…. jejakku, cintaku ….

Dalam sebuah Perjalanan

Aku sangat menikmati melakukan perjalanan jauh, apalagi perjalanan yang InsyaAllah karena Allah. Dan salah satu kebiasaanku (selain suka ngantuk dan puless di kendaraan) adalah mengamati pemandangan dan orang-orang di sekitarku, orang-orang yang bisa memberikan banyak gambaran tentang kehidupan.

 

Kemarin duduk di sebelahku salah seorang tokoh anggota parlemen salah satu partai politik di Indonesia. Perempuan yang sungguh sibuk, hingga karena kesibukkannya beliau menitipkan sang anak ke beberapa pesantren sejak SMP. Seorang ibu yang anggun dan bersahaja, memiliki kriteria perempuan idaman masa kini. Melihatnya aku jadi teringat si Tole, keponakan yang super lincah. Sang ibu seorang pekerja pabrik, saat Tole masih terlelap sang ibu sudah harus beranjak kerja, dan saat sang ibu kembali, si Tole sudah menikmati mimpi malamnya. Sang ibu harus banting tulang setelah si ayah pergi sejak Tole masih 2 tahun. Dulu si Tole selalu menangis saat terbangun sang ibu sudah tak ada di sampingnya, tapi sekarang dia sudah biasa. Aku lagi-lagi teringat kenangan masa kecil, kenangan yang tak akan pernah hilang dari ingatan, tentu saja kenangan dengan mamak dan bapak tercinta. Aku tidak tahu, seberapa banyak kelak si Tole mengingat kenangannya bersama sang ibunda.

 

Aku juga sempat berbincang dengan sosok lainnya. Seorang ibu paruh baya yang terbiasa melakukan perjalanan dengan segudang perbekalan dan menginginkan nyamannya sebuah perjalanan. Dia sempat mengeluh perjalanan yang membuatnya lelah fisik, capek. Aku menemaninya berkeliling dan sempat kutunjukkan beberapa sahabat-sahabatku. Seorang sahabat yang hamil 8,5 bulan dan melakukan perjalanan yang sama, lalu lebih banyak lagi sahabat dengan bayinya yang belum genap setengah tahun, sahabat yang membawa serta 2-3 anaknya yang masih kecil-kecil, dengan jarak tempuh yang lebih jauh. Sempat ia bergumam, ”saya aja capek neh, apalagi mereka ya?” hmmm….melihat senyum sahabat-sahabat saya yang istimewa, saya meragukan pernyataannya.

 

Kali ini saya duduk disamping seorang ibu muda yang kalem, lembut dan tak banyak bicara. Sekilas dia seperti ibu rumah tangga biasa, dia tak banyak bicara kecuali saya yang memulainya. Sampai akhirnya kita terlibat sebuah diskusi yang hangat tentang gender, salah satu ide yang selama ini ternyata sempat membuatnya bingung, apa sebenarnya kehebatan ide ini sehingga begitu banyaknya aktivis perempuan yang memperjuangkannya. Dan setelah kita berdiskusi cukup panjang, dia berkata ”Baru kali ini saya ketemu sama orang yang kontra sama ide gender”, dan ternyata beliau seorang bergelar Master, setingkat di atas saya, dan seorang pendidik yang sangat aktif di lingkungan tempat tinggalnya. Seseorang yang tidak saya sangka, di balik keberdiamannya, tersimpan semangat mencari ilmu yang luar biasa, dan jarang saya menemui orang-orang yang gelarnya lebih tinggi dari saya bisa membuka diri ketika berdiskusi, bukan justru menonjolkan dirinya. Bukankah seharusnya begitu seorang yang berilmu?

 

Ada satu kejadian saat perjalanan, AC di bis sempat tak berfungsi karena goncangan, sehingga beberapa saat terpaksa kita harus berhenti untuk memberi kesempatan Pak Sopir memperbaikinya. Aku jadi teringat pesan amir perjalanan kami sebelum berangkat,

 

Saat Muhammad Al Fatih bertempur untuk menaklukkan Konstantinopel, dia berpesan ”Prajuritku, bukan banyaknya musuh yang aku takutkan, bukan canggihnya persenjataan musuh yang aku takutkan, bukan pula kokohnya benteng musuh yang aku khawatirkan, tapi yang aku cemaskan adalah kemaksiatan kalian sepanjang perjuangan yang justru membuat musuh memporak-porandakan perjuangan kita”

Ah, semoga ngadatnya AC yang sedikit mengurangi kelancaran perjalanan bukan karena kemaksiatan yang kami lakukan. Dan semoga dalam perjuangan ini kami bisa mengalahkan musuh terbesar kami, yaitu kemalasan, kekurangdisiplinan, kekurang ikhlasan, keragu-raguan, ketakutan, kesombongan dan rendahnya daya juang kami. Amin.

 

*Perjalanan menuju perjuangan memang tak mudah, tapi yakinlah kita akan menikmati hasil dari puncak perjuangan kita, InsyaAllah*

Satu tanggapan

  1. sepakat mas, musuh terbesar kita justru sebenarnya justru kita sendiri…

    trims buat artikelnya…

    – Rizal –

    Desember 15, 2010 pukul 14:22

Tinggalkan komentar