…. jejakku, cintaku ….

Jejak Ilmu

Matematika Ramah Keluarga

Oleh: Dr. Fahmi Amhar

Setelah baca tulis, tingkat kecerdasan seseorang diukur dengan matematika. Ini berlaku juga untuk skala keluarga maupun skala bangsa.  Berapa kira-kira skala matematika keluarga Anda?  Apakah Anda puas dengan matematika yang pernah diperoleh di bangku sekolah?  Apakah matematika yang Anda lihat sudah “ramah keluarga”, sehingga Anda merasakan gunanya di kehidupan sehari-hari, dan anak-anak Anda bersemangat mempelajarinya?

Islam tidak hanya mengangkat peradaban di tingkat elite, tetapi juga untuk tingkat rumah tangga rakyat jelata.  Seperti membaca dan menulis, matematika juga di bawah Islam menjadi ilmu yang dikuasai nyaris oleh semua anak-anak yang menuntut ilmu, di mana akses sekolah telah dibuka selebar-lebarnya.

Namun salah seorang matematikawan yang paling berjasa menjadikan matematika “ramah keluarga” ini adalah Muhammad bin Musa al-Khawarizmi (780 – 850 M).

Masa remaja Al-Khawarizmi di Khurasan (Iran) tidak banyak diketahui.  Yang jelas dia kemudian berkarier sebagai matematikawan di Baitul Hikmah (Akademi Ilmu Pengetahuan) di Baghdad yang didirikan oleh Khalifah al-Mansur yang berkuasa dari 754 – 775 M.  Semua orang tahu bahwa al-Makmun adalah politisi yang sangat antusias dengan logika dan matematika.  Dan al-Makmun tidak salah.  Al-Khawarizmi membuktikan diri sebagai orang pertama yang berhasil “mengawinkan” geometri Yunani dengan arimetika India, baik di kecanggihannya sehingga mampu memecahkan berbagai persoalan rumit, maupun di kesederhanaan bahasanya, sehingga dapat dipelajari oleh anak sekolah dasar.

Karya Al-Khawarizmi yang mengubah sejarah matematika sehingga dapat diterapkan di setiap rumah tangga, bukanlah karyanya canggih secara ilmiah, melainkan dua buah buku yang isinya terhitung ringan, meskipun yang satu memiliki judul yang menggetarkan: “Kitab Aljabar wa al-Muqobalah”, sedang satunya lagi sebuah buku tentang teknik berhitung dengan angka India, tentang bagaimana menjumlah, mengurangi, mengalikan dan membagi.  Pada abad-12 buku ini diterjemahkan ke bahasa Latin dan tersebar di Eropa.  Lambat laun, teknik berhitung ala al-Khawarizmi disebut algorizmus, atau algoritma.

Algoritma akhirnya menggusur cara berhitung Yunani dengan abakus (seperti sempoa).  Abakus memang lebih cepat untuk menghitung angka-angka besar, namun hanya terbatas untuk operasi aritmetika sederhana (misalnya menjumlah harga dagangan).  Pada hitungan yang kompleks (seperti menghitung pembagian waris atau menghitung titik berat kapal), algoritma jauh lebih praktis, cepat dan akurat.

Anehnya bangsa Eropa sendiri kemudian sempat lupa asal-usul kata algoritma.  Ada yang menyangka algoritma berasal dari kata “alleos” (asing) dan “goros” (cara pandang), karena teknik ini memerlukan cara pandang yang baru.  Ada lagi yang menduga algoritma dari “algos” (pasir) dan “ritmos” (angka), atau teknik dengan angka-angka yang mampu menghitung obyek sebanyak pasir di pantai.  Ada juga yang menyangka bahwa algoritma adalah judul buku Mesir kuno seperti Almagest karya Ptolomeus.  Demikian puluhan teori muncul, sampai akhirnya pada 1845, Franzose Reinand menemukan kembali al-Khawarizmi dalam algoritma.  Salah satu buktinya adalah bahwa dalam perhitungan aritmetika, selalu dihitung satuan dulu yang ditaruh paling kanan, lalu ke kiri dengan puluhan dan seterusnya.  Sebagaimana huruf Arab ditulis dan dibaca dari kanan ke kiri.

Ilustrasi adu cepat berhitung antara kaum Abacist (yang menggunakan abakus) vs Algoritmiker (pengikut metode al-Khawarizmi), dan dimenangkan oleh kaum Algoritmiker.

Pada tahun 773 Masehi, seorang astronom India bernama Kankah mengunjungi al-Mansur.  Lelaki itu membawa buku berjudul Sindhind tentang aritmetika, yang dengannya dia terbukti mampu menghitung bintang dengan sangat baik.  Al-Mansur lalu memerintahkan agar buku itu diterjemahkan ke bahasa Arab, kemudian agar dibuat sebuah pedoman untuk menghitung gerakan-gerakan planet.  Muhammad bin Ibrahim al-Fasari lalu membuat pedoman ini, yang di kalangan astronom kemudian disebut “Sindhind besar”.  Belakangan karya ini diedit ulang oleh Al-Khawarizmi.

Dengan karya ini, angka India menjadi populer.  Ketika Khalifah al-Walid I (668 – 715 M) menguasai Spanyol dan segera melarang penggunaan bahasa Yunani atau Latin dalam urusan resmi untuk diganti bahasa Arab, dia masih mengecualikan penggunaan angka Yunani, karena angka ini belum ada penggantinya.  Namun ketika buku al-Fasari dan al-Khawarizmi keluar, dengan segera “angka India” diadopsi tak hanya oleh birokrasi, tetapi juga kalangan pebisnis dan surveyor, bahkan akhirnya oleh ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak mereka. Bagi orang-orang Spanyol, angka yang dibawa oleh para matematikawan Muslim yang berbahasa Arab ini lalu disebut “Angka Arab”.  Matematika akhirnya bisa menjadi cabang ilmu yang ramah keluarga.

Pada masa Yunani kuno, para matematikawan lebih asyik berfilosofi tentang geometri daripada memikirkan aplikasi praktis capaian geometri mereka.  Contoh: mereka telah berhasil menghitung hubungan jari-jari lingkaran dengan keliling lingkaran, yaitu bilangan pi (π).  Karena nilai pi ini saat dihitung “tidak mau selesai”, maka bilangan ini disebut “trancendental”, artinya: hanya Tuhan yang tahu.

Kalau sebuah bidang memotong kerucut dan membentuk suatu bangun geometri (ellips, parabola atau hiperbola) lalu pertanyaannya berapa luas atau keliling bangun tersebut, maka geometri Yunani tak lagi bisa memberi jawaban.  Pada saat yang sama, seni berhitung ala India juga tak pernah dipakai menghitung persoalan serumit ini.  Di sinilah Al-Khawarizmi “mengawinkan” aritmetika dan geometri. Potongan kerucut dengan bidang menghasilkan beberapa unknown (yang nilainya dicari), yang akan ditemukan kalau rumus bidang datar, kerucut dan kemiringan perpotongan disatukan lalu diselesaikan.  Inilah aljabar.

Hitungan ini lalu dipakai untuk membuat berbagai benda teknis yang dipasang di depan masjid hingga di dalam rumah, dari jam matahari hingga wajan penggorengan, dan di zaman modern dari desain bendungan hingga antena TV.  Model hitungan “perpotongan kerucut” ini belakangan dipakai untuk menghitung lintasan peluru manjaniq di medan jihad, dan beberapa ratus tahun kemudian dipakai oleh NASA untuk memprediksikan gerakan pesawat ruang angkasa.

Sumber : http://hizbut-tahrir.or.id/2012/11/19/matematika-ramah-keluarga/


Rasulullah dan Intelijen yang Berakhlaq

Pernah menonton film Enemy of the state? film yang bercerita tentang kehebatan agen rahasia NSA (National Security Agency). Film yang bercerita seputar intrik-intrik spionase, serta kecanggihan peralatan penyadapan ini dimainkan Will smith (sebagai Robert Clayton).

Dalam cerita, pengacara kulit hitam Clayton diburu secara membabi-buta oleh intel NSA karena telah menyimpan informasi penting tentang pembunuhan. Dengan alat-alat deteksi canggih, Clayton diburu selama 24 jam penuh oleh agen NSA. Tanpa disadari, sekujur tubuhnya sudah dipasangi alat penyadap canggih. Mulai pulpen, sepatu, jas, arloji dan kancing celana. Bahkan untuk kepentingan intelijen pula, aparat-aparat intel itu harus membunuh siapa saja yang ditemui jika dianggap perlu.

Intelijen merupakan salah satu unsur dari manajemen yang telah digunakan oleh manusia sejak zaman prasejarah. Ilmu intelijen bahkan berkembang menjadi salah satu unsur manajemen perang sejak 400 tahun sebelum masehi.

Salah satu tugas pokok dari intelijen adalah kemampuan menggambarkan perkiraan keadaan yang akan terjadi secara tepat, sehingga selain mendapatkan informasi penting juga diharapkan mampu memenangkan peperangan. Selain itu, fungsi intelijen juga memperkecil resiko yang timbul baik terhadap manusia (pasukan) maupun peralatan (logistik). Kirka secara sederhana mencakup empat hal penting, yakni terhadap pasukan sendiri (intern), terhadap pasukan lawan, terhadap medan atau lokasi di lapangan dan terhadap cuaca.

Dalam perkembangannya, kegiatan mata-mata seperti ini telah melahirkan teknologi dan peralatan informasi yang begitu canggih. Dalam Perang Dunia (PD) II, misalnya, bahkan pernah dikenal tehnik Radio Direct Finding (RDF), teknik yang dipakai untuk melacak sinyal pemancar-pemancar “clandestine”.

Dinas rahasia Jerman dan Swiss pernah juga pernah menggunakan perangkat teknologi RDF, memaksa pemancar-pemancar lain untuk menghilang dari udara dengan jalan memancarkan sinyal super kuat. Taktik yang dipakai armada Jerman adalah menyebarkan kapal-kapal selam kecil yang dikenal dengan u-boatratusan mil menyeberangi samudra untuk mencari konvoi kapal perang musuh. Bila sebuah konvoi berhasil dideteksi u-boat, maka pesawat radio u-boat mengabarkannya dan tentu saja juga kepada u-boat lain yang berdekatan. Intelejen Naval sekutu mampu melakukan RDF terhadap pancaran dari u-boat yang memberi probabilita 50% bahwa u-boat tersebut berada dalam radius diameter 100 mil laut. Perangkat RDF yang dipasang pada kapal-kapal konvoi memastikan lebih baik hasil-hasil DF bahkan intelejen Naval dapat menginformasikan saat-saat u-boat tersebut muncul ke permukaan laut dan di sana sebuah pesawat tempur yang dilengkapi radar telah siap menantika kehadiran ‘sang musuh’.

Inti dari pekerjaan intelijen adalah memenangkan informasi. Dalam doktrin militer, informasi merupakan bagia integral dari komando dan kendali yang merupakan kunci setiap operasi. Dulu, konsep intelijen hanya sebatas tentang penginderaan di batas-batas wilayah, kegiatan lalulintas manusia, kapal laut dan udara, sistem deteksi dan peringatan dini atau radar surveilance untuk di darat, laut dan udara. Termasuk remote sensing dan sistem navigasi udara.

Di era 90-an, dengan kemajuan teknologi komputer melahirkan konsep Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer dan Intelijen (K4I). Tetapi, belakangan ini, konsep baru yang diterapkan adalah; Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer, Intelijen, dan Manajemen Pertempuran (command, control, communications, computers, intelligence and battle management) atau sering disebut (K4I/MP). Ini menunjukan, teknologi baru dalam penerapan teknik berperang juga menggunakan prinsip manajemen. Yakni manajemen pertempuran. Karenanya, di era modern, infrastructure telecommunication and computer network begitu amat berharga.

Semenjak perkembangan teknologi informasi menjadi sangat pesat, maka barang siapa menguasai informasi, menguasai dunia. Inilah yang mendorong negara adi daya untuk berlomba-lomba memasuki medan peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan media masa dan jaringan informasi global. Karena itulah, wajar bila mantan presiden AS, Ronald Reagan pernah mengeluarkan gagasan ‘Perang Bintang’.

Kemajuan teknologi informasi menyebabkan terjadinya pergeseran konsep memenangkan perang. Janganlah heran bila kemudian Amerika Serikat (AS) tiba-tiba memiliki data foto satelit tiga dimensi tentang kondisi Propinsi Aceh Darussalam (NAD). Foto satelit, adalah diantara teknologi informasi modern yang dipakai dalam dunia intelijen.

.

Intelligence tapi tak pintar

Intelijen adalah ilmu penting yang dibutuhkan masyarakat semenjak dahulu. Sebagai kebutuhan masyarakat atau atas nama negara, pelaku intelijen tak hanya diharapkan mampu berbahasa Inggris, Mandarin, Jepang, Tagalog, Thai, dan Vietnam sebagai layaknya materi wajib yang diajarkan di Institut Intelijen Negara. Atau sekedar teknik-teknik pengintaian, fotografi rahasia, keamanan teknologi informatika, penggunaan senjata-senjata kecil dalam ‘Sarana Latihan Khusus’ seperti yang dikelola BIN, yang ada di Pejaten dan Cipayung Jakarta atau International School of Intelligence yang ada di Batam. Intelijen yang sejati –tak sekedar teknik-teknik dan berbagai keahlian—tetapi berangkat dari akhlaq yang baik.

Intelijen sebenarnya diambil dari kata intelligence yang berarti kecerdasan. Tapi dalam prakteknya mereka benar-benar tak mencerminkan pengertian itu. Intelijen mengalami cidera dan stigma yang benar-benar negatif karena fungsinya tidak benar-benar diterapkan sesuai namanya.

Sudah lazim, jika dalam perkembangannya, intelijen diterapkan dan dikembangkan melalui tipu muslihat dan strategi politik. Cara-cara seperti; penggalangan, rekrutmen, pembinaan, penugasan dan pembinasaan terus diterapkan layaknya sebuah mesin kekejaman para penguasa. Cara-cara seperti itu pernah dipakai BAKIN untuk merekayasa terhadap kader-kader Masyumi dengan merekayasa adanya kebangkitan “Neo NII”.

Dengan kebijakan politik kooptasi, konspirasi dan kolaborasi rekayasa intelejen –galang, rekrut, bina, tugaskan dan binasakan—diterapkan pada gerakan NII sejak tahun 70-an bahkan berlanjut hingga kini.

Melalui cara kooptasi, Ali Murtopo kemudian merekrut Danu Moh. Hasan (mantan panglima divisi gerakan DI-TII). Danu kemudian dikaryakan di lembaga formal Bakin di Jalan Raden Saleh 24 Jakarta Pusat.

Para infiltran dan kader intelejen militer juga menyusup ke dalam gerakan ummat Islam Indonesia yang berlangsung sejak Orde Baru di bawah Soeharto. Melalui Ali Moertopo, intelijen melakukan gerakan pembusukan dalam tubuh gerakan-gerakan Islam. Maka muncullah kasus “Komando Jihad” (Komji) di Jawa Timur pada tahun 1977. Tahun 1981 BAKIN juga sukses menyusupkan salah satu anggota kehormatan intelnya (berbasis Yon Armed) bernama Najamuddin, ke dalam gerakan Jama’ah Imran yang kemudian lahir kasus “Imran”. Juga kasus-kasus rekayasa kejam intel seperti kasus “Woyla”.

Dalam konsep pertahanan keamanan (nasional maupun internasional), tugas badan intelijen secara umum adalah memberikan dukungan penuh kepada negara atau pemerintah untuk mengumpulkan informasi mengenai strategi musuh. Lembaga ini kemudian bertugas memberikan laporan mengenai keamanan nasional dan internasional, masalah sosial, politik, ekonomi, dan militer domestik maupun pihak asing. Baik dengan menggunakan berbagai teknik atau strategi informasi yang canggih dan kreatif.

Namun sayangnya, pekerjaan-pekerjaan intelijen sering paralel dengan nafsu penguasa hanya sekedar mempertahankan kekuasaannya. Karenanya, yang berkembang kemudian justru para petugas intelijen sibuk mengawasi musuh politik penguasa bahkan sibuk memata-matai rakyatnya sendiri. Meski mereka dibayar negara dari hasil pajak yang dikumpulkan dari rakyat. Untuk kekuasaan dan politik, mereka bisa menciduk, bahkan harus rela mengilangkan nyawa orang.

Di zaman Nazi Jerman, pencidukan dilakukan oleh Gestapo tidak tedeng aling-aling. Pintu digedor, manusianya diangkut ke tempat tahanan diinterograsi, digebuk, disetrom dan dipaksa mengaku meski tidak pernah melakukan. Di zaman Stalin, NKVD/KGB melakukan teror pada malam hari. Jika malam hari pintu rumah diketok orang, dan jika sang tamu sudah memperlihatkan kartu merah (tanda pengenal KBG) tanpa debat, orang tersebut diapit aparat menuju mobil hitam dan membawanya ke tempat tahanan. Biasanya, mereka yang dibawa KGB dan tidak akan pernah pulang kembali. Di Chili, perempuan yang diciduk tidak hanya disiksa tapi malah dalam keadaan tangan-tangan dan kaki-kaki diikat dibiarkan disetubuhi oleh anjing herder yang khusus terlatih.

