan kesalahan. Karena Islam adalah agama nasehat, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:

الدين النصيحة قلنا : لمن ؟ قال : لله ولكتابه ولرسوله ولأئمة المسلمين وعامتهم

Agama adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin dan umat muslim seluruhnya” (HR. Muslim, 55)

Tapi tentu seperti sudah dikatakan tadi, harus berada pada koridor yang benar. Tidak sampai berlebihan hingga sampai melakukan hal yang diharamkan seperti mencaci, mencela, menjatuhkan kehormatan, berdusta, menjuluki dengan julukan yang buruk, atau sampai berbuat zhalim. Selain itu, koridor yang benar dalam kritik masalah agama itu juga perlu dicapai dengan metode kritik yang benar. Tidak asal bicara, sembarang komentar, tidak menggunakan kaidah dan metodologi yang baku dan sesuai. Konsekuensinya, orang yang mengkritik ini haruslah orang yang berilmu agama. Ini perlu diperhatikan dengan serius dan penting, mengapa? Karena bicara masalah agama itu berat. Allah Ta’ala berfirman kepada Rasulullah tentang Al Qur’an:

إِنَّا سَنُلْقِي عَلَيْكَ قَوْلًا ثَقِيلًا

Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat” (QS. Al Muzammil: 5)

Jadi, jangan asal bicara, jangan asal komentar.

Metode kritik yang ilmiah dalam masalah agama yang dipakai oleh para ulama dan para penuntut ilmu agama dapat kita runut langkahnya sebagai berikut:

  1. Tashwir al mas-alah, memberikan gambaran umum masalah yang akan dibahas, dan menyebutkan serta menjelaskan istilah-istilah yang mungkin kurang dipahami
  2. Tahrir mahal an niza, menyebutkan pokok inti permasalahan, biasanya dengan menyebutkan poin-poin yang disepakati dan poin-poin yang diperselisihkan
  3. Dzikrul aqwal, menyebutkan pendapat-pendapat yang ada dari para ulama
  4. Tanqihul aqwal, menyederhanakan pendapat-pendapat yang ada, menggabungnya atau mengklasifikasikannya jika memungkinkan
  5. Nisbatul aqwal ila ashabiha daqiqatan, menyebutkan pemilik pendapat yang ada secara lebih rinci
  6. Dzikrul adillah, menyebutkan dalil-dalil yang digunakan setiap pendapat
  7. Dzikru awjahil istidlal, menyebutkan sisi pendalilan yang digunakan setiap pendapat
  8. Al I’tiradh wal munaqasyat fil adillah, pembahasan yang mencakup telaah kualitas dalil dan telaah sisi pendalilan serta penjelasan para ulama
  9. Tarjih bainal aqwal, menyimpulkan pendapat yang terkuat dari hasil telaah sebelumnya

Atau minimal, jika kita tidak berniat membahas perbandingan pendapat, atau mungkin tidak ada perbedaan pendapat yang berarti, bisa kita peringkas lagi langkahnya:

  1. Tashwir al mas-alah, memberikan gambaran umum masalah yang akan dibahas, dan menyebutkan serta menjelaskan istilah-istilah yang mungkin kurang dipahami
  2. Tahrir mahal an niza, menyebutkan pokok inti permasalahan, biasanya dengan menyebutkan poin-poin yang disepakati dan poin-poin yang diperselisihkan
  3. Dzikrul adillah wa awjahil istidlalmenyebutkan dalil-dalil yang digunakan setiap pendapat serta sisi pendalilannya
  4. Al I’tiradh wal munaqasyat fil adillahpembahasan yang mencakup telaah kualitas dalil dan telaah sisi pendalilan serta penjelasan para ulama
  5. Khulashah, kesimpulan

Dengan langkah-langkah ini, kritik atau bahasan yang ada lebih terarah, ilmiah, dan dapat dipertanggung-jawabkan.

Saya ingin memberi contoh kritik yang tidak baik dan serampangan, yaitu yang ada di tulisan ini :

demokrasi-haram-sepak-bola-haram

klik untuk memperbesar

Kesimpulan yang diinginkan dari artikel tersebut adalah demokrasi tidak haram sebagaimana sepakbola tidak haram. Jadi inti artikel tersebut adalah mengkritik orang yang mengharamkan demokrasi. Nah, idealnya, langkah yang seminimal mungkin ditempuh oleh penulis yaitu,

  1. Menggambarkan fenomena tentang orang-orang yang mengharamkan demokrasi, bagaimana bentuk pengharaman mereka, apa yang mereka katakan, dll. Lalu menjelaskan apa itu demokrasi, definisinya, asalnya, sifat-sifatnya, dll.
  2. Menjelaskan apa penyebab mereka mengharamkan demokrasi, mulai dari sebab inti sampai sebab pendukung serta latar belakang dan landasan yang mereka gunakan.
  3. Menyebutkan dalil-dalil yang terkait soal demokrasi dan sisi pendalilannya
  4. Membahas kualitas dalil-dalil tersebut, sisi pendalilannya dan penjelasan para ulama
  5. Kesimpulan

Adapun yang ada pada artikel tersebut, sangat jauh api dari panggangan, sangat jauh dari ilmiah. Sekedar permainan logika asal-asalan. Tapi bukankah ini qiyas? Ya ini qiyas ma’al fariq, menganalogikan dua hal yang tidak bisa saling dianalogikan.

Kesalahan 1 : Gagal memberikan gambaran masalah

Sebelum bicara soal qiyas, kita tinjau metode penulis dalam mengkritik. Penulis sejak awal sudah gagal dalam tashwir al mas-alah, beliau tidak memberi gambaran masalah dengan baik. Di sana hukum demokrasi di-qiyas-kan dengan hukum sepakbola. Padahal hukum sepakbola ini perlu dirinci. Apakah hukum bermain sepakbola secara mutlak? hukum bermain sepakbola sebagai rutinitas? hukum menjadi pemain sepakbola profesional atau turnamental? Juga ataukah hukum menonton sepakbola dan menjadi fans tim sepakbola? Karena semua hal ini berbeda hukumnya. Jadi yang mana yang diqiyaskan oleh penulis? Lalu mengenai tema demokrasi sendiri, penulis mencampur-adukkan masalah antara hukum sistem demokrasi, hukum mematuhi undang-undang yang dihasilkan dari demokrasi, hukum masuk parlemen, hukum menjadi pegawai negara di negara demokrasi, yang semua ini pembahasannya berbeda. Sehingga nampak sekali tulisan ini tidak memiliki gambaran masalah dan scope yang jelas.

Kesalahan 2 : Gagal mengurai pokok masalah

Penulis juga gagal bahkan tidak melakukan langkah tahrir mahal an niza’. Di sana penulis meng-qiyaskan antara sepakbola dengan demokrasi, namun beliau gagal dalam menjelaskan inti masalah mengapa orang yang mengharamkan sistem demokrasi itu berkeyakinan demikian? Apa saja alasan intinya? Nampaknya dalam hal ini penulis kurang jujur atau mungkin kurang paham dalam menampilkan alasan-alasannya. Disebutkan di sana

1. Demokrasi memecah belah umat.
2. Demokrasi melahirkan fanatisme terhadap partai bukan Islam.
3. Demokrasi melahirkan maraknya perjudian.
4. Demokrasi tasyabbuh dengan kafir dan musyrik.
5. Demokrasi adalah sistem Barat.
6. Demokrasi menyebabkan ongkos yang mahal dan boros.

 

Apakah penulis lupa atau pura-pura lupa bahwa dalam sistem demokrasi nilai kebenaran dan juga penetapan undang-undang (tasyri’) bukan ditinjau dengan kalam Allah dan Rasul-Nya namun dihasilkan dari mufakat pesertanya atau suara terbanyak? Bukankah itu sebuah kekufuran? Apakah beliau lupa demokrasi membuka kesempatan bagi siapa saja untuk berpendapat, termasuk orang jahil, orang fasiq, orang munafiq, orang liberal dan orang musyrik? Apakah beliau lupa bahwa konsekuensi dari demokrasi adalah kebebasan secara mutlak dalam berpendapat? Dan alasan-alasan inti lain yang tidak disebutkan. Sebenarnya, jika penulis ingin mengkritisi pengharaman demokrasi, maka seharusnya langkah selanjutnya adalah membantah alasan-alasan ini dengan hujjah. Misalnnya, penulis sudah tahu sistem demokrasi memecah-belah umat, lalu masih tetap mendukungnya, sampaikan munaqasyah-nya dengan hujjah. Penulis tahu sistem demokrasi itu tasyabbuh, lalu masih tetap mendukungnya, maka sampaikan munaqasyah-nya dengan hujjah, dan seterusnya. Bukan malah akal-akalan dengan membandingkannya kepada hukum sepakbola.

Karena penulis juga mempertanyakan “mengapa sepakbola tidak diharamkan“? Maka beliau juga seharusnya melakukan tahrir mahal an niza’ dalam masalah hukum sepakbola. Karena pada kenyataannya masalah ini perlu rincian dan terjadi khilafiyah diantara para ulama. Contohnya, sebagian ulama mengharamkan seorang muslim menjadi pemain sepakbola profesional. Jika ini yang disinggung penulis, maka perlu dirunut apa alasan para ulama tersebut. Diantaranya:

  1. Pemain diwajibkan oleh peraturan untuk memakai pakaian yang terbuka auratnya, karena sebagian ulama berpendapat aurat laki-laki itu dari pusar sampai lutut dan paha termasuk aurat.
  2. Mereka berpendapat bahwa permainan sepakbola adalah laghwun (hal yang melalaikan) jika dilakukan secara terus-menerus.
  3. Jadwal pertandingan profesional seringkali bertabrakan dengan waktu shalat.

Alasan-alasan ini pun tidak disebutkan oleh penulis, entah karena tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Adapun hukum bermain sepakbola, jika insidental, bukan rutinitas, menutup aurat, tidak melalaikan shalat, tentu kembali kepada hukum asal perkara non-ibadah, yaitu mubah-mubah saja, tidak kami ketahui ada ulama yang melarangnya.

Kesalahan 3 : Bicara halal-haram tanpa pembahasan dalil sedikitpun

Kemudian metode selanjutnya yaitu dzikrul adillah wa awjahil istidlal dan juga al i’tiradh wal munaqasyat fil adillah sama sekali tidak dilalui oleh beliau. Artinya, beliau bicara masalah agama, masalah halal-haram, blas tanpa pembicaraan dalil. Wallahul musta’an.

Kesalahan 4 : Qiyas yang rusak (qiyas fasid)

Terakhir, masalah qiyas. Penulis menggunakan qiyas untuk menggiring pembaca kepada pemahaman bahwa hukum demokrasi sama dengan hukum permainan sepakbola profesional. Perlu diketahui qiyas itu memiliki 4 rukun:

  1. Al Ashlu, yang menjadi sumber (source) dalam perbandingan yaitu kasus yang sudah diketahui hukumnya.
  2. Al Far’u, kasus yang akan dibandingkan (test-case), yang ingin dicari hukumnya
  3. Hukmul Ashli, hukum syar’i dari al ashlu, yang  juga akan dimiliki al far’u.
  4. Al ‘llah Al Jami’ah, yaitu adanya ‘illah yang sama-sama dimiliki al ashlu dan al far’u yang saling cocok satu sama lain. ‘Illah adalah sifat-sifat yang menjadi faktor penentu dalam menyimpulkan suatu hukum syar’i.

Dalam bahasan yang terdapat dalam artikel, rukun ke 4 tidak dipenuhi oleh penulis. Karena ‘illah di antara kedua kasus itu berbeda, tidak mutanasib.

  • Sistem demokrasi diharamkan karena didalamnya ada tasyri’ (penetapan syari’at) bukan dengan dalil. Apakah hal ini terdapat dalam permainan sepakbola? Tidak.
  • Sistem demokrasi diharamkan karena didalamnya orang jahil, fasiq, musyrik, bisa ikut berpendapat menentukan baik-buruk. Apakah hal ini terdapat dalam permainan sepakbola? Tidak.
  • Permainan sepakbola profesional diharamkan sebagian ulama karena memperlihatkan aurat. Apakah hal ini jadi sorotan dalam bahasan masalah sistem demokrasi? Tidak.
  • Permainan sepakbola profesional diharamkan sebagian ulama karena jadwalnya bertabrakan dengan waktu shalat. Apakah hal ini juga jadi sorotan dalam bahasan masalah sistem demokrasi? Tidak.

Walhasil, qiyas yang beliau lakukan ini adalah qiyas yang rusak (qiyas fasid) karena merupakan qiyas ma’al fariq, meng-qiyas-kan dua hal yang tidak bisa saling di-qiyas-kan. Atau dalam bahasa kita, qiyas yang nggak nyambung. Ibnu Qayyim Al Jauziyyah pernah berkata:

 
أكثر ضلال الناس إنما هو بسبب القياس الفاسد
 

“Kebanyakan penyimpangan yang terjadi ditengah manusia itu disebabkan oleh qiyas yang rusak” (Syarh Masa-il Jahiliyyah Li Syaikh Shalih Fauzan, 80)

 

Kesalahan 5 : Menganggap bahwa jika menyatakan bahwa sistem demokrasi itu kufur, berarti menganggap pemerintah Indonesia kafir

Mungkin penulis dan kelompoknya adalah ‘korban’ dari orang-orang yang gemar mengkafirkan pemerintah dan partai-partai politik. Sejarah mengatakan bahwa banyak penguasa kamu Muslimin di zaman dahulu yang zhalim, tidak mengindahkan hukum Islam, bahkan sampai kepada perbuatan kekufuran. Namun para ulama tidak bermudah-mudah dalam vonis kafir. Coba baca artikel ini dan ini.

Dalam ranah fiqih, hukum mengenai sistem demokrasi, hukum menaati UU dari pemerintah demokrasi,  hukum bekerja menjadi pegawai pemerintah demokrasi,  ini semua masing-masing berbeda pembahasannya. Tidak bisa di gebyah-uyah, kalau sistem demokrasi haram, maka otomatis haraaam semua.

 

Yang menggelitik, setelah penulis menukilkan alasan-alasan dari ulama yang mengharamkan permainan sepakbola dan juga membeberkan alasan-alasan (sekunder) dari haramnya sistem demokrasi, tanpa di bantah dan dikritik, ujug-ujug penulis malah membolehkan keduanya. Sudah tahu, koq tidak diamalkan? Hanya dengan 1 alasan saja: maslahah. Nampaknya menurut beliau 1 asalan ini saja bisa menggugurkan ribuan kontradiksi dan bisa melangkahi ribuan dalil. Apakah ini sejalan dengan tujuan beliau yang katanya ingin meninggikan izzul Islam? Oh,  jangan-jangan meninggikan izzul Islam itu dengan gangnam style dan harlem shake ?!?

 
 

Sumber : http://kangaswad.wordpress.com/2013/03/15/kalau-sistem-demokrasi-haram-sepakbola-juga/

***

Sekali lagi saya merenung, betapa banyak saat ini orang menulis asal tulis, orang mengkritik asal kritik dan orang bicara asal bicara. Ternyata kita memang orang-orang yang ‘bodoh’, dan tak punya kepintaran sedikitpun. Maka masihkah pantas kita berharap surgaNya?

Astaghfirullah hal adziim ya Allah… ampuni kami, karena sering kami merasa ‘orang yang paling’ benar. Sesungguhnya tanpa rahmat dan ampunan Mu, kami termasuk orang-orang yang merugi, serugi-ruginya!


Brain, Beauty, Behaviour

19958_101275836570536_100000643598927_35305_4314283_n

Brain

Bukanlah kepandaian itu menjawab soal dalam gulungan kertas atau pertanyaan seorang juri, tapi perempuan yang mampu berikhtiar dan bertawakal saat menjawab segala persoalan hidupnya.

Beauty

Bukanlah menunjukkan keanggunan dengan balutan kosmetik dan kain seadanya yang menunjukkan lekuk tubuh yang ‘aduhai’, tapi perempuan yang memancarkan keanggunan dengan kepedulian dan ketulusan yang tanpa pamrih.

Behaviour

Bukanlah perempuan dengan perilaku yang tampak sepanjang kontes, namun ketaatan yang utuh pada Sang Pencipta, sekalipun tak tampak oleh manusia.

Menjadi istri yang baik untuk suami dan Ibu yang baik untuk anak-anaknya, adalah ujian menuju brain, beauty dan behaviour  yang sesungguhnya. Menghadapi juri yang terbaik – Allah SWT.

Dunia, kadang membutakan perempuan pada pemilik sesungguhnya – Allah SWT.

*Duhai makhluk bernama perempuan, sampai kapan kau akan sadari, tubuhmu bukanlah barang yang layak untuk dieksploitasi ! Sayangilah milikmu yang paling berharga, yang seharusnya kau jaga dengan segala upaya !


Surat seorang Kristiani untuk Muslimah

gal585681763

Joanna Francis adalah seorang penulis dan wartawan asal AS. Dalam situs Crescent and the Cross, perempuan yang menganut agama Kristen itu menuliskan ungkapan hatinya tentang kekagumannya pada perempuan-perempuan Muslim di Libanon saat negara itu diserang oleh Israel dalam perang tahun 2006 lalu.

Apa yang ditulis Francis, meski ditujukan pada para Muslimah di Libanon, bisa menjadi cermin dan semangat bagi para Muslimah dimanapun untuk bangga akan identitasnya menjadi seorang perempuan Muslim, apalagi di tengah kehidupan modern dan derasnya pengaruh budaya Barat yang bisa melemahkan keyakinan dan keteguhan seorang Muslimah untuk tetap mengikuti cara-cara hidup yang diajarkan Islam.

Karena di luar sana, banyak kaum perempuan lain yang iri melihat kehidupan dan kepribadian para perempuan Muslim yang masih teguh memegang ajaran-ajaran agamanya. Inilah ungkapan kekaguman Francis sekaligus pesan yang disampaikannya untuk perempuan-perempuan Muslim dalam tulisannya bertajuk “Kepada Saudariku Para Muslimah”:

 

—————————————————————————————-

 

 

Selama serangan Israel ke Lebanon dan “perang melawan teror” Zionis, dunia Islam menjadi pusat perhatian di setiap rumah warga Amerika. Saya melihat pembunuhan, kematian dan kehancuran yang menimpa Lebanon, tapi saya juga melihat sesuatu yang lain: Saya melihat Anda. Saya tidak bisa menolong, tapi yang menjadi perhatian bahwa setiap perempuan yang saya lihat selalu menggendong bayi atau anak-anak disekelilingnya. Meskipun mereka berpakaian sederhana, kecantikan mereka tetap bersinar. Tapi bukan sekedar kecantikan lahiriah. Saya juga merasakan keanehan dalam diri saya: saya merasa iri. Saya merasa tidak senang atas kejadian mengerikan dan kejahatan perang yang rakyat Lebanon derita dan menjadi target oleh musuh kita bersama. Tapi saya hanya bisa mengagumi kekuatan, kecantikan, kesederhanaan, dan lebih dari itu, kebahagiaan kalian.

Ya, ini aneh, tapi itu yang saya rasakan bahwa meskipun dalam keadaan dibom, kalian tetap terlihat lebih bahagia dari pada kami, karena kalian menjalani kehidupan natural sebagai seorang wanita. Cara yang selalu wanita jalani sejak masa awal. Cara yang digunakan di Barat hingga tahun 60-an, ketika kami dibombardir oleh musuh yang sama. Hanya saja kami tidak dibom dengan perlengkapan perang sesungguhnya, tapi dengan tipu daya licik dan kerusakan moral.

 

Melalui Godaan

Mereka menyerang kami—orang-orang Amerika—dari Hollywood, bukan dari jet tempur atau tank buatan Amerika. Mereka juga akan “membom” kalian dengan cara ini, setelah mereka selesai membom prasarana negara kalian. Saya tidak ingin hal ini terjadi pada kalian. Kalian akan merasa rendah sebagaimana yang kami rasakan. Kalian bisa menghindar dari bom semacam ini kalau kalian mendengar dengan ramah kepada mereka yang sudah menderita dan menjadi korban serius dari pengaruh jahat musuh. Karena segala sesuatu yang kalian lihat dari Hollywood hanyalah kumpulan kebohongan, penyimpangan realita, rokok dan bayangan semu. Mereka menghadirkan masalah seks sebagai “hiburan yang aman” karena tujuan mereka adalah menghancurkan susunan moral masyarakat menjadi apa yang mereka arahkan ke program beracun. Saya meminta kepada kalian agar tidak meminum racun mereka. Tidak ada penangkal baginya sekali Anda mengkonsumsinya. Kalian mungkin bisa pulih setengah-setengah, tapi tidak akan pernah bisa sama seperti sebelumnya. Lebih baik menghindar dari racun sepenuhnya dari pada mencoba untuk sembuh dari penyebab kerusakan ini.

Mereka akan berusaha menggoda kalian dengan rangsangan film dan video musik; dengan licik menggambarkan kami, wanita Amerika, dengan bahagia dan senang, bangga berpakaian layaknya pelacur dan konten tanpa kekeluargaan. Banyak dari kami tidak bahagia, percayalah. Jutaan dari kami menjalani pengobatan anti-depresi, tidak menyukai pekerjaan, dan menangis semalaman karena lelaki yang mengatakan cinta kepada kami, kemudian dengan serakah menggunakan kami lalu pergi. Mereka ingin menghancurkan keluarga kalian dan meyakinkan kalian untuk punya sedikit anak. Mereka melakukan ini dengan menghadirkan pernikahan sebagai sebuah bentuk perbudakan, (tugas) keibuan sebagai kutukan, menjadi sederhana dan murni sebagai model kuno. Mereka ingin merendahkan kalian dan menghilangkan agama kalian. Mereka seperti ular yang menggoda Hawa dengan apel. Don’t bite!

Harga Diri

Saya melihat kalian sebagai mutiara berharga, emas murni, atau “mutiara bernilai tinggi” yang dibicarakan Injil (Matius 13: 45). Semua wanita adalah mutiara bernilai tinggi, tapi beberapa orang memperdaya kita ke dalam keraguan akan nilai kemurnian ini. Yesus (Nabi Isa as.) mengatakan: “Jangan kamu memberikan barang yang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu.” (Matius 7: 6) Mutiara-mutiara kita tak ternilai harganya, tapi musuh meyakinkan kita bahwa hal itu bernilai rendah. Tapi percayalah; tidak ada pengganti yang dapat memandang ke dalam cermin dan melihat kesucian, kemurnian dan rasa harga diri yang ada pada kalian.

Mode atau fashion yang datang dari para penjahit Barat dirancang agar kalian yakin bahwa aset tak ternilai milik kalian adalah seksualitas. Tapi keindahan busana dan hijab kalian sesungguhnya lebih menarik dibandingkan mode Barat manapun, karena pakaian itu menyelubungi kalian dalam misteri dan menunjukkan harga diri serta kepercayaan. Seksualitas seorang wanita harus dijaga dari mata-mata yang tak layak, karena hal itu seharusnya menjadi hadiah bagi lelaki yang benar-benar mencintai dan menghormati untuk menikahi Anda.

Aset tak ternilai milik kalian adalah inner-beauty, kemurnian, dan segala hal yang membuat kalian apa adanya. Tapi saya melihat beberapa wanita Muslim mendorong batasan itu dan mencoba menjadi kebarat-baratan sebisa mungkin, meskipun tetap menggunakan kerudung (dengan memperlihatkan sebagian rambut mereka). Mengapa meniru wanita yang sudah menyesal, atau akan menyesal, karena kehilangan kebaikannya? Tidak ada pengganti atas kehilangan hal tersebut. Kalian adalah permata yang sempurna. Jangan biarkan mereka menipu kalian dengan menjadi berlian palsu. Karena segala hal yang kalian lihat di majalah mode dan televisi Barat adalah kebohongan. Itu adalah jebakan setan. It is fool’s gold.

 

Hati Seorang Wanita

Saya akan beri tahu kalian sebuah rahasia kecil, sekiranya kalian ingin tahu: seks sebelum menikah tidaklah “sehebat” yang kalian kira. Kita memberikan tubuh kita kepada lelaki yang kita cintai, yakin bahwa itu adalah cara agar mereka mencintai dan menikahi kita. Sebagaimana yang kita lihat di televisi belakangan ini. Tapi tanpa jaminan pernikahan dan kepastian pengetahuan bahwa ia akan bersama dengan kita, ini bukanlah hal yang menyenangkan! Inilah ironinya. Ini adalah hal yang sia-sia. Hanya akan meninggalkan air mata pada kalian.