Di kamp eksukusi Siberia, agen intelijen bisa menjadikan orang dan tahanan didomisilikan di rumah sakit gila, untuk dijadikan orang gila.

Kasus “Jama’ah Islamiyah” (JI) yang mampu menyeret nama Ustad Abubakar Ba’asyir menggoreskan nama penting anggota BAKIN, Abdul Haris, Lc, yang menyusup ke dalam anggota Mejelis Mujahidin Indonesia (MMI).

Meski belum jelas bersalah apa tidak, cara kerja intelijen telah menyudutkan dan merugikan banyak kelompok orang dan berbagai organisasi. Cara-cara memperlakukan ‘tersangka’ tak pernah dipikirkan akibatnya. Apakah kelak nasib anak dan keluarganya atau sahabat-sahabatnya. Bahkan terkadang, hanya karena kenal dekat, orang bisa diciduk, dipenjarakan beberapa minggu, kalau perlu digebuki. Jika kemudian tak terbukti, terangksa dikembalikan dengan alasan, “tersangka hanya dikenakan beberapa pertanyaan”. Polisi tak pernah menjelaskan pada pers mereka tak bersalah. Sedangkan, anak dan keluarganya di rumah telah ‘dihukum’ masyarakat dengan cap buruk ‘teroris’ sepanjang hidupnya.

Intel-intel masa kini, tak pernah banyak mengerti agama. Memburu orang-orang yang dianggap merugikan banyak orang akibat tindakan ‘terorisme’ adalah perbuatan baik. Tetapi melukai perasaan orang dan keluarganya karena salah sasaran ‘terorisme’ justru dosa besar.

Rekayasa, adu domba, dan pembusukan, adalah kenangan buruk –khususnya terhadap umat Islam– terhadap cara kerja intelijen masa kini. Bahkan umumnya, dunia intelejen di zaman modern, dianggap sangat kejam, sadis, dan tak bermoral. Lebih kejam dari pelaku teror itu sendiri.

Ingat kasus Abu Jihad, seseorang yang telah mengabdikan diri kepada kepentingan intelejen Indonesia (BIN dan BAIS) justru bernasib tragis. Ia dieliminasi akhir Februari tahun 2003 di Ambon melalui sebuah eksekusi –yang kabarnya– oleh sebuah operasi intelejen, oleh lembaga yang telah merekrutnya. Kejam bukan?

.

Intelijen yang Berakhlaq

Islam telah mengenal fungsi intelijen 1400 tahun, setelah Muhammad menjadi Rasul. Meski secara teknologi kalah dibanding zaman modern, dasar-dasar intelijen yang telah dikenalkan oleh Rasulullah Muhammad SAW jauh lebih berakhlaq.

Bulan Jumadil Akhir 1424, seorang sahabat bernama Abdullah bin Jahsy Asady, beserta dua belas sahabat dari kalangan muhajirin diperintahkan Rasulullah berangkat untuk menjalankan sebuah operasi intelejen rahasia. Ikut dalam rombongan itu Sa’ad bin Abi Waqqash dan ‘Utbah bin Ghazwan. Rasulullah SAW memberinya sebuah surat yang boleh dibaca jika perjalanan mereka sudah mencapai dua hari.

Setelah dua hari dalam perjalanan, sang komandan, Abdullah bin Jahsy kemudian membuka isi surat tersebut. Isinya, tak lain adalah sebuah perintah untuk memata-matai musuh: “Berangkatlah menuju Nikhlah, antara Mekkah dan Tha’if. Intailah keadaan orang orang Quraisy di sana dan laporkan kepada kami keadaan mereka.” Selepas membaca surat itu, Abdullah bin Jahsy dan para rombongan kemudian berujar, “Kutaati perintah ini!”

Kemudian diceritakanlah isi surat Rasulullah tersebut kepada para sahabatnya yang lain seraya berkata, “Rasul Allah telah melarang aku memaksa seorang pun dari kalian. Siapa yang ingin mati sebagai pahlawan syahid, marilah berjalan terus bersama aku, dan siapa yang tidak menyukai hal tersebut hendaklah dia pulang…!”

Muhammad adalah panglima perang sejati. Saat melalukan pembebasan negeri Mekah dari suku Quraisy, Nabi Muhammad –ketika itu berencana—akan mengerahkan 10.000 pasukan tentara Muslim. Untuk mempertahankan ‘serangan mendadak’ ini, Rasulullah kemudian melepaskan petugas intelijennya menuju Mekah yang ditugaskan mengacaukan informasi pada musuh agar mereka tidak mengerti bila pasukan Islam yang berencana melakukan serangan mendadak itu jumlahnya banyak.

Untuk kepentingan intelijen dan kerahasiaan militer, Nabi Muhammad bahkan menyimpa rapat-rapat informasi jumlah pasukan ini bahkan kepada istri tercinta Siti Aisyah atau pada sahabat kepercayaannya sendiri, Abu Bakar Ash Shidiq.

Esoknya, dalam penyerangan mendadak itu kau kafir Quraisy benar-benar kelabakan dan kedodoran. Mereka tak menyangka di pagi hari buta itu, telah datang puluhan ribu orang dari pasukan Islam di kota Mekah. Tanpa persiapan, mereka kemudian menyerah. Muhammad paham, orang Quraisy tak akan melakukan perlawanan. Sebab, di tangannya, Rasulullah telah menguasai informasi kekuatan musuh, situasi yang bakal terjadi, hingga informasi logistik, menyangkut keadaan jalan-jalan yang akan dilalui pasukan Islam dan kondisi mata air. Detil, rapi dan rahasia. Itulah strategi Muhammad dalam menjalankan perang dan intelijen.

Bedanya, Nabi Muhammad tak pernah mengajarkan kerja-kerja intelijen yang keluar dalam akhlaq Islam sebagaimana halnya gaya intelejen modern sekarang ini. Muhammad tak pernah memerintahkan pasukan pengintainya untuk melakukan fitnah terhadap musuh, menculik atau menghilangkan nyawa orang tanpa alasan syar’I. Jauh berbeda dengan intelijen Indonesia atau CIA seperti ratusan kasus-kasus rekayasa jahatnya terhadap umat Islam selama ini.

.

Misi Rahasia 

Rasulullah juga pernah melakukan operasi intelijen dan misi rahasia ke pasukan musuh. Seorang sahabat Abdullah bin Unis dikirim Rasulullah menyusup masuk ke dalam pusat kekuatan musuh. Sasaran utama misi itu adalah Bani Lihyaan dari Kabilah Huzail yang dipimpin oleh panglima mereka, Khalid bin Sofyan El Hazaly.

Misi ini dilakukan karena umat Islam mendapatkan kabar bahwa Khalid bin Sofyan El Hazaly tengah berupaya mengadakan pemusatan kekuatan pasukan gabungan kaum kafir yang cukup besar di daerah Uranah untuk menyerang Islam. Karena itu, Rasulullah mengirim Abdullah bin Unis untuk melakukan misi pengintaian sekaligus penyelidikan untuk membenarkan kabar berita tersebut.

Abdullah kemudian berangkat dan melakukan menyamaran. Tak terduga, di tengah jalan, Abdullah bertemu Khalid yang ditemani beberapa wanita dan pasukannya. Khalid kemudian menyapa Abdullah, “Hai laki-laki, siapa gerangan Engkau?”

Jawab Abdullah, “Saya adalah laki-laki Arab juga. Saya mendengar bahwa engkau telah memusatkan kekuatan pasukan untuk menyerang Muhammad. Apakah benar demikian?” tanya Abdullah. Dan tanpa curiga, Khalid membenarkan rencananya itu. Abdullah meminta diperbolehkan bergabung dan meminta dizinkan menemani Khalid. Tanpa curiga, Khalid mengizinkannya. Suatu kali, Abdullah mendapatkan Khalid sendirian dan terpisah dari pasukan utamanya. Abdullah tak menyia-nyiakan kesempatan emas itu, secepat kilat, Abdullah kemudian menyergap Khalid dan membunuh pemimpin kaum kafir itu dengan pedangnya. Peristiwa itu membuat kaum kafir gempar. Pasukan musyrikin geger dan urung menyerang umat Islam karena diketahui pemimpinnya telah tiada. Abdullah kemudian pulang ke Madinah setelah melakukan misi rahasianya.

.

Propaganda dan Tipuan 

Dalam misi intelijen Rasulullah juga pernah melakukan propaganda untuk memperlemah kekuatan musuhnya. Dalam kisah, pernah suatu ketika kekuatan musuh gabungan porak-poranda dan bercerai-berai akibat tidak adanya kekompakan diantara mereka akibat propaganda yang dilancarkan Nu’aim bin Mas’ud Al-Ghathafany, mantan musuh yang kemudian bergabung ke pasukan Islam. Nu’aim melakukan psyco war (perang urat syarat) dan propaganda yang membuat kekuatan musuh goyah dan bercerai-berai.

Rasulullah juga pernah melakukan tipuan yang kratif untuk mengecoh lawan dalam peperangan. Suatu kali, ketika Rasulullah berencana akan berperang dengan kaum Quraisy. Di sebuah tempat, di Marru Dzahraan, tempat Rasulullah dan pasukannya bermarkas, beliau memerintahkan seluruh pasukannya menyalakan obor.

Nyala obor 10.000 orang pasukan Islam itu kemudian bercahaya ke seluruh penjuru kota hingga kaum Quraisy melihatnya dari kejauhan. Melihat cahaya api pasukan Islam, Abu Sofyan berkata, “Belum pernah saya melihat malam seperti terbakar ini dan belum pernah pula saya melihat ada pasukan seperti ini!” Cerita itu kemudian cepat tersebar dari mulut ke mulut hingga sampai ke para pemimpin kaum Quraisy dan pasukan kafir.

Akibat taktik itu, Rasulullah berhasil mengecoh lawan dengan mengesankan pasukan muslimin luar biasa banyaknya hingga membuat nyali pasukan musuh menjadi ciut. Sebagaian kaum kafir bahkan berlarian memeluk Islam agar aman, sebagian lainnya tetap melawan meski sudah tak lagi memiliki keberanian akibat sudah kalah secara psikologis. Dan Rasulullah akhirnya mampu menguasai Mekah tanpa ada perlawanan yang berarti.

Nabi tak pernah melibatkan orang-orang yang tidak berasalah untuk dilibatkan dalam perang. Apalagi orang tua, wanita atau anak-anak. Ini berbeda dengan gaya kerja intel kita yang meniru intel CIA atau BIN yang bisa menjerat keluarga atau istri korban dengan UU Anti-Terorisme. Bahkan karena bernafsu memburu korban, intel-intel kita bisa melibatkan apa saja yang pernah dekat dengan si korban. Termasuk melibatkan teman dekat, kenalan hanya karena nama-nama kerabatnya ada di nomor HP “si korban”.

Staf intelijen Rasulullah umumnya adalah perwira-perwira yang amanah dan berakhlaq tinggi. Mereka adalah orang yang memiliki integritas tinggi, kuat dalam ibadah, amanah memegang kejujuran, taat kepada perintah Rasul dan tidak keluar dari Al-Qur’an dan Sunnah. Intel gaya Rasulullah jauh antara langit dan bumi dibanding intel gaya CIA bahkan BIN sekalipun.

Ketika Abdullah bin Jahsy mendapat perintah pengintaian langsung dari Rasulullah di kota Nikhlah, dekat Mekah dan Tha’if, komandan intel ini bahkan tak melakukan pemaksaan kepada anggota intel yang lain. “Rasul Allah telah melarang aku memaksa seorang pun dari kalian. Siapa yang ingin mati sebagai pahlawan syahid, marilah berjalan terus bersama aku, dan siapa yang tidak menyukai hal tersebut hendaklah dia pulang…!”

Santun itulah akhlaq sfat intel Rasulullah. Dan akhlaq dalam strategi perang dan intelijen Rasulullah itu sudah diajarkan hampir 14 abad lalu.

Berbeda dengan intel-intel kita meski kejadiannya sudah dikatakan abad modern. Intel-intel modern justru berusaha memojokkan orang, kelompok atau organisasi tertentu. Intel Rasulullah juga tidak akan melakukan rekayasa-rekayasa licik yang merugikan masa depan orang lain atau kelompok tertentu. Kecuali melalukan strategi dan taktik di medan perang. Bedanya, intel kita bisa memata-matai rakyatnya sendiri dan melalukan rekayasa-rekayasa tak terpuji –bahkan perintahnya justru dari negara lain– seperti negara semacam Amerika Serikat (AS)

.

Intel Nabi dan Intel zaman Komji

Juni tahun 2002, sebuah peristiwa penting terjadi di Masjid Raya Bogor. Seorang pria keturunan Timur Tengah, ditangkap karena pelanggaran dokumen imigrasi. Pria bernama Umar al Faruq,  yang pernah tercatat sebagai penduduk Desa Cijambu, Kecamatan Cijeruk, Jawa Barat, disebut-sebut TIME , punya hubungan dengan petinggi Al-Qaidah untuk kawasan Asia Tenggara.

Ia bahkan ikut dikait-kaitkan dengan  rencana pembunuhan Megawati, dianggap terlibat dalam peledakan bom di sejumlah kota di Indonesia pada malam Natal tahun 2000, serta merencanakan peledakan sejumlah sarana milik AS di Singapura dan Indonesia.  Siapa sesungguhnya Umar al Faruq? Tidak jelas hingga sekarang.

Selain Umar al Faruq, dalam kasus penangkapan tujuh tahun silam itu, tersangkut pula nama Abdul Haris, yang kemudian ikut dibebaskan oleh pihak intelijen. Kepada Majalah TEMPO, Haris mengaku bahkan sempat ikut mengurus paspor.  “Saya mengenal Faruq karena membantu menguruskan paspor isterinya, Mbak Mira,” ujarnya. Namun, penelusuran TEMPO menemukan indikasi kuat bahwa dia bukan sekadar “calo paspor”: dia orang BIN yang ditanam dalam Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Siapa Abdul Haris? Haris tak lain adalah pengurus di Departemen Hubungan Antar-Mujahid, sebuah posisi strategis yang mengatur hubungan antar-organisasi Islam di dalam dan di luar negeri.

Sebagaimana dikutip TEMPO dalam Edisi 25 November-1 Desember 2002, menyebutkan, Muchyar Yara, Asisten Kepala BIN Bidang Hubungan Masyarakat, mengaku Haris tak lain adalah seorang agen BIN yang telah “ditanamkan” untuk mengawasi gerak-gerik berbagai jaringan Islam, termasuk MMI.

“Haris adalah teman lama Hendropriyono sejak masih menjadi Panglima Daerah Militer Jaya, bahkan mungkin sejak masih kolonel. Hubungan antara Haris dan Pak Hendro (Jenderal TNI (Purn) Abdullah Mahmud Hendropriyono, red) sebatas teman. Tapi, tidak benar Haris ikut ditangkap bersama Al-Faruq,” ujar Muchyar Yara kepada TEMPO.

Pria bernama lengkap Muhammad Abdul Haris adalah lulusan IAIN, pernah menempuh pendidikan di Madinah untuk meraih gelar Lc. Ia adalah perwira sebuah angkatan di lingkungan TNI dan melanjutkan studi ke Madinah, sebagai salah salah satu tugas yang harus ia jalankan.

Selama di MMI, Haris mengurusi pusat informasi. Ia kerap menyerahkan catatan yang disebutnya sebagai ‘info intelijen’ mengenai kasus Maluku dan Poso. Ia juga mengetahui aktivis Islam Indonesia yang pernah ikut berperang di Afghanistan. Meski aktif, anehnya, Haris selalu menghindar jika difoto. Karena itu, dalam dokumentasi MMI, gambar Haris tak pernah ada.

Soal Abdul Haris ini diakui pernah diakui Ketua Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Irfan S Awwas, suatu kali. Menurut Irfan, keberadaan Haris tiba-tiba hilang seiring ditangkapnya Umar al-Faruq dan dijebloskannya Ustad Abubakar Ba’asyir ke penjara.

“Sudah sekitar enam bulan Haris tidak aktif. Kami memang mendapat kabar bahwa dia seorang agen yang disusupkan, tapi kami tidak gegabah mempercayainya sebelum diklarifikasi,” ujarnya.

.

Rekayasa

Sejarah hubungan intelijen Indonesia dengan kelompok-kelompok rekaan dalam Islam bukan sesuatu yang baru. Dan bukan hal baru kalangan intelijen menanam agennya ke organisasi Islam dengan tujuan melumpuhkannya. Pernyataan ini pernah disampaikan Profesor Emiritus dari Universitas Washington, AS,  Prof. Dr. Daniel S Lev.