Berbicara sebagai seorang wanita kepada wanita lain; saya percaya bahwa kalian sudah mengerti. Karena hanya seorang wanita yang benar-benar mengerti apa yang ada di hati wanita lain. Kita benar-benar sama. Ras kita, keyakinan, atau kebangsaan kita bukanlah persoalan. Hati seorang wanita sama di mana pun mereka berada. We love. Itu hal terbaik yang kita lakukan. Kita memelihara keluarga kita dan memberikan kenyamanan dan kekuatan kepada lelaki yang kita cintai.

Tapi kami wanita Amerika telah dibodohi untuk percaya bahwa kita lebih bahagia dengan berkarier, rumah sendiri untuk hidup sendiri, dan kebebasan memberikan cinta kepada siapapun yang kami pilih. Itu bukanlah kebebasan, dan itu bukanlah cinta. Jangan menerima sesuatu yang penuh kekurangan. Itu tidaklah berharga. Kalian tidak akan menyukainya dan bahkan setelah itu kalian tidak akan menyukai diri kalian sendiri. Lalu dia akan pergi meninggalkan kalian.

Pengorbanan

Sin never pays. It always cheats you. Meskipun saya memperoleh kembali kehormatan, tetap saja tidak ada gantinya. Kami wanita di Barat telah didoktrin ke dalam pemikiran bahwa kalian, wanita Muslim, tertindas. Tapi sejatinya, kamilah yang sedang tertindas; diperbudak oleh mode yang merendahkan kami, terobsesi dengan berat badan, mengharap cinta dari pria yang tidak menginginkan kami bangkit. Jauh dalam diri, kami tahu bahwa kami telah ditipu. Kami dengan diam-diam mengagumi dan iri pada kalian, meski sebagian dari kami tidak akan mengakui hal ini.

Please, jangan remehkan kami atau berpikir bahwa kami menyukai hal-hal seperti ini. Ini semua bukan kesalahan kami. Banyak dari kami tidak memiliki ayah yang menjaga kami sewaktu kami muda karena keluarga kami telah berantakan. Kalian tahu siapa dibalik semua rencana ini. Don’t be fooled, my sisters. Jangan biarkan mereka merampas kalian. Stay innocent and pure. Kami wanita Kristiani butuh untuk melihat bagaimana hidup selayaknya seorang wanita. Kami butuh kalian untuk menyiapkan sebuah teladan bagi kami, karena kami telah kehilangan kesempatan. Jagalah kemurnian kalian. Remember: you can’t put the toothpaste back in the tube. Jadi, jagalah “pasta gigi” kalian dengan baik!

Saya harap kalian menerima pesan ini dalam semangat persahabatan, rasa hormat, dan kebanggaan. Dari saudari Kristiani kalian—with love.

[Joanna Francis; Penulis, Jurnalis USA]

Sumber : notes facebook disini


Ilmu sebelum Bicara!

muslimah

Beberapa waktu yang lalu saya membaca tulisan seseorang  yang bercerita tentang ke’risi’annya dengan penampilan para wanita yang seolah semakin berani memamerkan kemolekan tubuhnya (paha, dada, perut ataupun ketatnya pakaian mereka). Dan yang katanya semakin bikin dia ‘risi’ adalah kok para wanita itu seolah ‘menikmati’ dipelototi para lelaki dengan berbagai responnya, seolah semakin merasa ‘bangga’ dengan tubuh indahnya.

Saya sendiri juga merasakan seperti apa yang dirasakan penulis tadi. “sangat-sangat risi!”. Bukan karena saya iri melihat mereka jauh lebih seksi, bukan! Buat apa, apa saya bisa menentukan lahir dengan tubuh seperti apa? Kalo tidak tercipta dengan bodi sexy apa iya saya harus menuntut Pencipta untuk membentuk tubuh seperti milik mereka? Atau saya harus menghabiskan uang di meja salon dan ahli kecantikan agar paling tidak sedikit bisa mendekati tubuh mereka? Buat saya, hidup terlalu berharga untuk dibuang dengan percuma!

Dan yang lebih membuat saya tidak habis pikir adalah pembelaan para aktivis feminis, seperti yang pernah ditampilkan protesnya di layar kaca atau beberapa media massa, salah satu contohnya seperti yang baru saja saya baca tentang berita demonstrasi para aktivis feminis yang menuntut kebebasan berpakaian sambil (maaf) ‘telanjang dada’ di depan masjid di Tunisia (sumber : eramuslim.com). Mereka pun dengan  lantangnya membela diri dengan mengatakan “Tubuh kami adalah hak kami” atau “Jangan salahkan rok kami yang mini, tapi otak kalian yang mini!” begitu protesnya. Sekilas, mereka bicara sok atas nama hak perempuan dengan begitu hebatnya, tapi saya melihatnya dengan sangat-sangat geli, mereka tidak sadar telah menguliti kebodohan mereka sendiri! Ya, mereka benar-benar bicara tanpa ilmu, dan tentu saja, tanpa iman! Saya termasuk bagian dari perempuan yang tidak akan pernah bersimpati dengan protes mereka, tapi saya justru ikut merasa dilecehkan, seolah-olah kami adalah para wanita yang memuja kemolekan fisik semata… seolah tak ada kelebihan yang bisa kami banggakan sebagai perempuan selain fisik semata… sangat, sangat dan sangat menyedihkan!

Konon mereka membela diri, bahwa tubuh mereka adalah bagian dari HAM, maka mau diperlakukan seperti apa itu hak mereka. Dengan jalan pikiran seperti itu, harusnya mereka tak perlu protes pada para lelaki ‘hidung belang’ yang dianggap ‘berotak mini’ tadi, karena otak adalah juga bagian tubuh, jadi mau berpikir apa, itu juga HAM bagi para lelaki. Lalu, mau dikemanakan tatanan hidup kita, jika setiap orang bebas sebebas-bebasnya memperlakukan hidupnya. Kalo sudah begitu, rasanya kok kita tak lebih baik dari kehidupan binatang. Maka benar kata Allah dalam kitabNya, bahwa orang yang tidak menggunakan akalnya untuk berpikir tentang kebenaran, matanya untuk melihat kebenaran, telinganya untuk mendengar kebenaran, dan hatinya untuk merasakan kebenaran, serta hidupnya untuk melaksanakan kebenaran, mereka laksana binatang ternak, bahkan lebih hina dari itu!

Saya wanita. Saya berharga. Tapi bukan harga yang semurah tawaran manusia. Harga kami, para wanita muslimah yang mampu menjaga izzahnya adalah setara harga yang dibayar Allah kelak, sesuai janjinya, harga yang tak terbeli oleh manusia, maka kami hanya akan mempercantik diri sesuai harga yang ditawarkan oleh pembeli terbaik, Allah azza wa jalla

Duhai para wanita, perbanyaklah Ilmu sebelum banyak Bicara!


Make It Fun, Its Yours!

ilmu

Buatlah segalanya jadi menyenangkan, maka hal itu akan menyenangkan. Pun dengan aktivitas menulis. Menulis bagi sebagian orang mungkin momok yang menakutkan, sehingga menganggap bahwa itu adalah kemampuan yang ‘tidak semua orang’ bisa. Tapi ada satu hal yang semestinya perlu disadari, bahwa apapun itu, jika sudah menjadi kebiasaan, maka yakinlah, tak akan ada kata ‘sulit’.

Bagi saya, menuliskan kembali adalah salah satu cara mereview sebuah hikmah, entah dari buku, entah dari pengalaman pribadi, entah dari pengalaman orang lain. Dan menulis itu sungguh menyenangkan!  Asal tidak ada hal yang membebanimu.  Ketika saya hanya mampu menulis dengan 10 kata, maka itu yang akan saya lakukan. Ketika saya menulis dengan gaya yang berbeda, maka itu pula yang akan saya lakukan. Dan ketika saya hanya mampu mereview tulisan orang lain, itu pula yang akan saya lakukan. Toh saya tidak sedang dikejar deadline sebagai penulis buku ataupun reporter, saya pun tidak punya ‘embel-embel’ harus posting setiap hari, atau ada yang mewajibkan saya hanya menulis topik tertentu.

Eit, tapi tunggu dulu. Ingat, saya tetap punya identitas. Yup, I am a moslem, so semua terikat dengan syariat, termasuk menulis. Jadi batasan tulisan tanpa hikmah dan manfaat, harus kita hindari. Lebih baik tak usah menulis, jika kita hanya mampu menulis kebohongan, plagiat, ataupun  maksiat. Naudzubillah…

Dulu, saya sangat menyukai membaca beberapa majalah cerpen, hingga pernah beberapa kali mencoba menulis cerpen seperti Helvi Tiana Rosa, Asma Nadia, Gola Gong dan yang lain. Pernah sekali waktu saya kirimkan, dan belum berhasil. Menyerah. Sepertinya cerpen belum menjadi ketertarikan saya. Saya pun pernah menulis biografi teman-teman sewaktu SMA, just fun, tapi itulah karya pertama saya, karena sambutan kawan-kawan sangat luar biasa, maka di bendel lah celotehan saya itu dalam sebuah karya biografi kelas.

Kuliah, saya sempat tidak lagi ‘menikmati’ aktivitas menulis, tapi sangat menikmati aktivitas ‘dakwah’ bersama teman-teman kampus. Mengisi kajian anak-anak SMP adalah awal pembelajaran saya. Keping-keping hikmah berhasil terekam dengan baik di kepala, sekalipun belum lagi saya tuangkan dalam coretan kata.

Selepas kuliah, dunia online mulai saya kenal. Berawal dari beberapa forum, akhirnya kebiasaan menulis pun terbangun lagi. Dan hampir setiap hari, ada tulisan yang saya share di forum, walaupun hanya komentar singkat. Setelah forum, saya pun mulai mengenal blog. Hingga akhirnya blog menjadi media online yang tidak saya tinggalkan.

Ya, saya menikmati menulis ‘personal’ seperti ini tanpa tuntutan apapun, selain tentang hikmah ‘kebenaran’ tentunya. Inilah saya, dan seperti inilah tulisan saya. Saya bukan Tere Liye, bukan Tasaro, bukan Andrea Hirata dan bukan penulis hebat lainnya. Karena saya bukan mereka, maka itulah yang menyenangkan. Jika toh ada ‘hikmah’ yang bisa diambil, saya pikir siapapun bisa melakukannya.

Keep writing frens. Make it Fun. Its Yours!


(Bukan) Lelaki

d0156ae5756c6577d2bd816d71b012e7

Dalam sebuah antrian panjang halte busway di sebuah kota besar. Panas dan terik. Saling berdesakan (mungkin) hal yang biasa. Diantara kerumunan tampaklah seorang kakek tua renta, terlihat begitu ringkihnya. Sepertinya masih cukup jauh untuk berada di barisan terdepan, dan tentu saja untuk bisa segera masuk dalam angkutan busway yang ditunggunya. Di depan dan belakangnya berjajar pula dalam antrian yang sama, sekawanan (bukan) lelaki gagah yang sepertinya para calon mahasiswa. (bukan) para lelaki yang tentu saja masih perkasa sekalipun harus mengantri berjam-jam lamanya. Namun anehnya, tak ada rasa risih dan peduli dengan seorang kakek tua dengan nafas yang tersendat, dan punggung yang membungkuk. Tak ada sedikitpun (dari sekian banyak lelaki perkasa) yang punya inisiatif mempersilakan sang kakek untuk mendahului. Dan apa yang terjadi, masyaAllah, justru umpatan dari mulut mereka yang diterima sang kakek, hanya karena sang kakek sempat terjatuh dan membuat sebagian dari mereka tergeser dari antrian. Umpatan yang tak seharusnya keluar dari mulut (bukan) seorang lelaki perkasa. Menyedihkan…

Dalam sebuah bus kota Solo-Semarang. Seorang ibu paruh baya dengan kehamilan jelang enam bulan. Berdiri di tengah karena penuhnya kursi penumpang, maklum hari libur. Penuh oleh siapa? (bukan) para lelaki perkasa yang sepertinya para pekerja dan mahasiswa. Mereka ada yang (pura-pura?) tertidur pulas, memainkan gadgetnya dengan memasang earphone, dan bercengkarama dengan perempuan muda disampingnya, entah istri entah pacar. (bukan) para lelaki itu tak ada satupun yang tertarik memberikan tempat duduknya untuk ibu hamil yang malang. Dan sang Ibu pun dengan rela berdiri hampir 2 jam perjalanan dari semarang menuju salatiga. Sepertinya (bukan) para lelaki perkasa tadi tak pernah berpikir terlahir dari rahim seorang Ibu. Menyedihkan…

Bukan seorang laki-laki, jika tak ada rasa peduli dan empati!