“Sejak masa Orde Baru, kelompok Islam selalu dipermainkan,” kata Daniel Lev. “Dari sudut pandang intelijen seperti BIN –dulu Bakin– orang-orang radikal Islam berguna sekali karena gampang digerakkan dan dipakai,” ujarnya dikutip TEMPO suatu ketika.

Dalam buku “Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974”, oleh Heru Cahyono, (Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998),  secara rinci menjelaskan bagaimana peran-peran intelijen memainkan peran terhadap kaum Muslim.

Permainan intelijen terhadap kalangan Islam cukup terkemuka, ketika Opsus (Operasi Khusus) melalui Ali Moertopo melakukan rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam modernis yang berbasis masa  bekas partai Masjumi. Sementara terhadap Islam tradisional dilakukan penggalangan melalui organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam), yang mana selanjutnya secara efektif menggarap massa Islam tradisional untuk ditarik masuk Golkar.

Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya, sejak awal menyadari mengenai kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI –yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapat angin, kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angtakan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam dinilai ada bibit-bibit “ekstrimisme” yang potensial.

Intelijen ketika itu berusaha ‘menghancurkan’ PKI, menekan sayap Soekarno, dan ‘mencegah’ naiknya pamor Islam. Tugas Opsus kala itu adalah menyelesaikan segala sesuatu dengan cara mendobrak dan “merekayasa”.

Dalam buku “Konspirasi Intelijen dan Gerakan Islam Radikal”,  (penyunting Umar Abduh 2003), kebijakan intelijen yang berpijak pada prinsip “kooptasi, konspirasi dan kolaborasi (galang, rektrut, bina, tugaskan, dan binasakan)” telah mampu ‘menjebak’ anggota NII. Intelijen juga berhasil melakukan ‘pembusukan’  Islam tahun 1977 dengan merekrut Danu Moh. Hasan dan Ateng Djaelani sebagai agen, yang akhirnya memunculkan kasus Komando Jihad (Komji). Danu yang semula divonis 10 tahun, dinyatakan bebas tahun 1979. Namun dikabarkan tewas diracun arsenikum. Intel juga dianggap menyusupkan Hasan Baw ke gerakan Warman tahun 1978-1979.

“Komando Jihad adalah hasil penggalangan Ali Moertopo melalui jaringan Hispran di Jatim. Tapi begitu keluar, langsung ditumpas oleh tentara, sehingga menjelang akhir 1970-an ditangkaplah sejumlah mantan DI/TII binaan Ali Moertopo seperti Hispran, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hasan, serta dua putra Kartosoewiryo, Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki.

Kelak ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, terungkap beberapa keanehan. Pengadilan itu sendiri dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan umat Islam. Dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan [tds] umpamanya, dalam persidangan ia mengaku sebagai orang Bakin. “Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin.” [Pangkopkamtib Jenderal Soemitro Dan Peristiwa 15 Januari 1974, Tahun 1998].

Tahun 1981 Bakin (Sekarang BIN) sukses menyusupkan salah satu anggota kehormatan intelnya (berbasis Yon Armed) bernama Najammudien ke dalam gerakan Jama’ah Imran yang dikenal kasus pembacajakan pesawat Woyla.

“Pancingan” intel juga dianggap melahirkan kasus pembunuhan massal umat Islam yang dikenal “Peristiwa Tanjung Priok”, 12 September 1984. Tahun 1986, intel kembali dinilai melakukan rekayasa dengan memasukkan agennya bernama Syhahroni dan Syafki, mantan preman Blok M, dalam gerakan Usrah NII pimpinan Ibnu Thayyib. Alhasil, gerakan-gerakan “rekayasa” yang dimunculkan itulah yang akhirnya melahirkan stigma kekerasan dan gerakan ekstrim di kalangan Islam.

 .

Penyusupan

Intel di zaman Nabi juga mirip intel-intel zaman sekarang. Al kisah, setelah Kabilah Hauzan mendengar bahwa Mekah sudah dikuasai oleh kaum Muslimin, Malik bin Auf An Nashri, salah satu pemuka kabilah mengumpulkan para pemuka lainnya. Mereka sepakat melakukan penyerangan terhadap Rasulullah SAW dan kaum Muslimin. Seperti biasanya, sebelum berangkat mereka mengirim beberapa mata-mata. Akan tetapi, mata-mata itu gagal dan tercerai berai, karena berhadapan dengan seorang penunggang kuda yang tidak mereka kenal.

Sebaliknya, Rasulullah SAW telah mengirim Abdullah bin Abi Hadrad Al Aslami, untuk menyusup, dan bermukim di Hauzan. Selama tinggal di sana, beliau berhasil mendapatkan informasi yang berasal dari pembesar Hauzan, Malik bin Aufah An Nashri. Informasi itu menyangkut semua hal yang terjadi di sana, termasuk kesepakatan mereka untuk melakukan serangan kepada Rasulullah SAW.

Akhirnya, Rasulullah SAW memutuskan membawa 12 ribu pasukan menuju Hauzan. Sesampai di lembah Hunain, ternyata pasukan Musyrikin sudah menunggu terlebih dahulu, hingga berkecamuklah Perang Hunain pada tahun ke-8 setelah hijrah, pasca Fathu Mekah. Yang membedakan, intelijen di zaman Nabi tak pernah merekayasa untuk menjatuhkan reputasi seseorang –apalagi terhadap kelompok kaum Muslim— dibanding intelijen masa kini. Mungkin, itu adalah cerminan intel berakhlak dan tidak berakhlak.

 

Sumber : hidayatullah.com


Menepis Pesimisme Perjuangan Khilafah

MENARIK untuk menanggapi tulisan saudara Asrir Sutanmaradjo (AS) pada kolom tsaqafah hidayatullah.com (01/07/11), berjudul: “Khilafah; Antara Cita-cita dan Fakta”.

Sebagai sebuah khasanah jurnalistik, artikel tersebut layak untuk mendapat apreasiasi. Namun jika ditelisik dari sisi penjagaan pemikiran Islam, ada beberapa ulasan yang kiranya perlu dikritisi.

Petikan dari sebuah hadits riwayat Imam Ahmad: ”Tsuma takunu Khilafat[an] ‘ala Minhajin nubuwwah.” Ini saja sudah cukup untuk menjawab pihak yang tak mengakui bahwa pernyataan khilafah ada dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Belum lagi ditambah nash-nash lain.

Pula halnya secara terminologis, dimaksud Imamah adalah khilafah, dan Imam adalah khalifah atau Amirul Mu’minin. Yang jelas begitu banyak pernyataan di dalam sumber hukum Islam tersebut. Dr. Dhiyauddin ar-Rays pun juga menyatakan dalam kitabnya An-Nazhariyat As-Siyasiyah al-Hayatul Islamiyyah: “Perlu diperhatikan bahwa Khilafah, Imamah Al-Kubra, dan Imarah Al-Mu’minin adalah istilah-istilah yang sinonim dengan makna yang sama.”

Di sini kapasitas kami tidak mengetahui saudara AS berada dipihak mana, namun kami berkhusnudzon bahwasanya beliau berada dipihak yang mengakui adanya pernyataan khilafah dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Sebab jika beliau berada di pihak seberang, maka itu menyerupai tipikal kaum sekularisme, pluralisme dan liberalisme (baca; Sepilis) yang mencoba menghadang tegaknya khilafah dengan dalih tersebut.

Selanjutnya saudara AS menyatakan bahwa sesungguhnya penerapan syari’at adalah suatu hal dan penegakkan khilafah adalah suatu hal lain.

Kami rasa ini aneh, padahal substansi khilafah adalah penerapan syariah Islam secara kaffah. Namun jika yang dimaksud penerapan sebagian dari syariah (setengah-setengah) adalah berbeda dengan penerapan syariah Islam secara kaffah, tentu ungkapan saudara AS itu benar. Memang berbeda.

Menyangkut konsep detail khilafah, mungkin ada ketidaksamaan dari para ulama, tetapi konsep-konsep dasar utamanya mengenai prinsip kedaulatan (as-siyadah), kekuasaan (al-sulthah), kesatuan kepemimpinan dan hak tabanni pada khalifah, pastilah sama meski dalam buku-buku itu dibahas dalam istilah yang berbeda-beda. Karena itu, tidak perlu dikhawatirkan adanya perbedaan konsep, apalagi dikhawatirkan bakal munculnya kekacauan atau perpecahan. Lagi pula, fakta sejarah menunjukkan, konsep khilafah itu bisa diterapkan dengan baik. Menurut para sejarahwan, paling sedikit selama 700 tahun dari era kejayaan Islam disebut sebagai the golden age. (Ismail Yusanto, majalah al-waie, 2008).

Bagaimanapun, sistem khilafah adalah sistem yang dijalankan oleh manusia, jika ada beberapa noktah hitam (seperti pertikaian, dsb) perjalanan akibat kesalahan manusianya bukan sistemnya. Kami kira saudara AS tau akan hal itu. Nilainya pun tidak seberapa dibanding noktah hitam sistem-sistem yang lain. Farid Wadjdi (Ilusi Negara demokrasi, 2009) menuturkan adanya noktah hitam tersebut bisa dijadikan pelajaran dan kajian tentang pelaksanaan dari hukum-hukum syara oleh manusia. Artinya, dari sejarah kita mengetahui apakah hukum syara’ tersebut dilaksanakan atau tidak, kita juga tahu bahwa apa akibat kalau hukum-hukum syara’ tersebut tidak dilaksanakan.

Padahal membeberkan noktah hitam sistem khilafah dengan tidak menyertakan kegemilangan peradaban Islam (khilafah) seperti pada artikel saudara AS, hanyalah akan menimbulkan keraguan ditengah-tengah masyarakat. Lagi-lagi kaum Sipilis yang tersenyum.

Terkait ungkapan KH Agus Salim, dengan tidak mengurangi rasa hormat terhadap beliau, tentu tidak ada yang tidak sepakat bahwa ungkapan itu bukanlah dalil syara’. Apalagi kita juga tidak tahu jika beliau merevisi pemikirannya sebelum akhir hayatnya, dengan belum adanya pubikasi. Seperti halnya Sayyid Qutb pun merevisi pemikirannya yang terdahulu setelah mendapat ma’lumat baru yang cemerlang.

.

Adanya Penolakan

Penolakan dari kaum Sepilis merupakan hal ini sangat wajar terjadi, sistem manapun pasti ada penolakan. Sebagai contoh, sistem demokrasi juga banyak kaum muslim yang menolak, namun juga mampu berdiri, awal berdirinya pun tanpa menanyai masyarakat apakah setuju atau tidak. Andai saja demokrasi bukan sistem kufur serta mampu menyejahterakan, tentu banyak yang kemudian mendukung.

Demikian halnya contoh sederhana lain, ketika pemilu presiden tahun 2009, presiden SBY menang dengan prosentase perolehan suara 60, 8 persen, sedangkan pasangan Mega-Prabowo 26, 7 persen, JK-Wiranto 12, 4 persen, semua itu diluar prosentase golput disengaja, alias berniat tidak memilih. Hal tersebut setidaknya menunjukkan bahwa hampir sebagian masyarakat tidak setuju dengan SBY. Meski begitu, SBY juga masih berkuasa. Dan jika saja SBY mampu menyejahterakan, lebih-lebih memberi kepuasan ideologis, tentu banyak yang kemudian berbondong-bondong mendukung SBY. Sebaliknya jika kepemimpinan SBY mendapat raport merah, dukungan kepadanya pun menurun drastis. Hasil survei yang dilakukan LSI pada 1-7 Juni 2011, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kepemimpinan SBY turun anjlok.

Karena itu, penolakan adalah bagian dari tantangan perjuangan yang seharusnya tak membuat pesimis. Jumlah sipilis aktif pun sejatinya juga tidak terlalu banyak. Meski sampai detik ini diantara mereka ada yang bebal ketika didakwahi , namun bukan hal yang mustahil kaum sipilis pun akan berbondong-bondong mendukung syariah Islam setelah dakwah efektif yang diselenggarakan negara khilafah, ditambah dengan tatanan kehidupan yang memberikan kesejahteraan lahir dan batin.

.

Berteriak-teriak ?

Entah elemen umat Islam mana yang di tuding oleh saudara AS ini, sebab tidak ada satupun selama ini organisasi Islam yang menyatakan bahwa metode menegakkan khilafah adalah dengan berteriak-teriak dan “unjuk gigi” di televisi. Demikian halnya HTI yang disinggung saudara AS di awal artikel pun tidak menggunakan metode itu.

Setelah melalui pengkajian yang mendalam terhadap sirah Nabi Saw, HTI telah menemukan bagaimana metode menegakkan negara Islam sebagaimana metode Rasulullah Saw, pertama: Tatsqif (pembinaan), kedua: Tafa’ul ma’al ummah (interaksi dengan ummat), ketiga: Istilamul Hukmi (penerapan hukum) melalui thalabun nushrah (mendakwahi sekaligus meminta dukungan) para pemilik kekuatan riil di tengah masyarakat. Sedangkan acara seperti masirah, konferensi rajab yang di liput media adalah merupakan beberapa uslub saja dalam rangka memberikan penyadaran pada masyarakat, semuai itu bagian dari interaksi dengan umat. Masih banyak uslub-uslub lain, seperti berceramah di Masjid, mengadakan kajian di kantor-kantor, kontak tokoh (termasuk politisi, jenderal, pengacara, budayawan, dst)

Jika perjuangan ini dianalogikan seperti permainan sepak bola sebagaimana menurut uraian saudara AS, maka inilah urgensinya setiap elemen umat untuk diajak benar-benar bermain bola, patut disayangkan memang jika berniat main bola tapi justru bermain kasti atau badminton.

Nada pesimistis juga tidak seharusnya keluar dari ucapan kita. Di satu sisi wajar jika dalam benak belum ada gambaran bagaimana langkah taktis dalam meraih asa tersebut. Ibarat orang Solo yang hendak ke Jakarta tapi tidak tahu jalan yang harus dilewati.

Pertolongan Allah itu dekat. Dan perlu diingat, perjuangan penegakkan syariah dan khilafah bukan dalam lingkup mindset berfikir lokal keIndonesiaan. Artinya, khilafah Islam tidak harus mulai tegak dari Indonesia. Namun juga tak ada salahnya jika berharap negri ini yang menjadi titik awal berdirinya negara adi daya khilafah. “Perlawanan tak kenal padam”. Wallahu a’lam.

.

sumber : hidayatullah.com


ISLAM, Selalu lebih Unggul!

Melihat keunggulan sistem pidana dalam ISLAM

Pengantar

Sistem pidana Islam dalam media massa atau buku-buku karya para orientalis kafir dan pengikutnya –yakni kaum liberal— selalu diopinikan kejam dan tidak manusiawi. Hukuman potong tangan untuk pencuri atau hukuman mati untuk orang murtad, misalnya, sering dituduh terlalu kejam dan sadis. Ujung-ujungnya, ide yang mereka tawarkan adalah mencari “substansi” sistem pidana Islam, yaitu memberikan hukuman bagi yang bersalah, apa pun bentuk hukumannya. Pencuri cukup dipenjara, misalnya, bukan dipotong tangannya. Pada akhirnya, sistem pidana kafir warisan penjajah tetap bisa bercokol terus di negeri Islam ini.

 

Pandangan sinis terhadap sistem pidana Islam itu lahir bukan karena sistem pidana Islamnya yang batil, melainkan lahir karena 2 (dua) alasan utama.

 

Pertama, secara konseptual, sistem pidana Islam dianggap bertentangan dengan pola pikir kaum sekuler/liberal. Misalnya, hukuman mati untuk orang murtad, dianggap kejam dan salah bukan karena Islamnya yang salah, tapi karena bertentangan dengan prinsip kebebasan beragama yang dianut secara fanatik oleh kaum sekuler.

 

Kedua, secara praktikal, sistem pidana yang sedang diterapkan memang bukan sistem pidana Islam. Hukum potong tangan untuk pencuri dipandang salah dan sadis bukan karena Islamnya yang salah, melainkan karena bertentangan dengan sistem pidana kafir warisan penjajah, yaitu pasal 362 KUHP. Dalam pasal ini, pencuri diancam pidana penjara paling lama lima tahun. Patut diketahui KUHP ini adalah pidana warisan penjajah Belanda yang dikenal dengan nama Wetboek van Strafrecht yang berlaku di negeri muslim ini sejak 1946 (Muljatno, KUHP, 2001:128).

 

Padahal, studi mendalam dan objektif terhadap sistem pidana Islam telah menunjukkan berbagai keunggulannya bila dibandingkan dengan sistem pidana sekuler yang tengah diterapkan. Tulisan ini mencoba mengungkap segi-segi keunggulan sistem pidana Islam tersebut, baik keunggulan secara konseptual (teoretis), maupun keunggulan praktikal (empiris).

Keunggulan Konseptual

Secara konsektual (teoretis), paling tidak ada 5 (lima) keunggulan sistem pidana Islam.

 

Pertama, sistem pidana Islam berasal dari Allah, Dzat yang Maha Mengetahui perihal manusia secara sempurna termasuk gerak-gerik hati dan kecenderungan naluriah manusia. Ini tentu sangat berbeda dengan sistem pidana sekuler yang dibuat oleh manusia yang sok tahu dan sok pinter tentang manusia, padahal sebenarnya ia lemah dan serba terbatas jangkauan pandangannya.

 

Allah SWT berfirman :

 

Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS Al-Maa`idah [5] : 50)

 

Ayat di atas maknanya adalah tidak ada hukum siapapun yang lebih baik daripada hukum Allah. (Imam as-Suyuthi, Tafsir Al-Jalalain, hal. 91). Jadi, meski redaksinya berupa pertanyaan (“siapakah”), tapi yang dimaksud adalah menafikan atau mengingkari sesuatu (“tidak ada siapa pun”). (Ghayalaini, Jami’ al-Durus al-‘Arabiyah, I/139).

 

Sumber sistem pidana Islam yang berasal dari wahyu Allah ini selanjutnya melahirkan keunggulan-keunggulan lain sebagai implikasinya. Antara lain, penerapan sistem pidana Islam akan dianggap sebagai wujud ketakwaan individu kepada Allah.

 

Sebaliknya, penerapan sistem pidana sekuler dengan sendirinya sama sekali akan kosong dari unsur ketakwaan, karena ia tidak bersumber dari wahyu Allah. Ketika hukum potong tangan diterapkan, ia adalah wujud ketakwaan kepada Allah. Sebab hukuman itu diperintahkan Allah dalam Al-Qur`an (lihat QS Al-Maidah [5] : 38).

 

Tapi ketika manusia menerapkan hukum pidana penjara untuk pencuri, yaitu menerapkan pasal 362 KUHP, berarti ia tidak bertakwa kepada Allah, karena ia tidak menjalankan sanksi ketetapan Allah, tapi sekedar sanksi bikinan manusia sesamanya. Kalau hakim muslim merasa bertakwa kepada Allah dengan menjalankan pasal 362 KUHP, jelas ia sedang berkhayal atau bermimpi kosong.

 

Dengan kata lain, menjalankan sistem pidana Islam tak ubahnya dengan melaksanakan sholat, puasa, haji, dan ibadah ritual lainnya. Jadi sistem pidana Islam bersifat spiritual (ruhiyah). Sebab semuanya adalah hukum yang berasal dari Allah SWT yang merupakan ketakwaan jika dilaksanakan dengan benar oleh seorang muslim.

 

Kedua, sebagai implikasi dari keunggulan pertama, maka keunggulan berikutnya adalah, sistem pidana Islam bersifat tetap (dawam), konsisten, dan tidak berubah-ubah mengikuti situasi, kondisi, waktu dan tempat. (Audah, at-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami, I/24-25). Allah SWT berfirman :

 

Telah sempurna kalimat Tuhanmu, sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat mengubah-ubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-An’aam [6] : 115)

 

Sebaliknya sistem pidana sekuler tidak memiliki sifat konsisten ini, karena ia akan selalu berubah dan berbeda-beda mengikuti kehendak manusia sesuai situasi, kondisi, waktu dan tempat. Penyebab hal ini tiada lain karena sumbernya bukan dari wahyu Allah, tapi dari manusia itu sendiri, sehingga berpotensi sangat tinggi untuk berubah, berbeda, dan berganti.

 

Dalam sistem pidana Islam, meminum minuman keras (khamr) adalah haram dan merupakan kejahatan (jarimah/jinayah) untuk siapapun di mana pun dan kapan pun (al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hal. 49). Minum khamr hukumnya haram di negeri Arab yang panas, sebagaimana ia haram untuk muslim yang tinggal di Rusia yang dingin.

 

Ini beda sekali dengan sistem pidana sekuler. Dulu pada tahun 1920-an Amerika Serikat pernah melarang minuman keras. Tapi dasar bangsa Amerika adalah bangsa pemabok, akhirnya mereka tidak tahan dan minuman keras lalu dibolehkan lagi untuk ditenggak oleh masyarakat Amerika yang kafir.

 

Memang dalam sistem pidana Islam ada jenis hukuman ta’zir yang memungkinkan adanya perbedaan sanksi hukuman yang penetapannya diserahkan kepada qadhi (hakim). Misalnya pengguna narkoba, dapat dipenjara sampai 15 tahun atau dikenakan denda yang besarnya diserahkan kepada qadhi (al-Maliki, Nizham al-Uqubat, hal.189). Ini berarti bisa saja sanksi penjaranya bisa kurang dari 15 tahun, dan besarnya denda bisa berbeda-beda.

 

Tetapi ini bukan berarti hukum bisa berubah mengikuti waktu dan tempat, sebab hukumnya tidak berubah, yaitu hukum mengkonsumsi narkoba itu tetap haram. Yang berbeda hanyalah kadar sanksinya, bukan boleh tidaknya mengkonsumsi narkoba. Ini beda sekali dengan kejadian di AS, dimana yang berubah justru boleh tidaknya minum khamr.

 

Ketiga, sanksi dalam pidana Islam bersifat zawajir (membuat jera di dunia) dan jawabir (menghapus dosa di akhirat). Jadi sistem pidana Islam itu berdimensi dunia dan akhirat. Sedang sistem pidana sekuler jelas hanya berdimensi dunia saja. Sistem sekuler memang sangat cetek (dangkal) dan picik wawasan dan dimensinya.

 

Sifat zawajir itu, artinya sistem pidana Islam akan membuat jera manusia sehingga tidak akan melakukan kejahatan serupa. Misalnya dengan menyaksikan hukuman qishash bagi pelaku pembunuhan, akan membuat anggota masyarakat enggan untuk membunuh sehingga nyawa manusia di tengah masyarakat akan dapat terjamin dengan baik. Allah SWT berfirman :

 

Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang berakal, supaya kamu bertakwa.” (QS al-Baqarah [2] : 179)

 

Sedang sifat jawabir, artinya sistem pidana Islam akan dapat menggugurkan dosa seorang muslim di akhirat nanti. Dalam peristiwa Baiat Aqabah II, Rasulullah SAW menerangkan bahwa barangsiapa yang melakukan suatu kejahatan, seperti berzina, mencuri, dan berdusta, lalu ia dijatuhi hukuman atas perbuatannya itu, maka sanksi itu akan menjadi kaffarah (penebus dosa) baginya (HR. Bukhari, dari Ubadah bin Shamit RA) (M. Husain Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islami, hal. 64).

 

Maka, dalam sistem pidana Islam, kalau orang mencuri lalu dihukum potong tangan, di akhirat Allah tidak akan menyiksanya lagi akibat pencurian yang dilakukannya di dunia. Hukum potong tangan sudah menebus dosanya itu. Tapi dalam sistem pidana sekuler, sifat jawabir ini tidak ada. Nihil. Jadi kalau seseorang mencuri dan dipenjara (bukan dipotong tangan), di akhirat nanti masih akan diazab oleh Allah karena pencurian yang dilakukannya di dunia. Jadi, dengan sistem pidana sekuler, orang akan menderita secara double, di dunia sekaligus di akhirat. Mengerikan, bukan? Nauzhu billah….

 

Keempat, Dalam sistem pidana Islam, peluang permainan hukum dan peradilan sangat kecil. Ini terutama karena, sistem pidana Islam itu bersifat spiritual, yakni menjalankannya berarti bertakwa kepada Allah. Selain itu, hakim yang curang dalam menjatuhkan hukuman, atau menerima suap dalam mengadili, diancam hukuman yang berat oleh Allah, yaitu masuk neraka atau malah bisa menjadi kafir (murtad).

 

Rasulullah SAW bersabda : “Akhdhul amiiri suhtun wa qabuulul qaadhiy ar-risywata kufrun.” (Hadiah yang diterima oleh seorang penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima oleh hakim adalah kufur) (HR. Ahmad).

 

Berdasar hadits itu, seorang ulama dari kalangan tabi’in, yakni Abu Wa`il bin Salamah berkata,”Seorang qadhi (hakim) yang menerima hadiah, ia makan barang haram dan jika menerima suap, ia telah sampai pada kekufuran.” (Al-Baghdadi, Serial Hukum Islam, hal. 62)

 

Kelima, Dalam sistem pidana Islam, seorang qadhi memiliki independensi tinggi, yaitu vonis yang dijatuhkannya tak bisa dibatalkan, kecuali jika vonis itu menyalahi syariat.

 

Kaidah fiqih menyebutkan,”al-ijtihad laa yunqadhdhu bi-mitslihi.” (Ijtihad tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad yang semisalnya). (Zallum, Nizham al-Hukm fi al-Islam, hal. 193). Artinya, vonis yang dijatuhkan seorang hakim sebagai hasil ijtihadnya, tidak dapat dibatalkan oleh ijtihad yang dihasilkan oleh hakim lainnya.

 

Maka dalam peradilan Islam tidak dikenal sistem “banding” yakni mengajukan peninjauan vonis pada tingkat peradilan yang lebih tinggi, sebagaimana dalam sistem peradilan sekuler. Sebab sekali vonis dijatuhkan, ia berlaku secara mengikat dan langsung dijalankan. Kecuali jika vonis itu salah, maka wajib dibatalkan. Misalnya seorang yang dijatuhi vonis hukuman mati (qishash) atas dasar pengakuan, lalu terbukti pengakuannya tidak benar karena ada saksi-saksi yang membatalkan kesaksiannya itu.

Keunggulan Praktis (Empiris)

Secara empiris, keunggulan sistem pidana Islam pun masih dapat dibuktikan hingga sekarang, meski negara Khilafah sebagai institusi penegaknya sudah hancur sejak tahun 1924.

 

Negara Arab Saudi, walau pun belum Islami seratus persen –karena masih menggunakan sistem monarki (bukan Khilafah)– tapi sistem pidana Islam yang diterapkannya menunjukkan keunggulan signifikan bila dibandingkan sistem pidana sekuler yang dijalankan di negara-negara Arab lainnya, yaitu di Suriah, Sudan, Mesir, Irak, Libanon, dan Kuwait. Rata-rata angka pembunuhan di Saudi (dalam 100.000 penduduk) dalam periode 1970-1979 yang besarnya 53, ternyata hanya 1/6 dari angka pembunuhan Mesir dan Kuwait, 1/7 dari angka pembunuhan Suriah, 1/9 dari angka pembunuhan Sudan, 1/16 dari angka pembunuhan Irak, dan hanya 1/25 dari angka pembunuhan Libanon. (Topo Santoso, 2003: 138-143).

 

Jika Saudi dibandingkan dengan negara Barat, seperti Amerika Serikat, angkanya akan lebih signifikan dan dramatis. Bayangkan, angka pembunuhan Saudi selama 1 tahun sama dengan angka pembunuhan AS dalam sehari! Sebab rata-rata angka pembunuhan Saudi selama 10 tahun (1970-1979) hanya ada 53 kasus pembunuhan per tahun. Di AS (sepanjang 1992 saja) terjadi 20.000 kasus pembunuhan, atau 54 orang terbunuh per hari (al-Basyr, 1995:45).

 

Bayangkan pula, angka perkosaan di Saudi selama 1 bulan sama dengan angka perkosaan AS dalam sehari! Sebab rata-rata angka perkosaan Saudi selama 10 tahun (1970-1979) hanya ada 352 kasus perkosaan per tahun. Jadi per bulan di Saudi terjadi sekitar 29 perkosaan. Di AS (sepanjang 1992 saja) terjadi 10.000 kasus perkosaan, atau sekitar 27 perempuan diperkosa per hari. Ini kurang lebih setara dengan angka perkosaan Saudi selama 1 bulan (Qonita, 2001:53-54). Subhanallah!

 

Penutup

Dari uraian keunggulan konseptual dan praktikal di atas, nampak jelas sistem pidana Islam jauh lebih unggul jika dibandingkan sistem pidana sekuler yang diterapkan saat ini.

 

Sudah saatnya sistem pidana sekuler warisan penjajah yang kafir itu dihapuskan sekarang juga, sebab ia bertentangan secara total dengan Islam dan hanya menimbulkan dosa dan kerusakan di dunia dan akhirat. [ ]

Oleh : M. Shiddiq al-Jawi

***

Lalu mengapa umat ISLAM seolah tidak menunjukkan keunggulannya? maka pasti jawabnya hanya satu, karena saat ini aturan ISLAM tidak diterapkan secara kaffah dalam bingkai Khilafah!


Integrasi Sains dan ISLAM

Ada sejumlah pertanyaan menarik tentang kedudukan sains dan Islam. Pertanyaan ini berakar dari fenomena-fenomena berikut:

Munculnya kegairahan baru atas sebagian cendekiawan Islam atas sains dan keyakinan bahwa kemunduran Islam itu akibat melalaikan sains dan terlalu menonjolnya fiqih.

Munculnya sebagian cendekiawan yang meyakini kembali bahwa Qur’an adalah sumber inspirasi sains, setelah ditemukannya bukti-bukti sains modern yang sesuai dengan ayat-ayat Qur’an. Ilmu yang terinspirasi Quran ini bahkan sering diklaim sebagai sains Islami.

Di sisi lain: tingkat religiositas yang tetap belum membaik di kalangan ilmuwan sains Barat – sekalipun dapat teramati bahwa tingkat religiositas di kalangan ilmuwan sains ini masih lebih baik daripada ilmuwan sosial.

Tiga fenomena ini membuat di satu sisi umat Islam semakin bersemangat dalam beragama, namun di sisi lain mereka masih mencari bentuk, bagaimana sesungguhnya integrasi sains dan Islam.

Pada berbagai jenis pendidikan Islam di Indonesia, integrasi ini dicoba baru dalam taraf penggabungan kurikulum (Depdiknas+Depag), sehingga total jam belajar siswa menjadi relatih jauh besar dibanding sekolah biasa. Karena itu kajian bagaimana integrasi sains dan Islam itu perlu ditelaah lebih jauh.

Sejarah Kedudukan Ilmu di dalam Islam

Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan. Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama.

Hunke dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat Islam di masa khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal.

Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis menjadikan ilmu “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Para konglomeratpun sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.

Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini. Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu tanpa dikotomi ilmu agama dan sains yang bebas nilai.

Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma. Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai. Bahkan Rasulullah telah menyuruh umat Islam untuk berburu ilmu sampai ke Cina, yang saat itu pasti bukan negeri Islam.

Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi dan guideline.

Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb

Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmu, yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Ontologi

menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau diteliti. Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18). Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar tafsir menyandingkan buku Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” surat al-Ghasiyah tersebut.

Kaidah “Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb. Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing.

Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya.

Epistemologi

menyangkut metode suatu ilmu dipelajari. Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syara’pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia.

Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Karena itu, ilmu seperti sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti ilmu itu digunakan. Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.

Sedang aksiologi

menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban (hadharah) manusia / masyarakat yang menggunakannya. Banyak hasil riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk membenarkan suatu model yang bias ideologis ataupun kepentingan tertentu.

Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi dibatasi hukum syara’. Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, bukan menjajah negeri-negeri lain. Karena itu kebuntuan untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin – seperti yang terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.

Qur’an sebagai Sumber Inspirasi Ilmu

Obsesi menjadikan Qur’an sebagai sumber inspirasi segala ilmu tentu suatu hal yang positif, karena ini bukti keyakinan seseorang bahwa Qur’an memang datang dari Zat Yang Maha Tahu. Namun, obsesi ini bisa jadi kontra produktif jika seseorang mencampuradukkan hal-hal yang inspiratif dengan sesuatu yang empiris, atau memaksakan agar kaidah hukum empiris sesuai penafsiran inspiratifnya.

Contoh yang pertama misalnya ketika ada seseorang yang menafsirkan ayat:

“ … Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia …” (QS 57-al Hadid: 25)

Kami pernah mendapatkan seseorang yang ingin menggugat Hukum Kekekalan Energi dengan landasan ayat ini, seraya mengajukan proposal untuk membuat energy multiplier.

Energy Multiplier adalah pengganda energi. Alat semacam ini – kalau ada – akan memiliki konsekuensi yang sangat jauh, karena dengan rangkaian beberapa multiplier, teoretis energi 1 watt saja akan mampu memberi energi untuk seluruh dunia. Tentu saja alat semacam ini secara fisika maupun teknis mustahil. Namun perancangnya yakin 100% bahwa dia benar, karena rancangan mesinnya diyakininya di-backup oleh ayat al-Hadid tadi. Tentu saja ini penafsiran yang sembrono.