CANDLE IN THE STORM?

candle

Oleh : Iwan Januar

‘Lebih baik nyalakan sebatang lilin ketimbang hanya merutuki kegelapan’. Daripada terus menerus melaknati kebobrokan kapitalisme dan demokrasi, lebih baik melakukan perbaikan-perbaikan kecil demi kemaslahatan. Tapi bisakah lilin terus menyala di tengah badai?

Tulisan saya soal Eliyas dan Ibas mengundang sedikit kegaduhan di jejaring sosial. Ada yang keberatan dengan beberapa konten tulisan tersebut. Sebagian teman-teman pembaca merasa tulisan itu terlalu ‘kejam’ terhadap demokrasi dan dianggap terlalu ‘membabi buta’ menghantam demokrasi.

Bagaimanapun juga ada yang masih ada yang menaruh harapan bahwa dalam demokrasi ada seberkas cahaya. Sebagian lagi berpikir bahwa ada yang masih bisa dilakukan dalam keadaan sekarang ketimbang sekedar merutuki demokrasi. Better light a candle than curse the dark!

Ya, ungkapan lilin dan kegelapan memang sering dilagukan untuk mengingatkan kita semua bahwa jangan berpikir all or nothing. Semua atau tidak sama sekali. Ada perbaikan parsial yang bisa dilakukan dalam sebuah sistem yang buruk.

Kita masih bisa menolong pasien yang miskin dengan membantu biaya mereka, misalnya. Atau membantu memberikan beasiswa bagi siswa yang tak mampu, menggerakkan remaja untuk melakukan berbagai kegiatan positif. Tidak melulu menyalahkan sistem lalu mengandai-andai bahwa bila sistem ini dihancurkan dan diganti dengan yang lebih baik, maka semua persoalan itu tidak akan ada. Sehingga kita tidak melakukan apapun dengan hal yang semestinya bisa dilakukan.

Dalam beberapa hal pemikiran ‘lilin dan kegelapan’ mengandung kebenaran. Sebagai muslim tidak pantas kita berdiam diri melihat tetangga yang kelaparan, atau hanya memberikan taushiyah kepada agar sabar dan menjelaskan keindahan hidup seandainya Islam dan khilafah ditegakkan. Tentu saja itu sikap yang tidak benar, karena Rasulullah saw. bersabda:

ما آمن بي من بات شبعان وجاره جائع إلى جنبه وهو يعلم به

“Tidak beriman kepadaku siapa saja yang tidur kekenyangan sedangkan tetangganya kelaparan di sebelahnya sedangkan dia mengetahuinya.”(HR. Thabraniy dan al-Bazzar).

Membantu hajat hidup sesama umat manusia – tidak hanya muslim – tidak perlu menunggu khilafah berdiri. Dalam keadaan apapun kita diperintahkan untuk melakukannya.

الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يُسْلِمُهُ مَنْ كَانَ فِى حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللَّهُ فِى حَاجَتِهِ وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللَّهُ عَنْهُ بِهَا كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Seorang muslim adalah saudara sesama muslim, tidak menzhaliminya dan tidak menyerahkannya kepada musuh, siapa yang membantu kebutuhan saudaranya, maka Allah akan mencukupi kebutuhannya, dan siapa saja yang melepaskan beban dari seorang muslim maka Allah akan melepaskannya dari beban di Hari Kiamat, dan siapa yang menutupi aib saudaranya niscaya Allah akan menutupi aibnya di Hari Kiamat.”(HR. Muslim).

Dalam sejarah perjuangan dakwah Nabi saw. kita pun membaca kedermawanan Abu Bakar ash-Shiddiq membebaskan para budak yang beriman – termasuk Bilal – dari para majikan mereka yang musyrik. Sehingga beliau digelari ‘Atiq – sang pembebas – dan dipuji Allah dalam surat al-Layl ayat 17-21. Beliau melakukan itu ketika dakwah masih berada di fase Mekkah di mana Daulah Islamiyyah pertama belum berdiri.

Tidak perlu menunggu khilafah untuk berbuat kebajikan. Karena memang banyak perintah Allah yang bisa dan wajib kita kerjakan secara individual. Menolong orang sakit, bersedekah kepada kaum fakir, memberikan pekerjaan kepada yang menganggur, dsb. itu adalah gambaran bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan menyeluruh. Ada bagian dari ajarannya yang menyangkut hubungan antarindividu yang tidak terikat dengan institusi pemerintahan atau lembaga apapun. Bila itu yang dimaksud sebagai ‘candle in the dark’, maka saya setuju. Seorang muslim yang memperjuangkan khilafah dan syariat bukanlah seorang pelaku escaping. Melarikan diri semua persoalan kepada khilafah. Dia akan turun mengerjakan kewajibannya sebagai individu muslim di manapun dan kapanpun.

Tapi bila kemudian ‘candle in the dark’ menjadi solusi bagi banyak – tidak usah seluruhnya – persoalan umat, maka kita sudah jatuh pada simplikasi masalah. Terlalu menyederhanakan persoalan umat. Ambillah contoh persoalan umat seperti pelayanan kesehatan yang buruk bagi warga miskin tidak begitu saja tuntas dengan bantuan infak sedekah. Karena persoalannya bukan sekedar kemiskinan, tapi karena kebijakan makro kesehatan yang memang buruk. Misalnya mengapa pemerintah mengalokasikan dana kesehatan dalam APBN dalam jumlah minim? Rata-rata hanya 2 % setiap tahun? Akibatnya banyak rumah sakit pemerintah yang terbatas ruang perawatannya, jumlah tenaga medisnya dan peralatan medisnya. Ini juga mengakibatkan sejumlah dokter berpraktek di banyak tempat, dan terkadang mendahulukan tempat prakteknya ketimbang sebagai dokter pemerintah.

Kita mungkin bisa berpatungan mengongkosi tetangga kita yang miskin untuk berobat, tapi bisakah kita berpatungan agar rumah sakit menambah jumlah ruang rawat inap, jumlah dokter dan peralatan medis? Bisakah kita berpatungan agar obat-obatan dapat dibeli semua warga miskin.

Kita bisa berpatungan menolong warga yang kesulitan mendapatkan akses PAM ke rumahnya, tapi bisakah kita membangun sendiri saluran air bersih bagi dia, juga bagi orang miskin lainnya?

Kita bisa memberi beasiswa bagi satu atau mungkin sepuluh siswa miskin agar mereka bisa bersekolah. Tapi bisakah kita berpatungan membangun berpuluh-puluh sekolah yang berkualitas lengkap dengan gurunya yang berkualitas, dan semuanya free, tanpa perlu membayar ini dan itu?

Lilin adalah lilin. Ia bisa menyala dan menerangi tapi dalam ruang lingkup yang amat kecil. Durasi nyalanya juga terbatas. Begitupula kekuatan kita sebagai individu dalam masyarakat juga amat terbatas untuk menghadapi persoalan makro masyarakat. kalaupun ada yang bisa diselesaikan itu hanyalah persoalan sub-sub-sub-mikro-nya.

Barangkali ada yang bercanda; kalau semua orang menyalakan lilin nanti kan jadi terang benderang semua. Hehehehe. Kenyataannya tidak semua orang memiliki lilin. Banyak orang terbelit dengan persoalannya masing-masing. Lagipula yang tengah dihadapi oleh umat bukan kegelapan biasa, tapi kegelapan yang diisi dengan badai. Maka lilin-lilin yang akan dinyalakan akan cepat padam sebelum terangnya dan hangatnya dirasakan oleh banyak orang.

Kita menghadapi persoalan yang tidak muncul dari internal umat, tapi juga menghadap ghazwul fikri, imperialisme di bidang politik , ekonomi, militer, pertanian, kesehatan, dll. Barat dengan skenario perdagangan bebasnya bisa menguasai pasar-pasar negara dunia ketiga, menghancurkan industri dan pertanian lokal tanpa pembelaan dari pemerintah yang bersangkutan. Lihat saja petani tebu, peternak sapi, petani buah yang menjerit karena pasar sudah dibanjiri oleh barang-barang impor yang lebih murah dan mutu lebih bagus. Sedangkan industri lokal dan petani lokal minim mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Inilah badai. Bukan sekedar kegelapan. Maka sudah saatnya semua komponen umat berpikir syar’iy dan logis-politis. Persoalan yang kita hadapi adalah persoalan makro yang membutuhkan solusi menyeluruh bukan parsial semata. Sangat disayangkan bila ada kalangan yang sudah yakin dengan jawaban makro ini lalu malah menggeserkan orientasi geraknya dan pikirannya pada sekedar menyalakan lilin di tengah kegelapan. Padahal ia tahu yang dihadapi adalah badai yang bergemuruh. Solusi yang harusnya dilakukan adalah membangun benteng pertahanan yang kuat sehingga dapat menahan serbuan badai, melindungi umat secara total sehingga barulah kita dapat memberikan cahaya dan kehangatan di dalamnya. Cahaya yang diberikan juga bukan sekedar lilin, tapi cahaya yang berasal dari pembangkit listrik yang terbesar dan tercanggih yang pernah ada di muka bumi.

***

catatan : amal jama’iy (kelompok) berbeda dengan amal individu. Jika ada tetangga yang kelaparan, dan kita mampu, maka itu adalah kewajiban kita, sebagai individu, tanpa perlu dipublikasikan. Jika ada kawan yang butuh bantuan berobat dan kita mampu, maka kita wajib membantu, tanpa perlu digembar-gemborkan. Namun merubah ‘badai kemaksiatan struktural ala sistem kapitalisme’, ini adalah kewajiban kita semua sebagai kaum muslimin. Entah miskin, entah kaya, entah laki-laki, entah perempuan, entah direktur, entah pemulung, entah guru entah murid, entah kepala negara entah rakyat jelata. Maka kita perlu ‘berjamaah’ memperjuangkannya, dengan terus-menerus menyampaikan kebenaran, melalui perang pemikiran (as shiro’ul fikr) dan perjuangan politik (kifahus siyasi), dan inilah yang akan terus digembar-gemborkan oleh jamaah yang memperjuangkannya, tanpa mengabaikan aktivitas masing-masing ‘individunya’. Karena tentu saja, ada banyak kemaksiatan struktural yang tak akan pernah selesai hanya dengan ‘aktivitas individu’ yang parsial. Wallahualam


Be Responsible!

ilmu

Saya sadar, sebagai manusia kadang tak luput dari kekhilafan dan kekurangan. Pun dengan aktivitas menulis di dunia maya, walaupun sekedar copy paste dari artikel orang lain. Namun, ketika landasan yang kita bangun adalah menyampaikan kebenaran, maka kita pun harus terus mawas diri, karena kadangkala, penafsiran orang ketika membaca tulisan kita terbelok pada pemahaman yang ‘kurang pas’, kalo tidak dikatakan keluar jalur dari yang diharapkan.

Pernahkah kita berpikir bahwa, satu saja tulisan atau copy paste artikel kita publish di blog/sosial media, bisa membawa ratusan orang membaca dan menshare artikel kita di banyak tempat, dan dampaknya bisa membawa ratusan orang tadi pada bentuk multitafsir yang biasanya karena ‘sumber bacaan’ lain yang kurang, atau ‘membaca secara sekilas’ saja.

Ya, saya pernah menghapus beberapa artikel copy paste di blog ini, karena walaupun sebenarnya ada manfaat yang bisa diambil, namun ternyata hal tersebut justru memicu perdebatan di dunia maya yang tak berujung. Dan beberapa artikel tersebut saya sadari masih ada kekurangan dibalik beberapa analisanya, sehingga akan lebih bijak jika saya menghapusnya  sebagai bentuk kecil tanggungjawab pribadi, karena telah menambah daftar panjang ‘polemik’ di dunia maya. Sekalipun mungkin ‘telanjur’ telah menjadi perantara terbukanya mata rantai ‘perdebatan sengit’ di kancah dunia online, yang pastinya berdampak pada kehidupan offliner. Contoh tersebut salah satunya pada artikel ‘Be a Smart Patient’  yang akhirnya pada akhir artikel saya tambahkan pernyataan klarifikasi dari penulis aslinya.