Sedang contoh yang kedua adalah ketika pada suatu saat, teori sains yang berlaku dianggap cocok dengan suatu ayat, lalu beberapa abad kemudian eksperimen membuktikan bahwa teori tadi keliru atau tidak lengkap, lalu orang cenderung menolak penemuan baru itu dengan alasan tidak sesuai dengan Qur’an. Hal seperti ini terjadi di abad pertengahan di kalangan gereja di Eropa, yang menolak teori heliosentris dari Copernicus dan Galileo, karena dianggap bertentangan dengan dogma al-Kitab bahwa bumi adalah pusat perhatian Tuhan. Hal serupa – walaupun dalam skala yang lebih kecil – juga terjadi di beberapa kalangan umat Islam. Sebagai contoh: ketika di Qur’an disebutkan adanya 7 buah langit,

Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Qs. 41-Fussilat:12)

Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala. (Qs. 67-al Mulk:5)

ada sejumlah orang yang kemudian menafikan perjalanan ke bulan atau ke planet-planet, apalagi bila itu dilakukan orang-orang kafir yang dianggap temannya syaitan. Kita tentu ingat bahwa “planet” seperti Venus atau Mars dalam bahasa Arab akan disebut “bintang”. Mungkin di sini tafsir kita yang perlu direvisi.

Religiousitas di kalangan Ilmuwan

Bagi orang yang menekuni sains dan al-Quran, akan didapatkan banyak ayat yang menyentuh suatu cabang sains – yang baru bisa dikenali sebagai sains setelah zaman modern. Karena saya mempelajari geodinamika, saya amat tersentuh dengan ayat seperti berikut:

Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan…(QS 27 – an-Naml:88).

Tersentuhnya adalah bahwa fakta pergerakan benua beserta gunung-gunung di atasnya beberapa decimeter pertahun baru diketemukan abad-20. Darimana Rasulullah, yang hidup 14 abad yang lalu, bisa mengetahui fenomena ini, kalau bukan Yang Maha Berilmu yang memberitahunya?

Hal serupa akan ditemui oleh orang astronomi, biologi, oceanologi dan sebagainya. Pertanyaannya, mengapa tidak semua saintis kemudian menjadi religious?

Jawabannya: tidak cukup hanya mengenal keberadaan Tuhan. Seperti tidak cukupnya kita ketika sadar punya boss, namun tidak tahu apa visi-missi boss, dan juga tidak tahu apa yang membuat boss senang atau marah.

Mereka menganggap persoalan Tuhan ini persoalan pribadi, bahkan bisa-bisa justru “menyalahkan” Tuhan ketika dilihatnya Tuhan “tak berbuat apa-apa” ketika ada ummat-Nya yang menderita, tertindas, lapar atau sakit.

Mereka mungkin akan menyembah Tuhan dengan suatu cara yang menurutnya paling rasional. Mereka gagal memahami kemauan boss – karena mereka berhenti dengan tahu bahwa ada boss, namun tidak mencari tahu, siapa orang kepercayaan boss yang pantas mereka jadikan rujukan dan juga teladan.

Wajarlah, bahwa dalam Islam dituntut dua jenis pengakuan: dikenal dengan syahadat Tauhid dan syahadat Rasul. Tanpa mengikuti Rasul, pengenalan keberadaan tuhan tidak akan banyak berbuah, karena kita tetap belum tahu hidup kita mau dikemanakan. Jadinya kita tidak tahu bahwa Tuhan akan menolong orang-orang yang tertindas atau lapar atau sakit itu melalui tangan-tangan kita. Kita akan terinspirasi untuk melakukan upaya itu setelah mengkaji manual yang diberikan Tuhan via para Rasul. Di situlah kita tahu, bahwa kita hidup sebagai agen, untuk sebuah missi pada sautu lahan yaitu planet bumi ini.

Integrasi Sains & Islam pada Pendidikan

Dengan mengetahui seluruh “duduk perkara” sains dan Islam di atas, tampak bahwa hakekat persoalannya adalah memadukan agar pada setiap aktivitas kita, setelah ada kerja keras dari kekuatan tubuh kita, ada kerja cerdas berdasarkan sains dan kerja ikhlas berdasarkan Islam.

Dalam dunia pendidikan, yang biasanya akan dikembangkan pada seorang anak didik adalah olah fikirnya (kognitif), sikapnya (afektif) dan life-skill-nya (psikomotorik). Di sinilah perlu penelaahan yang mendalam agar di setiap aspek ada muatan sains dan Islam secara sinergi. Bahkan lebih jauh lagi, beberapa mata pelajaran bisa dipadukan sehingga tercipta suatu fokus yang berguna secara praktis.

Sebagai contoh: Mengajarkan masalah air.

Kita bisa membahas mulai dari soal siklus air (IPA/fisika). Agar terkesan, bahasan bisa dilakukan di tepi kolam atau sungai. Di situ sekaligus ada pengetahuan tentang IPS/geografi. Kemudian bagaimana manusia berbagi air (matematika). Lalu bagaimana hukum-hukum Islam yang berkait dengan air (thaharah, hadits “manusia berserikat dalam air, api dan padang gembalaan”). Dan terakhir siswa diminta membuat karangan tentang bagaimana menjaga sumberdaya air (bahasa Indonesia / bahasa Inggris).

Contoh lain: mengajarkan masalah tuas.

Tuas atau pengungkit umumnya diberikan dalam pelajaran fisika (IPA). Kenapa tidak melakukannya di tukang beras yang punya timbangan, sekaligus mengenalkan pasar (IPS). Lalu anak-anak diminta menghitung berapa Rupiah yang dibayarkan bila yang dijual sepuluh kilo beras dan dua kilo gula pasir (matematika). Lalu diberikan hukum-hukum Islam tentang larangan mengurangi timbangan (agama). Dan terakhir: buat karangan tentang bagaimana agar pasar tampak rapi dan nyaman (bahasa).

Dalam cakupan yang lebih mikro, kita bisa pula memasukkan motivasi Islam ke dalam semua kajian sains. Konon Imam al-Khawarizmi ingin mengembangkan persamaan-persamaan aljabar karena ingin menyelesaikan persoalan pembagian waris dalam Islam yang akurat.

Seorang pendidik muslim dapat membuat contoh-contoh yang amat relevan dengan sisi peran murid sebagai siswa/siswi muslim.

Misalnya: untuk matematika geometri, bisa dibuatkan contoh untuk menghitung tinggi masjid atau luas areal yang diperlukan untuk membangun masjid.

Untuk pelajaran fisika mekanika bisa dibuat soal berapa sudut lontaran meriam untuk dapat mencapai benteng kafir penjajah.

Untuk pelajaran kimia titrasi bisa dibuat soal berapa cc larutan yang harus disediakan – sampai warnanya berubah – untuk mendeteksi adanya lemak babi.

Demikianlah, masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh para pendidik muslim. Islam menjadi ontologi, epistemologi dan aksiologi dari semua aspek sains, dan pada gilirannya, sains yang dipelajari semua terasa terkait dengan kehidupannya praktis sehari-hari.

Yuph, Islam membumi. Sekolahpun jadi menyenangkan.

 

Dr. Ing Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina

(Profesor Riset di BAKOSURTANAL)


JODOH


Maha suci Allah yang telah menciptakan semuanya berpasang-pasangan, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui (QS Yaasin, 36:36)

Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (QS Adz Dzariyat:49)

.

Siapakah Jodoh…..

Misi penciptaan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah SWT sebagaimana tercantum dalam Al Qur’an surat Adz Dzariyaat, 51:56. Dengan demikian manusia seharusnya menyadari bahwa segala perbuatan dalam hidupnya hendaklah bernilai ibadah. Bahkan berkaitan dengan terbatasnya perjalanan hidup seseorang Allah SWT memperingatkan kita untuk tidak mati kecuali dalam keadaan Islam. (QS Ali Imran, 3:102) Tentulah hal ini menegaskan kembali nilai ibadah dalam seluruh aspek kehidupan sampai akhir hayat kita. Untuk mencapai misi yang mulia ini manusia tidak sepenuhnya dapat menjalankannya sendirian. Pada tataran individual hal tersebut masih dimungkinkan. Tetapi karena manusia adalah makhluk sosial maka interaksi dalam mencapai misi ini perlu dilakukan ibadah sosial, dilakukan secara komunal.

Untuk membangun masyarakat tentulah ada unsur pembentuknya. Keluarga dipahami sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat. Dan pembentukan keluarga haruslah melalui institusi pernikahan yang legal dan sebuah pernikahan biasanya didahului dengan perjodohan.

Jodoh, dengan kata lain pasangan (azwaj dalam bahasa Arab), telah ditetapkan bagi tiap orang. Allah SWT menciptakan manusia berpasangan dalam konteks hubungan yang legal – pernikahan- agar mendapatkan ketenangan (sakinah), cinta yang timbal balik (mawaddah) dan kasih sayang (rahmah). Lantas seperti apakah jodoh yang akan kita dapatkan. Anis Matta dalam bukunya Sebelum Mengambil Keputusan itu menyatakan bahwa yang penting bukanlah mendapatkan pasangan yang ideal, melainkan pasangan yang tepat. Barangkali dalam istilah bahasa Jawa seperti “Tumbu ketemu tutup”.

Surat Ar Ruum ayat 21 dalam Al Qur’an menjelaskan adanya kompatibilitas yang terbangun. Pasangan yang tepat adalah yang dapat saling mengisi dan memperbaiki kekurangan serta saling mendorong untuk mengoptimalisasi potensi masing-masing. Jangan sampai pernikahan justru membuat potensi kebajikan keduanya merosot sampai titik nol. Na’udzubillahimindzaalik!

.

Kriteria memilih jodoh

Pada dasarnya manusia memiliki berbagai kecenderungan sebagaimana telah disinyalir oleh Allah SWT dalam QS Ali Imran, 3:14. Adapun kecenderungan terhadap lawan jenis telah disyariatkan dalam bentuk yang legal dan dihalalkan yaitu pernikahan. Menuju sebuah pernikahan tentu didahului dengan proses pemilihan.

Rasulullah telah menyebutkan 4 hal yang bersifat fitrah yang akan muncul dalam proses ini, yaitu: kecantikan, kekayaan, keturunan dan Diin. Abu Hurairah ra. Berkata: Bersabda Nabi Saw: Wanita dinikahi karena 4 perkara: karena harta kekayaannya, atau karena kecantikannya, atau karena kebangsawanannya atau karena agamanya. Maka utamakan isteri yang beragama, pasti tidak rugilah usahamu (HR Bukhari, Muslim).

Dalam Hadits lain diriwayatkan Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang menikahi perempuan hanya karena kemuliaannya, Allah tidak akan menambah kepadanya kecuali kehinaan. Barang siapa menikahi perempuan hanya karena hartanya, Allah tidak akan menambah kecuali kefakiran. Barangsiapa yang menikahi perempuan hanya karena keturunannya, Allah tidak akan menambahkan kepadanya kecuali kerendahan” (HR. Thabrani).

Kemudian Rasulullah SAW menambahkan, “Barang siapa yang menikahi seorang perempuan karena ingin menjaga pandangan mata, memelihara kemaluan dari perbuatan zina, atau menyambung tali persaudaraan, maka Allah akan mencurahkan keberkahan kepada keduanya. (HR Thabrani).

Memilih kecantikan atau ketampanan bukanlah sesuatu yang sifatnya kekal. Bertambahnya usia berarti pembuktian atas proses penuaan. Maka kecantikan dan ketampanan sudah tentu akan berkurang. Meskipun demikian bukan berarti hal ini tidak bisa menjadi bahan pertimbangan. Boleh saja asalkan bukan merupakan bahan pertimbangan yang utama. Jika kekayaan yang menjadi dasar utama pemilihan, renungkanlah. Kekayaan itu milik siapa? Allah dapat mencabut kapanpun Dia menghendaki. Kekayaan yang ada padanya sekarang ini milik orang tuanyakah atau memang miliknya. Jangan lupa harta seorang wanita adalah miliknya pribadi. Suaminya tidak dapat menggugat untuk memilikinya. Kekayaan juga dapat menyebabkan seseorang jatuh dalam kesombongan Keturunan atau kebangsawanan tidak menjamin seseorang berakhlak baik. Tidak ada jaminan keturunan bangsawan akan menjadi ahlul jannah. Demikian juga sebaliknya. Dasar pemilihan yang paling aman adalah Diinnya. Seseorang yang memiliki pemahaman keagamaan yang baik akan mampu mengorientasikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah. Perilakunya akan dijaga agar tidak mendapat murka Allah SWT. Dan keinginan kuat untuk memasuki surga bersama keluarganya akan mendorongnya untuk bahu membahu dalam meningkatkan kualitas kebajikan keluarga.

Hal yang juga perlu diperhatikan dalam kriteria ini adalah sekufu. Sekufu bukan berarti seorang pemuda tampan hanya bisa berjodoh dengan gadis cantik. Atau jika anda sarjana lulusan Perguruan Tinggi Negeri terkemuka harus mendapatkan pasangan dari Perguruan tinggi yang sederajat pula. Sekufu yang dimaksud adalah adanya kesesuaian dan tidak ada kesenjangan yang terlalu jauh. Kesenjangan ini dikhawatirkan akan membuat proses adaptasi berjalan lambat dan berakhir pada pembangkangan terhadap pasangannya dan tidak mensyukuri ni’mat Allah SWT. Meskipun tidak ada ketentuan yang jelas tentang sekufu ini, para ulama menitikberatkan pada agamanya. Konteks sekufu ini dapat ditemui dalam surat An Nuur ayat 26 yang mengindikasikan bahwa wanita yang baik untuk laki-laki yang baik dan sebaliknya. Tidak ada masalah jika seorang menikah meski perbedaan jenjang pendidikan yang tajam. Yang perlu di atasi adalah masalah kesenjangan informasi dan komunikasi kelak ketika mereka menikah. Selama masalah tersebut dapat di atasi hal ini tidak menjadi hambatan. Sebagian ulama lain menyatakan bahwa sekufu terkait pada harta dan nasab. Tetapi sekali lagi tidak ada nash yang menegaskan sekufu dalam hal ini. Jika kita ingin menelusuri jejak Rasulullah Saw dan para sahabat dapat diketahui bahwa Rasulullah saw berusia 25 tahun saat menikah dengan ibunda Khadijah yang berusia 40 tahun. Juga dapat diketahui bahwa ketika Aisyah menggenapkan pernikahannya dengan Rasulullah pada usia 9 tahun dan Rasulullah telah mencapai usia 53 tahun. Jadi.. usia bukan penghalang.

Dalam hal kekayaan Ibunda Khadijah adalah pemilik maskapai dagang yang besar dimana Rasulullah adalah pegawainya. Dalam hal keturunan, Fatimah binti Qais adalah salah satu contohnya. Ketika habis masa iddahnya Rasulullah Saw melamar Fatimah untuk Usamah bin Zaid, anak seorang mantan budak. Semula Fatimah ingin menolak karena Usamah masih keturunan budak sedangkan ia adalah keturunan keluarga terhormat bangsa Quraisy. Namun akhirnya ia menikah dengan Usamah bermodalkan ketaatan kepada Rasulullah Saw dan menyatakan secara eksplisit hidupnya bahagia.

.

Menanti jodoh.. atau Mencari jodoh

Rasulullah SAW pernah menanyakan pada seorang sahabat dengan pertanyaan yang sama sebanyak tiga kali pada waktu yang berbeda, “Apakah engkau sudah menikah?”. Ini menyiratkan bahwa Rasulullah berharap agar sang pemuda segera menikah. Pertanyaan Rasulullah Saw adalah kalimat motivasi agar pemuda itu mulai memikirkan tentang pernikahan dan tidak larut dalam kehidupan melajang.

Kita juga mengetahui bersama dalam rangka pencegahan terhadap kerusakan moral yang terjadi pada masa nabi Luth as beliau menawarkan putri-putrinya dan putri-putri bangsanya untuk dinikahi oleh para lelaki kota Sodom. Tetapi mereka tetap menolak sampai turun azab Allah bagi mereka. Naudzubillahimindzaalik.

Umar bin Khattab juga melakukan hal yang sama pada putranya Ashim. Ketika suatu malam dalam perjalanan mengamati kehidupan masyarakatnya, Umar mendapati kekuatan iman seorang gadis penjual susu. Pagi harinya segeralah Ashim diminta untuk menikahi gadis tersebut. Salah satu keturunan mereka adalah Umar bin Abdul Aziz, seorang Khalifah terpandang. Umar juga melakukannya ketika mendapati menantunya, suami Hafshah, wafat. Ia berkeliling kepada para sahabat menanyakan kesediaan mereka untuk menikahi putrinya tapi tak seorangpun berkenan. Sampai akhirnya ia mengadu pada Rasulullah Saw. Setelah itu Rasulullah menikahi Hafshah.

Abdul Halim Abu Syuqqoh dalam bukunya mengisahkan tentang seorang wanita Mauritania yang mengajak seorang laki-laki shaleh untuk menikah. Ketika laki-laki itu terkejut, sang wanita hanya menyatakan, “Mengapa engkau terkejut? Bukankah yang aku tawarkan bukanlah perzinahan tetapi hal yang dibolehkan Allah?” Singkat cerita terjadilah pernikahan mereka.

Dikisahkan setelah Ibunda Khadijah ra wafat beberapa waktu berselang Rasulullah didatangi seorang wanita yang menawarkan dirinya untuk dinikahi oleh Rasulullah Saw. Keberaniannya muncul karena merasa iba melihat Rasulullah Saw dengan beban dakwah yang berat tidak memiliki pendamping untuk berbagi. Karena Rasulullah tidak berkenan salah seorang sahabat meminta izin kepada beliau untuk menikahi wanita itu. Setelah pernikahan wanita itu kembali menghadap Rasulullah Saw dan menawarkan kepada Rasulullah untuk menikah dengan wanita yang telah dipilihkannya, Saudah binti Zam’ah dan Aisyah binti Abu Bakar.

Beragam kisah yang telah kita baca menunjukkan bahwa jodoh adalah taqdir ikhtiari. Meski sudah ditetapkan oleh Allah, kita tidak pernah tahu sebelumnya siapa yang akan berjodoh dengan kita. Oleh karena itu tidak ada salahnya manusia mencari jodoh asalkan tidak melanggar aturan syar’i yang telah Allah tetapkan.

.

Cara Mencari Jodoh

Bicara tentang perjodohan seringkali pikiran kita melayang pada kisah Siti Nurbaya dan penderitaannya. Seakan-akan semua perjodohan pastilah berakhir mengenaskan seperti kisah itu. Apalagi kalau perjodohan itu dilakukan oleh orang tua. Padahal tidak ada jaminan perjodohan yang dilakukan oleh teman atau orang yang dipercaya lebih baik daripada yang dilakukan oleh orang tua.

Mencari jodoh memang bukan pekerjaan yang mudah. Hal ini sangat berkaitan dengan kedekatan hubungan kita dengan Allah dan kesiapan mental kita.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mencari jodoh:

a. Memohon kepada Allah SWT

. Mulailah dengan bersangka baik pada Allah (husnudzhan) bahwa Allah SWT telah menciptakan pasangan bagi kita. Ia tidak akan melupakan dan menyia-nyiakan kita. Sebagaimana tercantum dalam surat Yasin dan Adz Dzariyat yang dituliskan pada awal makalah ini.

• Mintalah kepada Allah mulai sekarang. Yang paling penting anda telah memohon kepada Dzat yang Maha Mengatur. Terserah Allah kapan jodoh itu akan diberikan. Jangan menyesal bila ternyata datangnya lebih cepat dari dugaan anda atau bahkan lebih lambat. Allah tahu mana saat yang paling tepat untuk kita.

b. Jadikan diri anda semakin baik dari waktu ke waktu.

Surat An Nuur ayat 26 menjelaskan bahwa jika anda menginginkan pasangan yang baik, maka tingkatkanlah kualitas diri anda. Kita tidak dapat menuntut orang untuk menjadi baik sementara kita tidak mau berubah menjadi lebih baik. Proses perubahan ini akan sangat berguna sampai anda menikah kelak. Karena adanya pasang surut dalam keimanan, bisa jadi lemahnya iman akan mempengaruhi satu sama lain. Karena itu harus ada yang terlatih untuk selalu memperbaiki diri dan memberikan pengaruh positif pada pasangannya

c. Meminta bantuan mediator

Perjodohan bukanlah semata-mata merupakan tanggung jawab individu yang akan menikah. Tanggung jawab ini pada dasarnya adalah pada kedua orang tua. Orang tualah yang berkewajiban memilihkan jodoh yang sesuai dengan kriteria Rasulullah SAW. Bukan yang semata-mata dapat membahagiakan anaknya secara materi. Tetapi jodoh yang tepat bagi anaknya dengan standar agama dan perilaku yang memadai. Dan tentunya dapat mempertanggung jawabkan amanah yang diemban didunia dan akhirat.

Pihak lain yang juga bertanggung jawab adalah kaum muslimin secara umum. Sebagaimana firman Allah dalam surat An Nuur, 24:32, “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak berkawin dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas Pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui”.

Yang dimaksudkan dengan pihak lain bisa saja teman, orang dekat yang dapat dipercaya atau kerabat. Sebaiknya jika anda meminta bantuan mereka, yakinkan bahwa mereka mengenali anda secara baik dan anda telah memberikan gambaran pasangan seperti apa yang anda harapkan. Ingatlah prioritas yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW. Inisiatifpun bisa datang dari sang mediator maupun orang yang bersangkutan.

d. Mencari sendiri

Proses pencarian yang dilakukan sendiri tidak dapat mengedepankan hawa nafsu semata-mata. Juga bukan berarti dibolehkan pacaran sebagaimana yang banyak dilakukan orang pada masa ini. Mencari sendiri juga bukan proses “trial and error”. Dasar proses pencarian ini hendaknya tetap berpegang pada syariat Allah yang tidak membenarkan manusia untuk berdua-duaan (khalwat) dengan non muhrim (apalagi bersentuhan!). Juga tetap harus menundukkan pandangan dan hati.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan Al Fadhal bin Abbas bin Abdul Muthalib sedang menunggang unta bersama Rasulullah SAW melewati seorang wanita muda. Al Fadhal dan wanita itu saling memandang sampai Rasulullah SAW palingkan wajah Al Fadhal dan menegurnya. Kisah ini menunjukkan ketertarikan terhadap lawan jenis adalah sesuatu yang fitrah, namun tidak berarti boleh menabrak rambu-rambu Allah. Agar proses mencari sendiri tetap dalam batasan syar’i dan tetap objektif dalam pemilihannya, musyawarah perlu dilakukan dengan orang terdekat untuk meyakinkan bahwa betul orang yang dituju memiliki Diin yang baik.

Dua hal terdahulu, meminta kepada Allah dan menjadikan diri semakin baik, adalah hal yang bersifat mutlak. Karena Allah yang paling tahu siapa jodoh kita. Sedangkan dua hal terakhir lebih bersifat teknis.

.

Keberanian mengambil keputusan

Mari kita sama-sama melihat hadits Rasulullah SAW yang disampaikan oleh ibnu Mas’ud r.a: “Aku pernah mendengar Rasulullah Saw bersabda, “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian telah mencapai ba’ah maka kawinlah. Karena sesungguhnya pernikahan itu lebih mampu menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan barang siapa belum mampu melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa. Karena puasa itu akan meredakan gejolak hasrat”. (HR Imam yang Lima)

Kata ba’ah dimaknai sebagai kemampuan untuk menafkahi. Tidak bermakna berpenghasilan besar. Maka penekanannya adalah pada etos kerja yang harus dibangun dan dipelihara. Janganlah lupa untuk senantiasa melakukan shalat istikharah sebagaimana Rasulullah mengajarkan para sahabat jika menemui persoalan hidup. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Jabir ra Rasulullah SAW mengajari kami untuk istikharah dalam semua perkara sebagaimana beliau mengajarkan kami Al Qur’an. Beliau bersabda, “Apabila salah satu diantara kamu berkepentingan terhadap satu urusan, maka hendaklah ia melakukan shalat 2 rakaat yang bukan fardhu, kemudian berdo’a:

Allahumma inni astakhiruka bi’ilmika wa astaqdiruka biqudratika wa a’saluka min fadhlikal ‘adzim, fainnaka taqdiru wala aqdiru wa ta’lamu wala a’lamu wa anta ‘allamulghuyub. Allahumma inkunta ta’lamu anna hadzal amrakhoirun lifiddiini wama ‘asyi wa ‘aqibati amri faqdurhu li wayassirhu li tsumma barikli fihi. Wainkunta ta’lamu anna hadzal amrasyarrun li fi diini wa ma’asyi wa ‘aqibati amri fashrifhu ‘anni, washrifni ‘anhu, waqdurliyal khoiru haitsu kaana tsumma radidihni bihi.

( Ya Allah sesungguhnya aku memohon padaMu, dengan ilmuMu, dan aku memohon kepadaMu dengan kekuasaanMu, dan aku memohon sebagian dari karuniaMu yang agung. Karena sesungguhnya Engkaulah yang berkuasa sedang aku tidak berkuasa. Engkaulah yang mengetahui sedang aku tidak mengetahui. Dan Engkaulah yang mengetahui perkara-perkara yang ghaib. Ya Allah jika engkau mengetahui bahwa hal ini baik bagiku dalam agamaku dan kehidupanku serta akibat urusanku maka tentukanlah ia untukku dan mudahkanlah ia bagiku, kemudian berilah aku berkah padanya. Dan jika Engkau mengetahui bahwa buruk bagiku dalam agamaku dan kehidupanku serta akibat urusanku, maka palingkanlah ia dariku dan palingkan aku darinya. Dan tentukanlah untukku kebaikan dimana saja dia berada kemudian jadikanlah aku ridho kepadanya)

Istikharah dimaksudkan agar hati kita berada dalam posisi menyerahkan segala urusan kepada Allah dan telah siap untuk menerima segala konsekuensi dari pilihan Allah SWT. Setelah istikharah dilakukan hendaknya segera menyelesaikan urusan tersebut. Adapun bila dalam perjalanannya ternyata menemui hambatan atau kesulitan maka serahkan segalanya kepada Allah SWT.

.

Langkah selanjutnya: Ta’aruf

Ta’aruf adalah terminology baru dalam proses pernikahan. Maksudnya adalah agar masing-masing pihak memiliki gambaran tentang orang yang akan menikah dengannya. Pada masa kenabian tidak dikenal istilah ta’aruf. Karena pada masa itu orang tua sangat memahami kewajiban mereka untuk menikahkan putra-putri mereka dengan pasangan yang shaleh. Merekalah yang lebih mengenal calon menantunya secar mendalam.Sedangkan pada masa ini peran orang tua dalam menjodohkan anaknya tidak terlalu menonjol.

Ta’aruf dapat dilakukan dengan cara kedua pihak telah memiliki informasi tentang pihak lain baik berupa biodata maupun foto. Selain itu dapat juga pihak laki-laki melihat pihak wanita tanpa sepengetahuannya, sebagaimana mazhab Syafi’I, Maliki, Ahmad dan jumhur yang menyatakan kebolehan memandang calon yang akan dikhitbah tanpa sepengetahuannya. Maka boleh jadi ia membatalkan maksudnya tanpa menimbulkan ketersinggungan di pihak yang lain.

Langkah selanjutnya dapat dilakukan pertemuan antara kedua belah pihak dengan melibatkan mediator (teman atau kerabat). Tujuannya adalah untuk lebih mengenali jasadiah (bentuk, rupa, penampilan), fikriyah (wawasan) dan nafsiah (sifat, karakter, akhlaq). Juga perlu disampaikan jika memiliki penyakit yang harus diketahui calon pasangannya. Perlu difahami bahwa ta’aruf tidak memiliki kekuatan legal apapun dalam konteks hubungan laki-laki dan perempuan. Jadi jangan pernah berfikir bahwa setelah ta’aruf berarti anda terikat dengan seseorang. Ta’aruf hanya merupakan jembatan menuju proses selanjutnya yaitu khitbah atau meminang. Ta’aruf juga diperlukan untuk membuka proses komunikasi dengan orang tua kedua belah pihak.

.

Khitbah

Khitbah dalam terminology Arab berasal dari kata al khithaab dan al khatb. Artinya pembicaraan dan persoalan. Secara bahasa khitbah berarti pinangan atau permintaan seorang laki-laki kepada perempuan tertentu untuk menikahinya. Sedangkan secara syariat Khitbah berarti lamaran, pinangan atau permintaan secara resmi untuk menikah yang ditujukan kepada seorang perempuan melalui walinya jika ia gadis ataupun secara langsung bila ia janda, baik telah ada kepastian diterimanya maupun belum ada kepastian. Khitbah adalah langkah awal menuju pernikahan yang telah disyariatkan, namun belum memiliki kekuatan hukum. Karena khitbah bukanlah akad atau transasksi.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam proses khitbah ini:

a. Tidak boleh meminang wanita yang sedang dalam pinangan

b. Tetap memperlakukan laki-laki yang meminang sebagai orang yang bukan mahram karena khitbah tidak berarti membenarkan seseorang untuk berkhalwat.

c. Diterima dan ditolaknya sebuah pinangan sebaiknya berlandaskan pada Diin.

d. Dianjurkan untuk membawa hadiah jika akan meminang.

e. Jangan menggantungkan waktu aqad karena dapat merusak hati anda.

.

Pernikahan

Pernikahan bukan sekedar walimatul ‘ursy atau resepsi. Pernikahan ditandai dengan adanya aqad nikah. Aqad nikah ini adalah sebuah peristiwa besar pengambil alihan tanggung jawab terhadap seorang wanita dari ayahnya kepada orang yang menjadi suaminya. Aqad nikah juga merupakan perjanjian fitrah yang kokoh dari perjanjian manapun. Firman Allah SWT: “Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat” (QS An Nisaa, 4:21).

Rasulullah Saw bersabda: “Takutlah kamu kepada Allah mengenai wanita (isteri) karena kamu telah mengambil mereka dengan amanah Allah SWT” (HR Muslim)

Pengambil alihan tanggung jawab ini bukan sekedar tanggung jawab fisik. Termasuk didalamnya tanggung jawab terhadap perkembangan pemahaman dan wawasan, peningkatan amal shaleh, serta peningkatan potensi. Jangan sampai terjadi justru setelah menikah potensi yang dimiliki kedua belah pihak tidak berkembang. Pernikahan juga membutuhkan komitmen kedua belah pihak untuk tetap menjadikan kehidupan berkeluarga sebagai ibadah. Pernikahan juga memberikan kesadaran pada kita bahwa berbagai permasalahan yang selama ini dihadapi sendiri akan dihadapi bersama dan mungkin ada permasalahan-permasalah baru yang muncul.

Mari kita simak Hadits Rasulullah Saw berikut ini: “Seseorang yang menikah berarti telah menyempurnakan setengah agamanya. Oleh karena itu, hendaklah ia bertaqwa kepada Allah untuk meraih setengah lainnya” (HR Ahmad)

Ketika Allah SWT memberikan setengah Diin bagi orang yang menikah tentulah karena banyak tantangannya. Dan untuk mengatasi tantangan ini agar dapat memenuhi kesempurnaan Diin kita harus memiliki modal ketaqwaan.

Mari kita penuhi Diin kita dengan taqwa dan tawakkal kepada Allah

.

by Ledia Hanifa


Kriminalisasi Negara Islam

Perang ideologi selalu dimulai dalam bentuk perang pemikiran. Selama dasawarsa terakhir, negara-negara Barat di bawah pimpinan AS gencar mengembangkan ide-ide yang muncul dari ideologi mereka, yakni Kapitalisme-Sekularisme di negeri-negeri Muslim. Di antaranya adalah nasionalisme, demokrasi, pluralisme politik, HAM, kebebasan dan politik pasar bebas. Melalui kalangan intelektual yang menjadi ’abdi dalem’ mereka, ide-ide tersebut dipropagandakan sebagai sistem modern yang mampu melahirkan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, syariah Islam, khususnya yang terkait dengan sistem politik dan pemerintahan. yakni Khilafah Islamiyah, terus mereka kritik sebagai ide utopis yang tidak relevan lagi dengan kondisi dunia modern.

Namun kini, setelah sistem Kapitalisme semakin tampak kebobrokannya secara telanjang, sementara seruan penegakan syariah dan Khilafah semakin menguat di berbagai belahan dunia, mereka mulai menggeser perang pemikiran tersebut pada derajat intelektual yang lebih rendah, yakni mereka berupaya membangun brand image negatif bahwa perjuangan penegakan syariah dan Khilafah identik dengan perbuatan kriminal. Misal, mereka membangun opini publik bahwa pelaku terorisme di berbagai tempat di dunia ini dilatarbelakangi oleh perjuangan penegakan Negara Islam (baca: Khilafah). Dengan itu mereka berharap nantinya akan terjadi penolakan massif dari masyarakat terhadap ide penegakan syariah dan Khilafah. Semua itu tentu bermuara pada satu tujuan, yaitu memberangus Islam sebagai kekuatan politik ideologis serta menghalangi tegaknya Khilafah Islamiyah dan penerapan syariah Islam secara kaffah.

Kriminalisasi Negara Islam

Proses kriminalisasi terhadap ide syariah dan Negara Islam atau Khilafah akhir-akhir ini makin menguat dan terbuka. Tidak hanya terjadi di negeri-negeri Barat yang menjadi sentral kendali Kapitalisme global, namun juga terjadi di negeri-negeri Islam termasuk Indonesia. Berikut sebagian fakta proses kriminalisasi tersebut yang tampak dilakukan secara sistematik.