Saya pikir, membaca, menulis, dan mendengar memang tak akan pernah bisa terpisahkan. Tanpa membaca, saya yakin tulisan kita hanya akan menjadi ‘kosong’ tanpa ilmu. Tanpa menulis, saya yakin apa yang kita pahami mungkin hanya mampu menjangkau pada radius sekian meter jauhnya, kalau tidak bisa dikatakan hanya diri kita yang tahu. Dan yang pasti, tanpa mendengar, apapun yang kita baca dan kita tulis tak akan bisa ‘bermetamorpose’ menjadi lebih baik lagi.

Siapapun kita, entah penulis, entah pembaca, entah  ‘penshare’, entah ‘pengkritik’, c’mon guys!… be responsible! Karena apapun akan kita pertanggungjawabkan di hadapanNya kelak…

Al Haqqu mirrabbikum, falaa takunnana minal mumtariin….


Cantikmu….

19958_101275836570536_100000643598927_35305_4314283_n

Buat saya, cantik bukanlah statemen ala kapitalis. Langsing, wajah menarik, berkulit putih, memikat, seksi, atau penampilan ala seleb dan peragawati yang menjadi bagian tak terpisahkan dari aktivitas wanita ala kapitalis. Wanita hanya akan menjadi makhluk ‘terkekang’ karena hidupnya hanya akan habis untuk mengurusi ‘tubuhnya’. Apakah saya iri? Karena mungkin saya tidak secantik seleb?

Tentu saja tidak. Saya hanya ingin berbagi betapa bahagianya saya ketika saya begitu dihormati karena ‘apa yang ada di kepala’, bukan ‘apa yang tampak oleh mata’ semata.

Dulu, masa-masa remaja, saya pernah mengalami syndrom yang mungkin saat ini banyak menjangkiti banyak remaja yang kehilangan jati diri. Suka dengan seseorang yang bagaikan pangeran, dan merasa tidak pede, karena diri ini tidak secantik mereka yang telah terlahir dengan begitu sempurna. Apa yang terjadi? Ya, saya hampir terseret pada arus generasi ‘galau’, waktu habis hanya untuk hal sepele dan tidak pernah tahu prioritas hidup sebagai seorang manusia, terlebih seorang muslimah.

Tapi saat itu, mungkin saya begitu beruntung, karena tidak sampai terseret pada aktivitas pacaran yang tidak ada manfaat kebaikannya sedikitpun. Saya juga termasuk perempuan yang beruntung, karena begitu mampu menjaga perasaan, begitu mampu menghindar dari bebasnya pergaulan dan begitu perkasa ketika mengatakan ‘TIDAK’ pada lelaki yang coba mendekati. Entah apa yang terjadi, saya sendiri pun begitu ngeri membayangkan, jika tubuh yang masih suci ini harus ternoda oleh sentuhan laki-laki yang belum halal, walau hanya genggaman jemari ataupun rangkulan tangan. Ya, saya begitu menyadari, betapa saya ‘benar-benar berharga’, bahkan hingga detik ini.

Semakin hari, saya semakin memahami, begitu banyak perempuan yang terperdaya oleh kata ’cantik’, hingga terseret pada aktivitas yang hanya ‘mengeksploitasi tubuh’ yang berujung pada terkikisnya sematan ‘mulia’ pada diri mereka.

Saya merasa ‘cantik’, ketika kehadiran saya lebih dihargai sebagai seorang yang ‘mulia’ dibandingkan sekedar simbol ‘cantik’ semata. Di keluarga, saya merasa cantik ketika kehadiran saya bisa membawa mereka menuju kebaikan. Di antara sahabat dan teman-teman, saya merasa cantik ketika kehadiran saya membuka mata mereka akan kebenaran. Di tengah masyarakat, saya merasa cantik ketika kehadiran saya mampu membuka tabir kehidupan yang hakiki.

Karena pasti, mereka membutuhkan melihat kehadiranku, bukan sekedar karena wajah dan tubuhku, tapi karena ilmu dan jiwaku….

Kau tahu apa yang berbeda? Ketika kau meninggalkan mereka, kehadiranmu bagaikan jejak yang tak terhapus… membekas hingga diujung senja…

Karena cantikmu, adalah ilmu mu… kemuliaanmu… sadari itu!


2013: The Year of Victory?

30594_401994260657_175817530657_4817349_1409506_n

Tahun 2012 telah berlalu. Banyak peristiwa telah terjadi di sepanjang tahun itu. Beberapa di antara yang cukup menonjol adalah soal korupsi yang makin menjadi, kontroversi pengelolaan blok migas, demo buruh menuntut kenaikan upah, kenakalan kriminal remaja, konflik sosial yang terjadi dimana-mana, penghinaan Nabi saw. yang terus terjadi, juga tentang dinamika umat di dalam dan luar negeri, khususnya di kawasan Timur Tengah, lebih khusus lagi di Suriah.

++++

Dari sejumlah negara Timur Tengah yang disulut gelombang revolusi Arab Spring, Suriah boleh disebut yang paling istimewa. Inilah revolusi yang paling alot. Berlangsung sejak Maret 2011, dengan korban tewas lebih dari 40.000, tetapi hingga kini revolusi di negeri para nabi itu belum ada tanda-tanda akan segera berhenti. Yang membuat revolusi Suriah ini istimewa adalah, kali inilah revolusi digerakkan secara nyata oleh kelompok Islam yang secara tegas ingin menegakkan Daulah  Khilafah. Maka dari itu, selain karena dukungan Cina, Rusia dan Iran, tidak segera tumbangnya rezim Bashar Assad juga disebabkan bimbangnya Barat terhadap masa depan Suriah pasca Assad mengingat di sana ada kelompok oposisi yang punya arah sendiri.

AS sendiri hingga kini belum mendapatkan pengganti yang mantap untuk rezim Assad. Menguatnya pasukan perlawanan dari kelompok opisisi independen dan terus melemahnya Bashar Assad jelas sangat mengkhawatirkan AS. AS tahu, pasukan perlawanan rakyat Suriah di lapangan didominasi kelompok Mujahidin yang menyerukan penegakan syariah dan Khilafah serta menolak sistem demokrasi yang ditawarkan AS.

Bukan hanya AS, sekutu terdekat AS di kawasan Timur Tengah, Israel, juga takut bukan main setelah melihat gabungan kelompok Mujahidin Suriah yang berperang langsung melawan rezim bengis Assad menolak Koalisi Nasional untuk Revolusi Suriah dan Pasukan Oposisi, aliansi baru pro Barat yang dibentuk pada pertemuan di Qatar pada 11 November 2012 lalu. Serangan brutal Israel ke Jalur Gaza pada awal November lalu tidak bisa dilepaskan dari ketakutan negara Zionis itu terhadap perkembangan terkini di Suriah. Menguatnya Mujahidin Suriah dengan tuntutan penegakan  Khilafah jelas mengancam eksistensi Zionis ke depan.

Pada awalnya, AS sebenarnya enggan mendukung perlawanan rakyat Suriah. Negara ini  memilih mendorong Bashar Assad untuk melakukan reformasi demokratis di Suriah. Namun, upaya ini gagal. Bashar Assad justru semakin beringas. Hal ini memicu perlawanan lebih sengit dari rakyatnya sendiri. Karena itu, tidak ada pilihan lain bagi AS selain mendukung revolusi Suriah guna menumbangkan rezim Assad. Namun, AS juga tidak ingin kehilangan kontrol atas Suriah pasca Assad. Berbagai upaya lalu dicoba oleh AS untuk membajak perlawanan rakyat Suriah agar tetap dalam kerangka kepentingan AS.

Melalui PBB, misalnya, AS mencoba mengendalikan perubahan di Suriah dengan menunjuk Koffi Anan, mantan Sekjen PBB, sebagai utusan PBB dan Liga Arab. Lagi-lagi upaya ini pun gagal. Semakin menguatnya perlawanan rakyat Suriah yang tidak lagi ingin berkompromi dengan rezim bengis Suriah membuat Anan terpaksa mengundurkan diri.

Gagal dengan Koffi Anan, AS berupaya menggunakan agen-agen regionalnya untuk mendukung exit strategy melalui model Yaman. Di Yaman, Barat mempersiapkan orang dari lingkaran dalam Presiden Yaman, yakni Wapres Abd ar-Rab Mansur Hadi, untuk menjadi pejabat presiden baru. Transisi ini dibantu oleh negara-negara sekitarnya seperti Saudi Arabia. Setelah itu diadakan Pemilu yang dikesankan demokratis pada Februari 2012 yang dimenangkan secara telak oleh Hadi.

Melalui Menteri luar negeri Turki Ahmed Davutoglu, AS  datang dengan membawa usulan model Yaman, agar Wakil Presiden Suriah Farouk as-Sharaa menggantikan Presiden Bashar sebagai kepala pemerintahan transisi untuk menghentikan revolusi yang terjadi di Suriah. AS lalu membentuk Dewan Nasional Suriah (NSC) dengan mendudukkan orang-orangnya di sana dari berbagai kalangan. Namun, NSC bekerja tidak sesuai harapan AS. NSC gagal menjadi wakil rakyat Suriah.

Setelah itu, AS  berupaya mengefektifkan kubu oposisi agar tetap di bawah kontrolnya. AS mendorong pertemuan kubu oposisi Suriah dalam sebuah konferensi besar di Ibukota Qatar, Doha, pada 11 November lalu guna membicarakan upaya menyatukan front oposisi yang selama ini terpecah-belah. Dalam pertemuan ini AS berupaya mengarahkan Riad Seif yang di-blow up sebagai tokoh oposisi terkemuka agar menjadi kepala dari pemerintahan di pengasingan yang nantinya akan dinamai Inisiatif Nasional Suriah. Cara ini pun gagal.

Jalan lainnya adalah mengisolasi para Mujahidin. Caranya dengan menuduh para Mujahidin sebagai kelompok teroris dan mengaitkannya  dengan al-Qaidah. AS juga berupaya melakukan kriminalisasi perjuangan para Mujahidin dengan bukti video yang diklaim merupakan  kejahatan para Mujahidin. Cara ini juga tidak efektif, bahkan memicu antipati terhadap AS di dalam negeri Suriah.

Selain itu, AS menggunakan tokoh-tokoh Muslim yang dikenal moderat sebagai alat politik. Barat senang ketika Ahmad Muadz al-Khatib dengan latar belakang Ikhwanul Muslimun terpilih menjadi presiden Koalisi Nasional untuk Pasukan Oposisi dan Revolusi Suriah. Hal ini sesuai dengan keinginan Presiden AS Barack Obama yang ingin memastikan komitmen kelompok oposisi itu dalam menjalankan demokratisasi di Suriah, dan membawa Suriah yang inklusif dan moderat menurut versi AS.

++++

Akhirnya, memasuki tahun baru ini kita harus tetap memiliki keyakinan kokoh, bahwa setiap penerapan sistem sekular—yakni sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Sang Pencipta manusia, kehidupan dan alam semesta Yang Mahatahu—di berbagai bidang kehidupan pasti akan menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi umat manusia. Penguasaan sumberdaya kekayaan alam negeri ini oleh kekuatan asing, kelamnya persoalan perburuhan, maraknya korupsi di seluruh sendi di seantero negeri, konflik sosial yang tiada henti, kenakalan dan kriminalitas di kalangan remaja yang tumbuh di mana-mana adalah bukti nyata dari kerusakan dan kerugian itu. Ditambah dengan kezaliman yang diderita umat di berbagai negara, penghinaan terhadap Nabi saw.  yang terus terjadi serta sulitnya perubahan ke arah Islam dilakukan oleh karena dihambat oleh negara Barat yang tidak ingin kehilangan kendali kontrol atas wilayah-wilayah di Dunia Islam, semestinya menyadarkan kita semua untuk bersegera kembali ke jalan yang benar, yakni jalan yang diridhai oleh Allah SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem dan ideologi kufur, terutama Kapitalisme yang nyata-nyata sangat merusak dan merugikan umat manusia.

Kita juga harus membuka mata lebar-lebar, bahwa demokrasi yang dalam teorinya merupakan sistem yang memberikan ruang kepada kehendak rakyat, dalam kenyataannya negara-negara Barat sendiri tidak pernah benar-benar membiarkan rakyat di negeri-negeri Muslim leluasa membawa negaranya ke arah Islam. Mereka selalu berusaha agar sistem yang diterapkan tetaplah sistem sekular meski dibolehkan dengan selubung Islam, serta penguasanya tetaplah mereka yang mau berkompromi dengan kepentingan Barat. Itulah yang Barat lakukan di negeri-negeri Muslim yang saat ini tengah bergolak seperti Suriah, begitu juga Mesir dan negara-negara lain di kawasan Timur Tengah. Kenyataan ini juga  semestinya memberikan peringatan kepada umat Islam untuk terus waspada dan tidak mudah terkooptasi oleh kepentingan negara penjajah.