Pertama: dalam jumpa pers di Markas Besar Polri, Jakarta, Jumat (24/9), Kapolri Jenderal (Pol.) Bambang Hendarso Danuri menyatakan, “Aksi teroris yang dilakukan sejak tahun 2000 hingga kasus terakhir penembakan tiga polisi di Mapolsek Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumut, tahun 2010 memiliki target mengambil alih kekuasaan negara untuk menegakkan Negara Islam” (Kompas, 25/9/2010).

Kapolri juga menambahkan bahwa para tersangka teroris menganggap harta hasil perampokan sebagai fai yang sah dan halal, karena harta tersebut didapat dari orang kafir.

Sebelumnya, Kapolri juga mengungkapkan bahwa rencana kelompok teroris yang berlatih di pegunungan di Aceh Besar digunakan untuk melancarkan aksi pembunuhan terhadap para pejabat negara saat upacara Hari Kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 2010. Ketika semua pejabat negara berhasil dibunuh, termasuk Presiden dan Wakil Presiden, kata Kapolri, kelompok teroris akan mendeklarasikan Negara Islam Indonesia (Kompas.com, 14/5/2010).

Hal ini yang kemudian menjadi alasan dan pembenaran atas tindakan aparat Densus 88 yang membabi-buta terhadap orang-orang yang disangka pelaku tindak pidana terorisme. Selama kurun waktu 2000-2010 saja, sebanyak 44 orang yang disangka teroris tewas ditembak aparat. Terakhir, Densus 88 secara arogan dan kasar menginjak-injak tubuh Khairil Ghazali yang sedang menunaikan shalat magrib saat Densus yang berjumlah sekitar 30 orang dan bersenjata lengkap menyerbu dan mendobrak rumahnya. Ghazali dituding sebagai bagian jaringan teroris yang melakukan perampokan Bank CIMB Niaga di Medan.

Kedua: Presiden SBY juga mengeluarkan pernyataan resmi yang mengaitkan kasus terorisme dengan pendirian Negara Islam. Dalam keterangan persnya di Bandara Halim Perdanakusuma, Senin (17/5/2010), sebelum bertolak ke Singapura dan Malaysia, Presiden SBY menegaskan bahwa tujuan dari para teroris adalah mendirikan Negara Islam. Padahal, menurut SBY, perdebatan tentang pendirian Negara Islam sudah rampung dalam sejarah Indonesia. Menurut dia juga, aksi teroris telah bergeser dari target asing ke pemerintah dan menolak kehidupan berdemokrasi. Karena itu, menurut Presiden keinginan mendirikan Negara Islam dan sikap anti demokrasi tidak bisa diterima rakyat Indonesia.

Pernyataan Presiden ini sejalan dengan proyek kontra-terorisme yang berada di bawah Kementerian Koordinator Polhukam. Paradigma dasar yang dibangun pada proyek kontra-terorisme ini adalah mengaitkan terorisme dengan pemahaman agama yang dianggap radikal dan fundamentalis. Berdasarkan asumsi paradigma ini, mereka kemudian membangun strategi deradikalisasi agama. Misal, melalui pengarusutamaan tokoh-tokoh Islam moderat, penerbitan buku-buku Islam moderat, perubahan kurikulum pesantren atau sekolah. Islam moderat yang dimaksudkan adalah Islam yang bisa menerima ide-ide Barat seperti pluralisme, liberalisme, sekularisme dan demokrasi.

Ketiga: pada 27-28 Juli 2010 lalu, Pemerintah mengadakan Simposium Nasional yang bertema “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme”, di Hotel Le Meridien Jakarta.

Hasil rekomendasi simposium tersebut di antaranya adalah dukungan kepada Badan Nasional Penanggulangan Teror (BNPT) untuk memainkan peran selaku focal point serta koordinator pencegahan dan pemberantasan teror secara komprehensif. Pemerintah dianggap perlu mengamandemen UU Tindak Pidana Terorisme No. 15 Tahun 2003, terutama tentang kriminalisasi atau perluasan obyek hukum dan perbaikan mekanisme hukum acara, agar lebih mampu menggulung jaringan teroris sebelum beraksi.

Sebagaimana diketahui, BNPT lahir melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 yang ditandatangani Presiden SBY pada tanggal 16 Juli 2010 di Jakarta. Meskipun undang-undang yang berkaitan dengan aspek keamanan belum diundangkan, karena RUU Intelijen baru masuk program legislasi nasional DPR tahun 2010, dengan peraturan Presiden ini bisa dianggap cukup sebagai payung hukum dalam proyek kontra-terorisme.

Keempat: media juga turut memainkan perannya untuk menanamkan opini kepada publik bahwa pelaku terorisme adalah kaum Muslim. Salah satunya tampak dari pemberitaan Detik.com dengan judul, “Penggerebekan Teroris di Bandung, Ditemukan Lembaran Kertas Arab Gundul Soal Hijrah dan Jihad” . Detik.com (8/8) melaporkan dalam mobil milik Fahri, yang ditangkap Densus 88 karena diduga teroris, ditemukan ceceran kertas berisi tulisan Arab gundul, antara lain kumpulan fatwa Ibnu Taimiyah tentang jihad, hijrah dan dakwah. Tentu saja pemberitaan seperti ini sangat tendensius dan dapat menimbulkan citra negatif terhadap syariah Islam.

Selama ini pemberitaan tentang terorisme lebih banyak datang dari Polri secara sepihak. Keterkaitan aksi terorisme dengan perampokan yang dianggap sebagai harta fa’i juga datang sepihak dari Polri, meskipun katanya berdasarkan keterangan pelaku yang ditangkap. Stasiun TVOne termasuk yang terdepan dalam memberitakan kasus terorisme seraya mengaitkannya dengan Islam dan kaum Muslim. Mereka biasanya mendatangkan para narasumber yang selama ini memang concern menuding Islam radikal berada di balik aksi-aksi terorisme. Terkait hal ini tentu tidak bisa dipungkiri kedekatan hubungan Gories Mere dengan Karni Ilyas di TVOne. Gories Mere adalah pengendali satgas anti teror di luar struktur, di samping tugasnya di BNN (Badan Narkotika Nasional).

Kelima: kriminalisasi terhadap syariah dan Khilafah juga gencar dipropagandakan oleh para pemimpin negara-negara Barat, khususnya Amerika dan Inggris. Baru-baru ini sebuah panel ahli keamanan nasional Amerika Serikat mendesak pemerintah Obama untuk meninggalkan sikapnya bahwa Islam tidak terkait dengan terorisme dan menyatakan bahwa Muslim radikal menggunakan hukum Islam untuk menumbangkan Amerika Serikat (The Washington Times ,14/09/2010).

Pada 14/5/2010 lalu, mantan kepala staf Angkatan Darat Inggris, Jenderal Richard Dannat, dalam BBC’s Today Program, dengan sangat gamblang menyatakan bahwa perang di Afganistan adalah perang melawan Islam. Ketika ia ditanya tentang alasan pendudukan di Afganistan, dengan tegas ia menyatakan bahwa hal itu untuk mencegah agenda Islamis yang ingin menegakkan Khilafah Islam abad ke 14 dan 15, yang sekarang bergerak tumbuh dari Asia Selatan, Timur Tengah hingga Afrika Utara.

Sebelumnya, dalam wawancaranya dengan Radio BBC (05/01/2010), Perdana Menteri Inggris Gordon Brown menyerukan peningkatan intervensi Barat di Yaman. Ia menyerang tuntutan dunia Islam akan Khilafah sebagai ideologi pembunuh dan menganggapnya sebagai penyimpangan terhadap Islam.

Lalu pada Juli 2007, Menteri Pertahanan Inggris saat itu, Lord Wist, ketika menceritakan para pelaku yang berusaha meledakkan mobil di London, ia menyatakan, “Mereka adalah kaum rasis dan puritan. Mereka sedang mencari kekuatan. Mereka adalah orang-orang yang gila harta dan selalu berbicara tentang Khilafah.”

Mantan PM Inggris Tony Blair, di hadapan Konggres Partai Buruh, pernah menyatakan bahwa Islam adalah ideologi iblis (BBC News, 16/7/2005). Ia menjelaskan bahwa ciri-ciri ideologi iblis itu adalah ingin mengeliminasi Israel, menjadikan syariah Islam sebagai sumber hukum, menegakkan Khilafah serta menentang nilai-nilai liberal.

Perlu dipahami bahwa tegaknya Negara Islam, apalagi dalam wujud Negara Islam global Khilafah Islamiyah, sebenarnya sangat ditakuti oleh Barat. Sebab, tegaknya Khilafah akan menghentikan hegemoni Kapitalisme Barat yang telah terbukti gagal memberikan kesejahteraan dan keamanan bagi dunia. Karena itu, tuntutan pelaksanaan syariah Islam secara kaaffah dalam format institusi Khilafah Islamiyah harus dapat dibaca sebagai wujud kepedulian terhadap problema dunia baik ekonomi, sosial, militer, hukum maupun politik yang mengalami krisis dan karut-marut akibat penerapan sistem Kapitalisme global.

Penegakan Khilafah Tanpa Teror

Mayoritas kaum Muslim tentu memiliki pemahaman yang sama, bahwa aksi terorisme yang merusak dan membunuh manusia tanpa hak, apalagi disertai dengan perampokan, merupakan kejahatan besar yang diharamkan oleh Islam.

Sebagaimana diketahui, thariqah (metode) Rasulullah saw. dalam upayanya menegakkan syariah dan Daulah Islamiyah dilakukan melalui proses perang pemikiran, bukan perang senjata. Hal ini tampak dalam aktivitas dakwah beliau pada Periode Makkah yang sama sekali tidak menggunakan kekerasan. Bahkan aksi jihad berupa perang baru dilakukan oleh Rasulullah saw. setelah berdirinya Daulah Islam di Madinah. Karena itu, jika seseorang memiliki pemahaman bahwa kondisi saat ini sama dengan kondisi Makkah maka thariqah dakwah Rasulullah saw. yang tidak pernah menggunakan aksi-aksi kekerasan inilah yang harus diteladani.

Karena itu pula, jika ada pihak yang melakukan aksi terorisme apalagi disertai perampokan untuk mendirikan Negara Islam maka harus dipertanyakan. Mungkin mereka tidak memahami tentang metode penegakan Negara Islam (baca: Khilafah) yang tidak boleh menggunakan aksi kekerasan apalagi kriminalitas. Namun, tidak tertutup kemungkinan pula, bahwa mereka dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu yang ingin menjelek-jelekkan syariah dan Khilafah. Pengamat intelijen Wawan Purwanto dalam bukunya yang berjudul ’Terorisme Undercover’ (CMB, 2007) membeberkan bahwa Noordin M Top dan Dr. Azhari hanyalah pelaku lapangan yang dibayar. Pakar intelijen AC Manullang yang juga mantan Direktur Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN) berpendapat bahwa Noordin M Top hanya dipakai kekuatan asing untuk menjelek-jelekkan Islam (Tempointeraktif.com, 09/8/2009).

Patut pula diperhatikan bahwa propaganda perang melawan terorisme (the war on terrorism) yang diusung AS dan sekutunya pada dasarnya perang melawan Islam dan kaum Muslim. Propaganda tersebut menjadi salah satu alat untuk mempertahankan imperialismenya di Dunia Islam yang memiliki potensi strategis. Pasca keruntuhan Uni Soviet dengan ideologi Komunismenya, hanya Islam yang dianggap menduduki posisi sebagai ancaman paling potensial terhadap keberlangsungan ideologi Kapitalisme global.

Indonesia merupakan salah satu negeri Dunia Islam yang memiliki banyak nilai strategis bagi peneguhan ideologi Kapitalisme. Posisi geopolitik Indonesia dapat menjadi basis strategis bagi kepentingan Kapitalis Barat di Dunia Islam dan kawasan Asia Pasifik. Negeri yang memiliki jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia ini juga memiliki potensi untuk menjadi pusat Negara Islam global Khilafah Islamiyah. Karena itu, analisis terhadap aksi-aksi terorisme di Indonesia yang tidak mengaitkannya dengan agenda imperialisme global AS ’the war on terrorism’ hanya akan menghasilkan analisis dangkal yang out of context dan menyesatkan.

Wallahu a’lam bi ash-shawab. [Dr. M. Kusman Sadik]


Menyoal Perjuangan Bersenjata Untuk Menegakkan Khilafah

 

Benarkah Daulah/Khilafah Islamiyah tidak bisa ditegakkan kecuali dengan mengangkat senjata? Benarkah kekuasaan tidak akan mungkin diserahkan kepada kelompok-kelompok Islam, kecuali kelompok Islam tersebut melakukan kudeta militer?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kaum Muslim mempertimbangkan beberapa analisis berikut ini.

Pertama: sejatinya unsur-unsur penting yang membentuk eksistensi sebuah negara adalah manusia, pemikiran, perasaan dan aturan. Di antara unsur-unsur tersebut, pemikiran dan aturan merupakan faktor dominan yang menentukan bentuk dan corak sebuah negara. Negara Islam, misalnya, adalah negara yang menjadikan akidah Islam sebagai pandangan hidup dan dasar negara serta menjadikan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan yang mengikat seluruh warga negara. Sebaliknya, negara kafir adalah negara yang menjadikan akidah dan hukum kufur sebagai dasar dan konstitusi negara.

Dari sini dapat disimpulkan bahwa mengubah eksistensi sebuah negara pada hakikatnya bukanlah upaya untuk menghancurkan manusia dan bangunan fisiknya, tetapi mengubah pemikiran dan aturan yang diterapkan di negara tersebut. Untuk mengubah pemikiran dan aturan tersebut tentu bukan dengan cara-cara kekerasan, tetapi harus dengan kerja pemikiran hingga rakyat kehilangan kepercayaannya (distrust) terhadap pemikiran dan aturan yang diterapkan oleh penguasa, serta kembali ke dalam pangkuan Islam. Jika rakyat sudah tidak percaya lagi terhadap penguasa dan sistem yang mereka terapkan, pada saat itulah eksistensi negara tersebut akan ambruk dan binasa.

Kedua, dakwah dengan menggunakan kekerasan—yang biasanya memakan korban penduduk sipil—tidak akan mampu menghancurkan kepercayaan rakyat terhadap pemikiran dan aturan kufur yang menjadi sendi tegaknya negara. Trust rakyat terhadap sistem demokrasi-sekular hanya bisa dihancurkan ketika masyarakat telah memahami kerusakan dan kebatilan sistem itu, dan menyadari kewajibannya untuk menegakkan aturan dan kekuasaan Islam. Selama masyarakat masih percaya dan memegang teguh pemikiran demokrasi-sekular maka mereka akan menjaga dan mempertahankan sistem itu mati-matian. Namun, ketika rakyat tidak lagi percaya dengan sistem demokrasi-sekular, dan kembali berpegang teguh kepada Islam, niscaya mereka sendiri yang akan meruntuhkan negara demokrasi-sekular tersebut. Mewujudkan semua ini tentu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara kekerasan, tetapi harus dilakukan dengan kerja yang bersifat pemikiran. Bahkan cara-cara kekerasan justru akan melahirkan distrust (ketidakpercayaan rakyat) terhadap kelompok Islam pro kekerasan dan perjuangannya.

Ketiga: dakwah dengan menggunakan cara-cara kekerasan rawan terhadap penyusupan. Di antara taktik yang lazim digunakan oleh musuh-musuh Islam dan kaum Muslim adalah menyusup ke dalam gerakan-gerakan Islam dengan tendensi:

1) Mengubah orientasi perjuangan gerakan tersebut, dari gerakan yang bertujuan menegakkan Islam ke arah tujuan-tujuan lain.

2) Melemahkan militansi dan keberanian aktivisnya serta mengendorkan aktivitas dakwah gerakan tersebut.

3) Mendorong kelompok-kelompok tersebut untuk melakukan tindakan-tindakan anarkis atau kekerasan yang bisa dijadikan alasan oleh penguasa untuk membubarkan kelompok-kelompok Islam yang lain, atau setidaknya membuat stigma dan ketakutan terhadap kelompok Islam yang memperjuangkan syariah dan Khilafah.

4) Menimbulkan konflik dan perpecahan di internal gerakan tersebut;

5) Menarik manfaat dari kelompok-kelompok tersebut untuk kepentingan-kepentingan politik tertentu, semacam menaikkan popularitas dan kewibawaan penguasa fasik, dan lain sebagainya.

 

Keempat: menegakkan Daulah Islamiyah dengan menggunakan kudeta militer membutuhkan dukungan militer yang sangat kuat. Tanpa dukungan militer yang sangat kuat, tidak akan mungkin terjadi kudeta militer yang mampu menjatuhkan meruntuhkan kekuasaan negara. Selain itu, kudeta militer juga membutuhkan biaya dan tenaga yang tidak sedikit. Oleh karena itu, tidaklah masuk akal melakukan kudeta militer pada saat kekuatan kaum Muslim masih sangat lemah.