Nyatalah Kapitalisme kian rapuh. Demokrasi pun kian terbukti kepalsuannya. Pertanyaan pentingnya, kemana umat akan menuju bila tidak pada Islam? Maka dari itu, perjuangan bagi tegaknya syariah dan Khilafah harus makin digencarkan. Dari sekian gelombang perjuangan umat mutakhir, kiranya dinamika yang kini tengah berlangsung di Suriah memberikan warna tersendiri. Di sana ada kekuatan signifikan, yang tidak bisa dipandang remeh, yang dengan tegas, tanpa tedeng aling-aling menyatakan kemana arah perjuangan tertuju, serta menyatakan penolakan terhadap campur tangan Barat atas masa depan Suriah.

Akankah Revolusi Suriah bakal menjadi jalan awal bagi kemenangan Islam? Insya Allah. Lihatlah, tak kurang Wakil Menteri Luar Negeri Mikhail Bogdanov, juga Sekretaris Jenderal NATO, Anders Fogh Rasmussen pun  menegaskan bahwa akhir rezim Assad hanyalah soal waktu. AS juga tampaknya melihat hal serupa. Tentu mereka tidak ingin terlambat. Karena itu, mereka bersiap. Guna menjaga hal yang tidak mereka inginkan, lebih 8000 pasukan AS telah disiagakan di perbatasan Suriah – Turki. Kapal induk AS juga telah merapat ke kawasan yang telah kini telah menjadi area pertempuran ideologi, bukan sekadar pertempuran militer. Mujahidin Suriah diberitakan semakin dekat merangsek masuk Damaskus, Ibukota Suriah.

Jadi, akankah 2013 ini menjadi The Year of Victory, saat Khilafah nanti tegak di Suriah? Semoga, ya Allah… [H.M. Ismail Yusanto]


Carilah Berkah, Bukan Pesta Meriah!

Terkadang, saya dibikin bingung dengan banyaknya pergeseran nilai-nilai kehidupan di tengah masyarakat kita saat mereka jauh dari penerapan syariah secara kaaffah. Yang pertama, saya dibikin bingung dengan ‘dalil’ selamatan kematian yang secara tradisi (yang entah itu diambil dari mana) telah mengakar kuat di tengah-tengah masyarakat, bahwa mereka menganggap dengan selamatan 3 hari, 7 hari, 40 hari hingga 1000 hari, maka seolah menjadi ‘jaminan’ akan keselamatan si ‘mayat’ di alam kubur dan kematiannya, hingga pernah mertua sedikit marah ketika suami menolak melakukan itu semua,

“Trus nanti kalo Ibu sama bapak gak ada siapa yang ngirim do’a ke alam kubur? Hawong kamu aja gak niat ngedoa’in orang lain, apalagi sama Ibu!” begitu ucapnya dengan nada agak tinggi.

“Bu, gak bikin acara selamatan itu karena Rasul gak pernah ngasi tuntunan, tapi gak berarti saya gak bakal ngasi doa, apa yo saya ngasi doa musti ngundang orang rame-rame, dan bagaimana mungkin to anakmu ini gak ngasi do’a, padahal kata Allah, orang mati itu semua amalnya putus kecuali tiga bu, amal jariyah, ilmu manfaat dan do’a anak sholeh, nah, harusnya 3 hal ini yang diupayakan sama si calon mayit, bukan mengandalkan selamatan berhari-hari yang udah mah mahal, gak ada jaminan sama Allah bakal diterima, enggih to” begitu kira-kira tanggapan suami, Ibu pun diam sambil sedikit gusar, lalu kutambahkan,

“Bu, kami sadar posisi kami sebagai anak-anak Ibu, dan kami akan berupaya menjadi anak-anak Ibu yang sholeh dimata Allah, agar do’a kami mendapat jaminan dikabulkan oleh Allah, tidak perlu nunggu selamatan yang mahal-mahal, insyaAllah setiap hari pun do’a kami juga untuk bapak dan Ibu”

Ya, orang-orang desa seperti Ibu, dan banyak lainnya, kadang cenderung memikirkan apa kata orang, bukan apa kata Allah… pun dengan sebuah perayaan pernikahan…

Kadang saya berpikir, sebuah pesta yang meriah dan sangat mahal, hidangan bertubi-tubi, menghadirkan penyanyi seksi, kadangkala mengabaikan sholat hanya karena make up, harapan begitu menumpuknya amplop sumbangan, tatacara adat yang kadang bahkan menyalahi syariat, dan lalu… ada embel-embel “mohon doa restu”… benar-benar ingin memohon do’a, atau sekedar menunjukkan pesta?

Dan iya, lagi-lagi standarnya adalah, bagaimana dilihat orang, bukan dilihat Allah…

Teringat sebuah pesan sahabat, “Keberkahan ada dalam kesederhanaan, kekhusyukan ada dalam ketenangan, dan keindahan ada dalam ketaatan…”

Dan benar, ketika saya melakoni resepnya dalam pernikahan dua tahun lalu, saya merasakan kebahagiaan yang menentramkan, sebuah keharuan yang dalam ketika kerabat, sahabat, dan tetangga menyalami satu per satu dengan doa yang bertubi-tubi… hingga make up sederhana ini harus luruh dengan butiran bening yang terus mengalir… haru…

Ya,untuk siapapun yang hendak menikah, jadikan mereka datang untuk memberikan do’a… bukan hendak sekedar ‘memberi sumbangan’ dan berpesta…


Berkarir, haruskah?

Tulisan ini adalah tanggapan atas beberapa respon tulisan saya sebelumnya, pun beberapa respon di FB sesaat setelah kata-kata Ibu Ainun Habibi dipost oleh salah seorang kawan. Banyak diantara ibu-ibu yang masih membela dirinya bahwa wanita karir tidak seburuk itu, bahwa mereka juga berjuang untuk keluarga, bahwa mereka juga memiliki keahlian yang bisa bermanfaat untuk orang lain, bahwa keadaan sekarang yang memaksa mereka sebagian merasa “WAJIB” terjun sebagai pekerja, dan respon sejenisnya.

Satu hal yang harus kita sepakati dalam membahas setiap permasalahan hidup adalah standar menilai yang sama, sehingga tak akan ada perang pendapat dari masing-masing kepala yang tak ada ujung pangkalnya. Ingat pembahasan RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi beberapa tahun lalu yang sulit menemui kata sepakat? Ya karena standar dalam menilai masih diserahkan ke kepala manusia semata, entah itu sebagai wakil rakyat, sebagai pekerja seni, sebagai pengusaha hiburan, dan profesi yang lainnya, maka definisi apa itu porno pun beragam bentuknya. Dan jangan harap akan menemui kesepakatan yang dikehendaki. Lalu apa seharusnya yang layak dijadikan standar?

Sebagai umat ISLAM, tentu hukum Allah dalam Al-Qur’an dan Sunnah RasulNya yang harus dijadikan standar. Maka jelas, apa definisi aurot yang boleh terlihat di depan umum atau tidak, baik laki-laki maupun perempuan. Dengan begitu, tak peduli ia pekerja seni, tak peduli ia pengusaha hiburan, tak peduli ia aktivis pejuang HAM perempuan, semua harus tunduk pada hukumNya, sang pencipta manusia, yang Maha Tahu apa yang paling terbaik bagi umatNya, siapapun mereka. Lalu bagaimana ISLAM menyikapi begitu banyaknya perempuan yang akhirnya berkiprah di ruang publik?

ISLAM telah mengatur dalam syariatnya, apa beban kewajiban laki-laki dan perempuan, karena Allah Maha Tahu apa sejatinya maksud penciptaan kedua jenis manusia itu, ada laki-laki dan ada perempuan. Allah telah menyampaikan bahwa beban mencari nafkah merupakan KEWAJIBAN laki-laki sebagai suami, bukan perempuan. Lalu apa kewajiban perempuan? Mereka memiliki kewajiban sebagai Ummu warobatul bayt, Ibu dan Pengatur Rumah Tangga. Lalu ketika keadaan memaksa wanita bekerja karena alasan ekonomi misalnya, apa lantas hukum itu akan berubah? Ingat! Hukum Allah sampai kapanpun tak akan pernah berubah! Yang WAJIB selamanya akan menjadi wajib kecuali ada indikator lain yang diterangkan dalam nash. Maka ketika syariat menerangkan bahwa beban kewajiban nafkah itu ada ditangan suami, maka bagaimana jika kondisi tertentu ia tak mampu? Sakit yang tak memungkinkan kerja, atau meninggal misalnya, bagaimana lantas si istri bisa memenuhi kebutuhan anaknya?

Dalam ISLAM ada mekanisme yang jelas, bagaimana sekalipun tidak bekerja, maka keluarga yang kehilangan peran suami/ayah tetap bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Yang pertama, kewajiban itu berpindah pada ahli warisnya atau kerabatnya yang mampu, dan mereka berdosa jika tidak melakukannya (QS. Al Baqarah : 233). Lalu bagaimana jika ahli waris dan kerabatnya tidak ada yang mampu menanggung nafkahnya? Maka hal tersebut menjadi kewajiban negara! Itulah urgensinya memperjuangkan agar syariah bisa diterapkan dalam bingkai negara, tentu saja untuk menjamin pelaksanaan hukum yang hanya mampu diterapkan jika ada negara! Silakan cari buku pendukung tentang mekanisme pengolaan kekayaan negara dalam sistem ISLAM hingga mampu menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya. Era kekhilafahan telah menunjukkan bukti yang jelas, bahwa sistem ISLAM adalah sistem yang paling manusiawi, karena memang diturunkan untuk mengatur manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, anak-anak dan orang tua, orang miskin dan orang kaya, lajang dan berkeluarga, ataupun yang sehat dan yang sakit. Namun, bagaimana jika dalam kondisi tertentu negara juga tidak mampu? Maka kewajiban itu berpindah ke tangan kaum muslimin yang mampu (QS. Adz Dzariat : 19).

Lalu bagaimana menyikapi dengan perempuan yang bekerja dengan alasan ingin mengaktualisasikan ilmunya? Dalam ISLAM hukum asal wanita bekerja MUBAH, bukan WAJIB ataupun HARAM. Namun, kemubahan itu bisa menjadi haram jika tidak memenuhi ketentuan syariat. Antara lain, jika pekerjaan itu melalaikan kewajiban utamanya sebagai Ibu dan pengatur rumah tangga, termasuk lalai dalam mengasuh anak-anaknya yang telah menjadi amanahnya, atau bekerja tanpa ridlo suaminya, maka pekerjaan itu harus ditinggalkan, karena yang mubah tidak boleh mengalahkan yang wajib. Dalam hal ini, ketentuan nash sudah jelas, bisa dicari ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menunjukkan kewajiban utama seorang perempuan, terlebih seorang istri dan seorang Ibu.

Jadi sampai kapanpun, hukum wanita bekerja tak pernah berubah menjadi WAJIB, dan yang perlu kita upayakan untuk menolong para perempuan yang akhirnya merasa “WAJIB” bekerja karena kondisi adalah, memperjuangkan agar syariat bisa ditegakkan, karena itu satu-satunya jalan menjamin maslahat, untuk setiap umat.

Ibu mengandung, itu hal biasa. Ibu meregang nyawa dikala melahirkan, menjadikannya istimewa. Ibu menyusui bayinya, memang sudah fitrahnya. Ibu mendidik putra-putrinya, menjadikannya mulia.

Namun….

Ibu mati-matian bekerja demi nafkah keluarga adalah sumber derita dan malapetaka! Tak percaya? Lihatlah di media, bagaimana wajah generasi kita, kebebasan dijadikan kiblat pergaulan, kehidupan hedonis dijadikan anutan, budaya permisiv dijadikan acuan, para idola layar kaca dijadikan pujaan, dan bagaimana materi dijadikan tujuan !

Wallahualam.


Ibu Sebenarnya

gal585681763

“Mengapa saya tidak bekerja? Bukankah saya dokter? Memang. Dan sangat mungkin saya bekerja waktu itu. Namun saya pikir: buat apa uang tambahan dan kepuasan batin yang barangkali cukup banyak itu jika akhirnya diberikan pada seorang perawat …pengasuh anak bergaji tinggi dengan resiko kami kehilangan kedekatan pada anak sendiri? Apa artinya tambahan uang dan kepuasan profesional jika akhirnya anak saya tidak dapat saya timang sendiri, saya bentuk pribadinya sendiri? Anak saya akan tidak memiliki ibu. Seimbangkah anak kehilangan ibu bapak, seimbangkah orang tua kehilangan anak, dengan uang dan kepuasan pribadi tambahan karena bekerja? Itulah sebabnya saya memutuskan menerima hidup pas-pasan. Bertahun- tahun kami bertiga hidup begitu,” [Ainun Habibie].

…..

Ketika menjadi Ibu, saya semakin terbayang mengapa Allah benar-benar mewajibkan seorang Ibu hanya fokus pada pendidikan anak dan tugas kerumahtanggaan. Karena benar, sebuah kekecewaan besar ketika seorang Ibu melewatkan sedetik saja perkembangan anaknya. Apalagi ketika ketrampilan si buah hati terbentuk bukan oleh penanganannya, tapi mungkin perhatian dari baby sitter atau siapapun yang lebih berperan mengasuhnya. Lalu, layakkah kita dipanggil Ibu olehnya?

Begitu terbayangnya kenyataan itu di benak saya, hingga sebelum menikah saya pernah menyampaikan keinginan untuk resign kepada atasan, tentu saja dengan alasan ingin lebih fokus pada keluarga, walaupun saat itu banyak yang menentang karena pekerjaan suami pun belum mapan betul. Waktu itu saya sampai dipanggil ke ruangan kepala balai beberapa kali, untuk mempertimbangkan keputusan saya, karena Balai dirasa masih membutuhkan peran saya, kalaupun mencari pengganti prosesnya akan lebih lama, padahal ada beberapa amanah penelitian saya yang sudah menunjukkan progress yang lebih baik, dan diminta untuk menyelesaikan dulu, disamping masih diserahi tugas sebagai penanggungjawab laboratorium kultur jaringan. Jika keluar secara tiba-tiba, terbayang begitu banyak amanah yang terbengkelai sepeninggal saya, dan beliau berharap saya menunda dulu setelah semua kondisi lebih stabil. Sebagai catatan, Balai saat itu berada pada kondisi pemulihan stabilitas, dan saya tahu ketika saya memutuskan untuk hengkang, maka akan banyak hal yang akan berimbas pada program-program yang sudah dijalankan, dan sebenarnya, saya juga tidak menginginkan hal itu terjadi. Waktu itu, saya hanya menjawab untuk mempertimbangkannya lebih dahulu.

Akhirnya, setelah berdiskusi dengan suami dan beberapa kawan, saya memutuskan untuk tetap bekerja sementara, ya, sementara sampai amanah yang ada ditangan saya tuntaskan. Namun, dengan beberapa syarat yang harus dipenuhi, yang saat itu saya sampaikan kepada atasan. Pertama, saya minta diijinkan membawa serta anak saya ke kantor, dengan catatan tentu tanpa melalaikan amanah pekerjaan saya. Kedua, saya minta untuk tidak ditugaskan keluar kota lagi (terlebih dalam rentang waktu lama), kalaupun terpaksanya iya, maka saya minta diijinkan membawa serta anak saya. Dan akhirnya, atasan menyanggupi syarat yang saya berikan. Ketika akhirnyapun saya pernah ditugaskan ke beberapa kota, suami dan anak pun ikut serta, dan buat saya tak perlu menyayangkan ongkos lebih yang harus dikeluarkan, walapun kadangkala harus ‘nombok’, karena bagi saya kebersamaan dengan keluarga adalah kebahagiaan yang tak terbeli oleh apapun juga, apalagi dengan anak-anak.

Sebenarnya bisa saja saya melakukan seperti yang kawan-kawan kantor lainnya lakukan, menggaji pengasuh dan tinggalkan anak dirumah. Pekerjaan rumah beres, anakpun ada yang nangani, pulang juga tidak capek, tinggal bayar saja, toh gajinya masih cukup, beres kan. Mungkin bagi beberapa Ibu iya, tapi bagi saya tidak dan tidak akan pernah. Ya, saya memang akhirnya menggaji penjaga di kantor, tapi itu hanya sebatas menjaga anak saya ketika saya terpaksa harus mengajar pelatihan, ataupun pengamatan di kebun, selebihnya maka dia tetap harus berada dalam penjagaan dan pengawasan saya, karena saya tidak ingin merepotkan kawan kantor sekalipun banyak yang menawarkan untuk menjaga anak saya ketika saya harus meninggalkannya sejenak. Ada juga yang pernah menyampaikan, ditinggal saja dirumah daripada repot, toh ASI bisa diperah dan disimpan kan? Buat saya, kebutuhan bayi tidak hanya cukup ASI saja, ASI hanya salah satu dari sekian hak bayi yang wajib diuapayakan oleh sang Ibu. Memberi ASI pun buat saya tak cukup dengan menggunakan botol, gelas atau apapun itu, karena fungsi kedekatan hanya akan berjalan ketika bayi menyusu langsung melalui puting Ibu dan mendekapnya.

Apakah repot? Saya yakin, siapapun Ibu di dunia ini yang hanya berpikir yang terbaik untuk anaknya, tak akan pernah ada kata repot, sekalipun harus bersusah payah siang dan malam bahkan hingga pagi lagi. Karena anak adalah anugerah dan amanah, maka mempertahankan dan menjaganya adalah kewajiban dan amanah terbesar bagi orang tuanya.

Ibu dimanapun berada, keberhasilan kita bukanlah sebanyak apa uang yang mampu kita kumpulkan, setinggi apa jabatan yang akhirnya kita dapatkan, sebanyak apa gelar yang akhirnya kita sematkan di belakang nama, tapi setaat apa anak kita pada Tuhannya, sebermanfaat apa mereka kelak pada umatNya, dan segigih apa daya juang mereka dalam hidupnya…

Dan kelak, semoga kita, mampu melihat keberhasilan mereka, dunia dan akhirat… aamin ya Rabb…


30 Tahun Lagi Mereka

anak-anak-masa-depan

Jangan remehkan dakwah kepada anak-anak! Jika telah terikat hatinya dengan Islam, mereka akan mudah bersungguh-sungguh menetapi agama ini setelah dewasa. Jika engkau siapkan mereka untuk siap menghadapi kesulitan, maka kelak mereka tak mudah ambruk hanya karena langkah mereka terhalang oleh kendala-kendala yang menghadang. Tetapi jika engkau salah membekali, mereka akan menjadi beban bagi ummat ini di masa yang akan datang. Cemerlangnya otak sama sekali tidak memberi keuntungan jika hati telah beku dan kesediaan untuk berpayah-payah telah runtuh.

Maka, ketika engkau mengurusi anak-anak di sekolah, ingatlah sejenak. Tugas utamamu bukan sekedar mengajari mereka berhitung. Bukan! Engkau sedang berdakwah. Sedang mempersiapkan generasi yang akan mengurusi umat ini 30 tahun mendatang. Dan ini pekerjaan sangat serius. Pekerjaan yang memerlukan kesungguhan berusaha, niat yang lurus, tekad yang kuat serta kesediaan untuk belajar tanpa henti.

Karenanya, jangan pernah main-main dalam urusan ini. Apa pun yang engkau lakukan terhadap mereka di kelas, ingatlah akibatnya bagi dakwah ini 30 40 tahun yang akan datang. Jika mereka engkau ajari curang dalam mengerjakan soal saja, sesungguhnya urusannya bukan hanya soal bagaimana agar mereka lulus ujian. Bukan. Yang terjadi justru sebaliknya, masa depan umat sedang engkau pertaruhkan!!! Tidakkah engkau ingat bahwa induk segala dusta adalah ringannya lisan untuk berdusta dan tiadanya beban pada jiwa untuk melakukan kebohongan.

Maka, ketika mutu pendidikan anak-anak kita sangat menyedihkan, urusannya bukan sekedar masa depan sekolahmu. Bukan. Sekolah ambruk bukan berita paling menyedihkan, meskipun ini sama sekali tidak kita inginkan. Yang amat perlu kita khawatiri justru lemahnya generasi yang bertanggung-jawab menegakkan dien ini 30 tahun mendatang. Apa yang akan terjadi pada umat ini jika anak-anak kita tak memiliki kecakapan berpikir, kesungguhan berjuang dan ketulusan dalam beramal?

Maka…, ketika engkau bersibuk dengan cara instant agar mereka tampak mengesankan, sungguh urusannya bukan untuk tepuk tangan saat ini. Bukan pula demi piala-piala yang tersusun rapi. Urusannya adalah tentang rapuhnya generasi muslim yang harus mengurusi umat ini di zaman yang bukan zamanmu. Kitalah yang bertanggung-jawab terhadap kuat atau lemahnya mereka di zaman yang boleh jadi kita semua sudah tiada.

Hari ini, ketika di banyak tempat, kemampuan guru-guru kita sangat menyedihkan, sungguh yang paling mengkhawatirkan adalah masa depan umat ini. Maka, keharusan untuk belajar bagimu, wahai Para Guru, bukan semata urusan akreditasi. Apalagi sekedar untuk lolos sertifikasi. Yang harus engkau ingat adalah: “Ini urusan umat. Urusan dakwah.” Jika orang-orang yang sudah setengah baya atau bahkan telah tua, sulit sekali menerima kebenaran, sesungguhnya ini bermula dari lemahnya dakwah terhadap mereka ketika masih belia; ketika masih kanak-kanak. Mereka mungkin cerdas, tapi adab dan iman tak terbangun. Maka, kecerdasan itu bukan menjadi kebaikan, justru menjadi penyulit bagi mereka untuk menegakkan dien.

Wahai Para Guru, belajarlah dengan sungguh-sungguh bagaimana mendidik siswamu. Engkau belajar bukan untuk memenuhi standar dinas pendidikan. Engkau belajar dengan sangat serius sebagai ibadah agar memiliki kepatutan menjadi pendidik bagi anak-anak kaum muslimin. Takutlah engkau kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, jika engkau menerima amanah sebagai guru, sedangkan engkau tak memiliki kepatutan, maka engkau sedang membuat kerusakan.

Sungguh, jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, tunggulah saatnya (kehancuran) tiba.

Ingatlah hadis Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

 “Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat,” Dia (Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Beliau menjawab, “Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat!” (HR. Bukhari).

Maka, keharusan untuk belajar dengan sungguh-sungguh, terus-menerus dan serius bukanlah dalam rangka memenuhi persyaratan formal semata-mata. Jauh lebih penting dari itu adalah agar engkau memiliki kepatutan menurut dien ini sebagai seorang guru. Sungguh, kelak engkau akan ditanya atas amanah yang engkau emban saat ini.

Wahai Para Guru, singkirkanlah tepuk tangan yang bergemuruh. Hadapkan wajahmu pada tugas amat besar untuk menyiapkan generasi ini agar mampu memikul amanah yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka. Sungguh, kelak engkau akan ditanya di Yaumil-Qiyamah atas urusanmu.

Jika kelak tiba masanya sekolah tempatmu mengajar dielu-elukan orang sehingga mereka datang berbondong-bondong membawa anaknya agar engkau semaikan iman di dada mereka, inilah saatnya engkau perbanyak istighfar. Bukan sibuk menebar kabar tentang betapa besar nama sekolahmu. Inilah saatnya engkau sucikan nama Allah Ta’ala seraya senantiasa berbenah menata niat dan menelisik kesalahan diri kalau-kalau ada yang menyimpang dari tuntunan-Nya. Semakin namamu ditinggikan, semakin perlu engkau perbanyak memohon ampunan Allah ‘Azza wa Jalla.

Wahai Para Guru, sesungguhnya jika sekolahmu terpuruk, yang paling perlu engkau tangisi bukanlah berkurangnya jumlah siswa yang mungkin akan terjadi. Ada yang lebih perlu engkau tangisi dengan kesedihan yang sangat mendalam. Tentang masa depan ummat ini; tentang kelangsungan dakwah ini, di masa ketika kita mungkin telah tua renta atau bahkan sudah terkubur dalam tanah.

Ajarilah anak didikmu untuk mengenali kebenaran sebelum mengajarkan kepada mereka berbagai pengetahuan. Asahlah kepekaan mereka terhadap kebenaran dan cepat mengenali kebatilan. Tumbuhkan pada diri mereka keyakinan bahwa Al-Qur’an pasti benar, tak ada keraguan di dalamnya. Tanamkan adab dalam diri mereka. Tumbuhkan pula dalam diri mereka keyakinan dan kecintaan terhadap As-Sunnah Ash-Shahihah. Bukan menyibukkan mereka dengan kebanggaan atas dunia yang ada dalam genggaman mereka.

Ini juga berlaku bagi kita.

Ingatlah do’a yang kita panjatkan:

“Ya Allah, tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami rezeki kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil, serta limpahilah kami rezeki untuk mampu menjauhinya.”

Inilah do’a yang sekaligus mengajarkan kepada kita agar tidak tertipu oleh persepsi kita. Sesungguhnya kebenaran tidak berubah menjadi kebatilan hanya karena kita mempersepsikan sebagai perkara yang keliru. Demikian pula kebatilan, tak berubah hakekatnya menjadi kebaikan dan kebenaran karena kita memilih untuk melihat segi positifnya. Maka, kepada Allah Ta’ala kita senantiasa memohon perlindungan dari tertipu oleh persepsi sendiri.

Pelajarilah dengan sungguh-sungguh apa yang benar; apa yang haq, lebih dulu dan lebih sungguh-sungguh daripada tentang apa yang efektif. Dahulukanlah mempelajari apa yang tepat daripada apa yang memikat. Prioritaskan mempelajari apa yang benar daripada apa yang penuh gebyar. Utamakan mempelajari hal yang benar dalam mendidik daripada sekedar yang membuat sekolahmu tampak besar bertabur gelar. Sungguh, jika engkau mendahulukan apa yang engkau anggap mudah menjadikan anak hebat sebelum memahami betul apa yang benar, sangat mudah bagimu tergelincir tanpa engkau menyadari. Anak tampaknya berbinar-binar sangat mengikuti pelajaran, tetapi mereka hanya tertarik kepada caramu mengajar, tapi mereka tak tertarik belajar, tak tertarik pula menetapi kebenaran.

 

***

Jangan sepelekan dakwah terhadap anak! Kesalahan mendidik terhadap anak kecil, tak mudah kelihatan. Tetapi kita akan menuai akibatnya ketika mereka dewasa. Betapa banyak yang keliru menilai. Masa kanak-kanak kita biarkan direnggut TV dan tontonan karena menganggap mendidik anak yang lebih besar dan lebih-lebih orang dewasa, jauh lebih sulit dibanding mendidik anak kecil. Padahal sulitnya melunakkan hati orang dewasa justru bersebab terabaikannya dakwah kepada mereka di saat belia.

Wallahu a’lam bish-shawab. Kepada Allah Ta’ala kita memohon pertolongan. Maafkan saya.

.

Oleh : Mohammad Fauzil Adhim


Pujian yang Sempurna

Yakin kan kalau manusia itu memang diciptakan lemah dan terbatas? Yakin kan kalau penglihatan manusia itu tak mampu menembus ruang dan waktu? Jangankan melihat apa yang tampak esok hari, melihat sesuatu di balik tembok pun tak mampu. Lalu, mengapa kita, para muslimah, masih saja berpikir apa kata manusia tentang ‘penampilan dan fisik’ nya kita?!

Ah, wanita, memang paling senang dipuji, dan yang lebih menyedihkan kadang mereka bangga dengan pujian dari sesama manusia, bukankah pujian mereka hanya sebatas yang mereka mampu melihatnya? Jika dengan pujian dari manusia saja mereka senang bukan kepalang, lalu bagaimana jika yang memuji adalah rajanya manusia, dan pencipta manusia?

Maka pujian yang paling indah dan sempurna adalah ketika Allah memuji kita, para muslimah, dengan ungkapan paling indah di dunia ini…

 

…Dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan adalah wanita sholeha….

Maka secantik dan seseksi apapun wanita itu dimata manusia, tak akan pernah mampu mengalahkan keindahan seorang wanita sholeha dimata Allah…

Tidak usah kuatir wahai para muslimah, pujian dari Allah tak memandang apakah kau dikatakan secantik artis oleh manusia, apakah kau dikatakan seseksi bintang iklan oleh manusia, apakah kau dikatakan selangsing  peragawati oleh manusia, apakah kau semodis para pengekor trendsetter oleh manusia, tapi siapapun yang hanya menjadikan Allah dan RasulNya rujukan untuk setiap gaya hidup, trend dan fashionnya…. Sekalipun kau dikatakan hitam dan buruk rupa oleh manusia…

Ingat! Pandangan manusia itu tak sempurna, maka penilaian manusia tentang diri kitapun tak sempurna, dan kejarlah pujian yang sempurna…. Pujian yang hanya datang dari Allah dan RasulNya….


Ummi, Ingat Ya!

Ummi, ingat ya! Sekalipun ada banyak tempat penitipan anak berkualitas, baby sitter yang bergelar guru PAUD, sekolah-sekolah dan pesantren yang menjanjikan muridnya bakal sholeha, dan kakek-nenek yang seneng ngemong cucu… amanah dedek tetap ada ditangan Abi dan Ummi. Kelak, Allah hanya akan meminta pertanggungjawaban dari Abi dan Ummi, bukan yang lainnya….

Ummi, ingat ya! Sekalipun Ummi sanggup membayar guru sehebat apapun, sanggup menyekolahkan ke pesantren paling wokeih sekalipun, sanggup membayar pembantu setinggi apapun…. Tetap sentuhan kasih sayang dan pendidikan dari Abi dan Ummi akan membuat dedek menjadi orang yang berbeda. Kelak, Allah lah yang akan mengganti seluruh pengorbanan Abi dan Ummi, termasuk memberi sanksi saat Abi dan Ummi melalaikan dedek…

Ummi, ingat ya! Dedek bukan sekedar anak sebagai penghibur dirumah, bukan sekedar untuk menebar kelucuan hingga Abi dan Ummi ikut gemas dibuatnya, bukan sekedar ditunjukkan ke kawan-kawan dan tetangga kalo dedek sudah bisa ini dan itu, dan bukan sekedar memamerkan kelucuan wajahnya di layar kaca karena dianggap cocok untuk mengiklankan produk bayi ini dan itu… tetapi… dedek adalah AMANAH! Kelak, Allah jualah yang akan membuka tabir kehidupan kita, untuk akhirnya tahu, sudahkah Abi dan Ummi memenuhi janji untuk menjaga AMANAH titipan Allah ini dengan baik dan benar?

***

Ya… ANAK adalah AMANAH! Bagaimana AMANAH itu kita jaga, seharusnya sudah menjadi hal yang ada diluar kepala sebagai ORANG TUA! Sudahkah kita mempersiapkan anak kita untuk menjadi hamba yang sejati, makhluk yang mengerti hakikat penciptaannya, dan manusia yang memahami fungsi penciptaannya? Karena seringkali kita lupa, kita hanya disibukkan mendidik mereka untuk kenal dunia, makanan enak, baju bagus, gadget terbaru, sekolah mahal, cita-cita banyak duit, perempuan/laki-laki menarik, pesta mewah, dan kesenangan lain yang membuat mereka memandang begitu indahnya dunia…hingga kita lupa… kelak, ada kehidupan lain yang menunggu kita… ya, Hidup setelah mati..

Ingatlah! Mereka adalah aset kita, jika dan hanya jika, kita mampu menjadikannya sholeh dan sholeha, bukan orang lain yang kita serahi tugas untuk menjadikan mereka sholeh/a, tapi itu adalah AMANAH bagi kita, Orangtuanya! Dan akan sulit bagi kita mewujudkannya, jika kita sendiri tak berupaya untuk menunjukkan kepada mereka, Sholeh/a yang sesungguhnya…

***

Tapi Ummi, ingat juga Ya! Kelak Allah telah menyiapkan tempat terindah untuk kita, jika Abi dan Ummi mampu membimbing dedek menuju surgaNya… InsyaAllah….

***

Salatiga, renungan suatu siang……  Ingatkan Ummimu selalu ya Nak


Belajar Memahami Urgensitas Perbuatan Kita

Setiap Anda melakukan sebuah perbuatan, pernahkah Anda bertanya pada diri sendiri: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak melakukan itu?”

Silakan Anda uji sendiri:

– Bila Anda nonton piala dunia sepak di TV: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak menonton siaran tersebut?” – apakah kira-kira Anda ditakdirkan menjadi komentator terkenal, yang mampu memindahkan ketegangan antar negara dari kancah militer ke lapangan bola saja ?

– Bila Anda sedang kuliah: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak kuliah?” – apakah kira-kira Anda ditakdirkan menjadi seorang profesional kelas dunia, dan ketidakhadiran Anda pada kuliah itu, menyebabkan Anda gagal menjadi sarjana, dan tertutup pula jalan menjadi profesional tersebut ?

– Bila Anda sedang kontak dakwah: “Apa bahayanya bagi dunia, bila Anda tidak kontak?” – jangan-jangan orang yang Anda kontak itu ditakdirkan menjadi pencerah bagi seorang jenderal sangat berpengaruh yang akan mengusir penjajahan dan menopang keadilan berdasarkan syariah ?

Hidup ini tidak linier.  Kita tidak pernah tahu peran apa yang sesungguhnya Allah gariskan untuk kita.  Tetapi kita bisa menimbang-nimbang berdasarkan pengetahuan dan pengalaman, seberapa urgen perbuatan kita.  Tinggal seberapa jauh kita dapat menghayati, “jangan-jangan” kita ditakdirkan memiliki peran yang signifikan di dunia ini, tetapi hanya efektif bila kita memilih pilihan yang tepat dalam garis hidup kita.

Masyarakat yang paling rendah mutunya adalah DOING-NOTHING-SOCIETY.  Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk ngerumpi, ngomongin orang, atau ngomongin sesuatu yang tidak terkait dengan solusi atas masalah real yang dihadapi.

Agak naik sedikit adalah WATCHING-SOCIETY.  Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk menonton, bisa menonton TV, menonton kecelakaan, menonton kemungkaran, tanpa berbuat apa-apa.  Kemungkaran atau kesusahan hidup orang lain hanya menjadi objek tontonan.

Lebih tinggi lagi adalah LISTENING-SOCIETY.  Mereka mulai mau mendengarkan.  Bagi orang-orang yang sedang pepat hatinya karena kesulitan hidup yang terlalu besar, adanya orang yang mau mendengarkan memang bisa sedikit meringankan beban pikiran, meski belum merupakan solusi tuntas.

Naik lagi adalah READING-SOCIETY. Mereka mulai mau membaca, baik membaca buku, kitab suci, media elektronik atau membaca alam.  Mereka mulai mengambil ilmu di luar ruang lingkup hidupnya sehari-hari, bahkan dari masa yang berbeda.  Menurut Islam, ini adalah standard minimal dari bentuk masyarakat. Wahyu pertama kepada Nabi Muhammad adalah perintah untuk membaca.

Lebih afdhol lagi adalah WRITING-SOCIETY.  Masyarakat yang mulai maju ditandai dengan produk tulisan yang semakin banyak, yang mendokumentasikan akumulasi pengetahuan yang dimilikinya, sehingga berguna menembus ruang dan waktu.

Dan puncaknya adalah LEARNING-SOCIETY.  Ini adalah masyarakat yang menjadikan ilmu pengetahuan sebagai dasar sikap dan perbuatannya.  Mereka telah membaca pengalaman dari siapapun, dan terus memperbaiki diri.  Inilah masyarakat yang memiliki banyak mujtahid.

Nah, sudahkah kita menempatkan diri menjadi LEARNING-PERSON – pribadi yang terus belajar, terus memperbaiki diri ?  Kata Nabi, belajar adalah kewajiban setiap muslim sejak dari buaian hingga liang lahat.  Dan kita terus belajar memahami urgensitas setiap perbuatan kita.  Dengan itu kita akan mendapatkan kualitas amal yang makin baik. Bukanlah Allah menciptakan hidup dan mati itu hanya untuk menilai siapa dari kita yang lebih baik amalnya?  Amal yang baik adalah amal yang benar (menurut syariah) dan ihlas (ditujukan untuk meraih keridhaan Allah). Dan kata Nabi, orang yang terbaik adalah orang yang paling mendatangkan manfaat bagi manusia lain.

Kalau ini kita gabungkan, maka perbuatan yang paling urgen adalah perbuatan yang syar’i, yang hanya ditujukan untuk meraih keridhaan Allah, dan paling besar mendatangkan manfaat bagi manusia

***

Oleh : Prof. Dr. Eng. Fahmi Amhar