Berdasarkan analisis di atas dapatlah disimpulkan bahwa jalan kekerasan bukanlah pilihan yang realistis di tengah kondisi umat Islam yang masih mempercayai sistem kufur dan penguasanya dan ketika belum ada dukungan militer yang sangat kuat terhadap gerakan Islam. Ini dilihat dari sisi analisis ilmiah. Adapun dilihat dari tinjauan syariah, sesungguhnya kaum Muslim haram menggunakan cara-cara kekerasan untuk menegakkan kembali Daulah Islamiyah.

 

Pandangan Syariah Islam

Jihad dan amar makruf nahi mungkar dengan tangan (bi al-yad) termasuk bagian dari syariah Islam yang agung dan mulia. Hukum-hukum ini tetap berlaku sejak masa Nabi saw. hingga sekarang. Seorang Muslim dilarang mengingkari atau mengabaikan hukum-hukum tersebut. Bahkan jika konteks dan kondisi syar’i-nya telah terwujud, seorang Muslim wajib melaksanakan hukum itu dengan penuh ketundukan. Pasalnya, setiap hukum syariah, termasuk di dalamnya jihad atau mengangkat senjata, memiliki manath (obyek hukum) dan konteks masing-masing yang tidak boleh diubah dan dilampaui. Jika negeri kaum Muslim diserang dan dijajah oleh kaum kafir maka kaum Muslim yang ada di negara tersebut wajib berjihad dan mengangkat senjata untuk melawan musuh-musuhnya.

Hanya saja, jihad dan mengangkat senjata bukanlah thariqah syar’iyyah untuk menegakkan kembali Daulah Islamiyah; sebagaimana shalat, puasa, zakat dan haji bukan thariqah syar’iyyah untuk mengusir musuh. Menempatkan hukum syariah tidak sesuai dengan konteks dan manath hukum yang ditetapkan Allah termasuk perbuatan haram.

Jika diperhatikan kembali perjalanan dakwah Nabi saw. dan para Sahabat di Makkah dapatlah disimpulkan, bahwa untuk menegakkan Daulah Islamiyah di Madinah, beliau dan para Sahabat—dalam konteks jamaah atau kutlah—sama sekali tidak pernah menggunakan kekerasan. Mereka membatasi dirinya hanya dengan dakwah fikriyyah dan aktivitas-aktivitas siyasiyah. Apa yang dilakukan Nabi saw. dan para Sahabat adalah hukum syariah yang wajib diteladani oleh kaum Muslim, khususnya kelompok-kelompok Islam. Dari sini pula dapat simpulkan bahwa menegakkan Daulah Islamiyah dengan kekerasan adalah dakwah yang menyimpang dari sunnah Nabi saw.

 

Thalabun Nushrah

Jika perjuangan bersenjata bukan jalan syar’i untuk menegakkan Daulah Islamiyah, lalu metode perjuangan syar’i seperti apa yang harus dilakukan oleh kaum Muslim untuk menegakkan kembali Daulah Islamiyah?

Untuk menjawab pertanyaan ini, harus diperhatikan beberapa poin berikut ini.

Pertama: Dakwah menegakkan Daulah Islamiyah termasuk bagian integral dari ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT; yang metode dan tatacaranya telah dijelaskan Allah SWT dan Rasul-Nya. Seorang Muslim wajib mengikutinya dan dilarang menyimpang dari metode dan tatacara dakwah yang telah digariskan oleh Asy-Syari’.

Kedua: Metode syar’i untuk menegakkan kembali Daulah Islamiyah adalah thalabun nushrah (menggalang dukungan ahlul quwwah [para pemilik kekuatan]), bukan jihad, kekerasan, musyarakah dalam parlemen, people power, dan lain sebagainya. Pasalnya, metode inilah yang ditempuh oleh Nabi saw. dalam menegakkan Daulah Islamiyah di Madinah.

Ketiga: Pada dasarnya, setiap hukum Islam—termasuk di dalamnya jihad dan tindakan fisik—disyariatkan untuk memecahkan problem-problem manusia. Misal, jika seorang Muslim tertimpa problem waris, maka Islam telah menetapkan faraidh (hukum waris) sebagai solusi atas problem tersebut. Syariah tidak menetapkan shalat liuma waktu sebagai solusi untuk memecahkan problem waris. Demikian pula ketika ada orang yang murtad dari agama Islam; syariah telah menetapkan hukuman mati bagi pelaku riddah sebagai solusi atas kasus kemurtadan. Ketika kaum Muslim diserang oleh kaum kafir, maka syariah telah menetapkan jihad sebagai solusi atas problem ini. Syariah tidak menjadikan shalat, puasa dan qira’ah al-Quran sebagai solusi untuk memecahkan problem penyerangan negara kafir atas negara Islam. Demikian pula tatkala kaum Muslim hendak menegakkan Daulah Islamiyah, sesungguhnya syariah telah menetapkan thalabun nushrah sebagai metode untuk menegakkan Daulah Islamiyah; bukan shalat, puasa, qira’ah al-Quran, tindakan fisik, jihad fi sabilillah, dan lain sebagainya.

 

Posisi Jihad

Jihad dan perjuangan bersenjata termasuk bagian dari syariah Islam yang tidak boleh diingkari oleh kaum Muslim. Hanya saja, tindakan fisik dan jihad harus diposisikan sesuai dengan konteks dan manath yang telah ditetapkan oleh syariah. Pada dasarnya, syariah telah mensyariatkan jihad dan perjuangan bersenjata untuk memecahkan problem-problem tertentu; seperti ketika negara kafir menyerang Daulah Islamiyah; atau ketika negara kafir tidak mau tunduk dan menyerahkan jizyah kepada Negara Islam; dan lain sebagainya. Hanya dalam konteks-konteks seperti inilah jihad bisa dilaksanakan dan diterapkan.

Tentu salah jika jihad dijadikan sebagai metode untuk memecahkan problem sosial, problem keluarga, atau problem-problem lain yang metode pemecahannya telah ditetapkan secara spesifik oleh Asy-Syari’. Demikian pula dalam konteks dakwah menegakkan Daulah Islamiyah. Sesungguhnya Asy-Syari’ tidak menetapkan jihad dan tindakan fisik sebagai metode untuk menegakkan Daulah Islamiyah, sebagaimana Asy-Syari’ tidak menjadikan qira’ah al-Quran sebagai metode untuk mengusir musuh yang masuk ke Negara Islam.

Berdasarkan pengkajian yang jernih dan mendalam terhadap sirah dakwah Nabi saw., dapatlah disarikan bahwa Asy-Syari’ telah menetapkan thalabun nushrah sebagai metode syar’i untuk menegakkan Daulah Islamiyah, bukan yang lain.

Aktivitas thalabun nushrah yang dilakukan oleh Nabi saw. terlihat jelas setelah paman dan istri beliau wafat. Setelah dua orang yang melindungi dirinya dan dakwah wafat, permusuhan kafir Quraisy terhadap Rasulullah saw. dan para Sahabatnya semakin meningkat, bahkan lebih keras dibandingkan dengan semasa paman dan istri beliau masih hidup. Bahkan Rasulullah saw. bersabda, “Orang Quraisy tidak menimpakan satu pun keburukan kepadaku sampai wafatnya Abu Thalib.1”

Setelah paman dan istri beliau wafat, beliau pergi ke Thaif mencari dukungan dari kabilah ini dengan mendatangi para pembesar Thaif. Beliau meminta agar mereka mau mendukung Islam dan melawan kaum Quraisy yang menentang beliau. Para pemuka Thaif menolak permintaan Rasulullah saw. Bahkan mereka mengirim surat kepada orang-orang Quraisy. Padahal Rasulullah saw telah meminta mereka secara rahasia. Akibatnya, Rasulullah saw. tidak bisa masuk kembali ke Makkah kecuali dengan perlindungan.2

Rasul juga menyeru para pemuka kabilah-kabilah Arab sebagaimana yang dituturkan dalam sirah, “Ya Bani fulan! Saya adalah utusan Allah bagi kalian, dan menyeru kalian untuk beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya, dan agar kalian meninggalkan apa yang kalian sembah, beriman dan percaya kepadaku, dan janganlah kalian mencegah aku, sampai aku menjelaskan apa yang telah Allah sampaikan kepadaku.”3

Akan tetapi paman beliau Abu Lahab, berdiri di belakang beliau, membantah dan mendustakan perkataan beliau. Tak satu pun kabilah menerima beliau. Mereka bahkan berkata, “Kaummu lebih tahu tentang engkau dan tidak mengikuti engkau.” Mereka membantah dan mendebat beliau. Beliau pun membantah dan mendebat mereka serta mendoakan mereka kepada Allah. Rasul berdoa, “Ya Allah, jika Engkau berkehendak, janganlah Engkau menjadikan mereka seperti ini.”4

Dalam Sirah Ibnu Hisyam diriwayatkan, bahwa Zuhri menceritakan:

 

Rasulullah saw. pernah mendatangi secara pribadi Bani Kindah, tetapi mereka menolak beliau. Beliau juga mendatangi Bani Kalban, tetapi mereka menolak. Beliau juga mendatangi Bani Hanifah dan meminta kepada mereka nushrah dan kekuatan, namun tidak ada orang Arab yang lebih keji penolakannya terhadap beliau kecuali Bani Hanifah. Beliau juga mendatangi Bani ‘Amir bin Sha’sha’ah, mendoakan mereka kepada Allah, dan meminta kepada mereka secara pribadi. Kemudian berkatalah seorang laki-laki dari mereka yang bernama Bahirah bin Firas, “Demi Allah, seandainya aku mengabulkan pemuda Quraisy ini, sungguh orang Arab akan murka.” Kemudian ia berkata, “Apa pendapatmu, jika kami membaiatmu atas urusan kamu, kemudian Allah memenangkanmu atas orang yang menyelisihimu, apakah kami akan diberi kekuasaan setelah engkau?” Rasulullah saw. berkata kepadanya, “Urusan itu hanyalah milik Allah, yang Dia berikan kepada siapa yang dikehendaki.” Bahirah berkata, “Apakah kami hendak menyerahkan leher-leher kami kepada orang Arab, sedangkan engkau tidak. Adapun jika Allah memenangkan kamu, urusan bukan untuk kami. Kami tidak butuh urusanmu.”

 

Adapun nama-nama kabilah yang pernah didatangi Rasulullah saw. dan menolak adalah: (1) Banu ‘Amir bin Sha’sha’ah, (2) Bani Muharib bin Khashfah, (3) Bani Fazaarah, (4) Ghassan, (5) Bani Marah, (6) Bani Hanifah, (7) Bani Sulaim, (8) Bani ‘Abas, (9) Bani Nadlar, (10) Bani Baka’, (11) Bani Kindah, (12) Kalab, (13) Bani Harits bin Ka’ab, (14) Bani ‘Adzrah dan (15) Bani Hadlaaramah.5

Akhirnya, atas ijin dan pertolongan Allah, penduduk Madinah memberikan nushrah mereka kepada Rasulullah saw. Terjadilah peristiwa penting yang menandai babak baru dakwah Rasulullah saw., yakni peristiwa Baiat Aqabah II. Pada saat itulah, penduduk Madinah menyerahkan kekuasaannya kepada Nabi Muhammad saw., yang kemudian disusul dengan berdirinya Daulah Islamiyah di Madinah.

Demikianlah, Rasulullah saw. telah memberikan teladan kepada Kaum Muslim langkah-langkah dakwah untuk sampai pada jenjang kekuasaan/pemerintahan. Langkah-langkah dakwah seperti inilah yang wajib dijadikan sebagai metode syar’i untuk menegakkan Daulah Islamiyah, bukan perjuangan senjata.

Wallahu a’lam bi ash-shawab. [Al-Wa’ie No.123, November 2010]

 

Catatan kaki:

1 Sirah Ibnu Hisyam.

2 Ahmad Mahmud, Ad-Da’wah ila al-Islam, ed.I, 1995, Dar al-Ummah, hlm. 90.

3 Sirah Ibnu Hisyam, lihat pada catatan kurung; Ahmad Mahmud, Op. Cit., hlm. 91.

4 Ibid, 91.

5 Nama-nama kabilah ini merujuk pada Thabaqat Ibnu Hisyam.


Kekuatan Ideologi Negara Khilafah

Islam adalah ideologi universal yang menyatukan manusia dari berbagai ras, warna kulit, bahasa dan suku ke dalam satu entitas unik dengan menerapkan satu tujuan tunggal bagi setiap orang dalam hidupnya, yaitu keridhaan Allah SWT dan penghambaan kepada-Nya. Namun kemudian, Kapitalisme Barat atau Komunisme memaksakan racun kejam nasionalisme untuk membagi umat manusia umumnya dan Dunia Islam khususnya, yang dengannya satu bangsa berusaha untuk menguasai bangsa-bangsa lain demi kekuatan, kemajuan materi, sumberdaya, dan sebagainya. Hal ini mengakibatkan malapetaka seperti Perang Dunia I dan II hingga Perang Irak dan Perang Afganistan saat ini.

Penerapan Ideologi

Jika kita meneliti dengan cermat dunia di sekitar kita saat Kapitalisme diterapkan, berikut adalah sekilas dari buku catatannya. Sejak tahun 1960-an, perkembangan teori ekonomi yang berlaku, dikenal sebagai teori modernisasi, mempertahankan bahwa gagasan ekonomi industrialisasi dan pasar bebas akan mengubah ekonomi dan masyarakat tradisional. Pengaruh-pengaruh ini akan menempatkan negara-negara miskin pada jalur perkembangan yang serupa dengan yang dialami bangsa-bangsa Barat yang terindustrialisasi selama Revolusi Industri.

Namun, pertimbangkan hal berikut: Kemiskinan melanda mayoritas penduduk dunia. Tiga miliar orang di dunia hidup dengan kurang dari 2 dolar sehari dan tidur hanya dengan 1 kali makan perhari. Dunia Ketiga berhutang lebih dari 1,2 triliun dolar; 1,3 miliar orang lainnya hidup dengan kurang dari satu dolar sehari; 1,3 miliar tidak mempunyai akses air bersih; 3 miliar tidak mempunyai akses sanitasi; dan 2 miliar tidak mempunyai akses listrik.

Dunia berkembang saat ini menghabiskan 13 dolar untuk pembayaran utang untuk setiap 1 dolar yang diterima. Selain itu, menurut Bank Dunia (2002), lebih dari 1 triliun dolar (1.000 miliar dolar AS) disetor sebagai uang suap setiap tahun, sementara nilai ekonomi dunia pada saat itu hanya sekitar 30 triliun dolar. Angka ini sama persis dengan jumlah yang dihabiskan untuk mengentaskan kemiskinan di seluruh dunia sejak akhir Perang Dunia II hingga tahun 2002. Bayangkan biaya untuk dua perang AS setelah peristiwa 11 September sekitar 875 miliar dolar hingga 26 Juni 2009 (pukul 08.30 GMT). Ini lebih besar dari GDP sekitar 180 negara di dunia. Jadi, menurut filosofi kelangkaan, dunia memiliki masalah kemiskinan karena dunia menghasilkan total 2,3 miliar ton makanan, sementara permintaan dunia hanya 1,3 miliar?

Walaupun telah menciptakan sebagian orang-orang terkaya di dunia, perdagangan bebas juga menciptakan kesenjangan yang sangat luas antara orang kaya dan miskin. Hal ini tetap menjadi kegagalan utamanya. Tanggal 7 Desember 2006 memperlihatkan puncak studi global – dari World Institute of Development Economics Research PBB. Sebagian dari penemuannya mengejutkan: orang-orang terkaya yang sebanyak 1% di dunia memiliki 40% kekayaan planet ini dan hanya 10% dari populasi dunia memiliki 85% aset-aset dunia. Memperhatikan negara tertua yang menganut Kapitalisme, yaitu Inggris, statistik pada tahun 2005 dari HM Revenue and Customs of Britain menunjukkan bahwa orang-orang terkaya yang sebanyak 10% memiliki lebih dari 50% kekayaan bangsa dan 40% dari populasi Inggris berbagi hanya 5% dari kekayaan ini.

Selain itu, siapapun yang mempelajari sejarah dunia dapat dengan mudah mengingat kembali bagaimana brutalnya AS menimbulkan kerusakan dalam peradaban manusia di Hiroshima dan Nagasaki dengan menjatuhkan ‘Little Boy’ dan ‘Fat Man’ pada saat Perang Dunia II yang pada akhirnya mengakibatkan lebih dari 72 juta kematian. Perang Dunia I juga mengakibatkan 60 juta kematian. Dunia masih mengingat bagaimana di Rwanda, Hutu dan Tutsi terjadi saling membunuh secara besar-besaran; diperkirakan 25.000 orang terbunuh setiap harinya demi gagasan ‘nasionalisme’ yang jahat dan tidak manusiawi.

Dunia masih mengingat bagaimana perang sipil di Benua Eropa pecah dan Perang Tiga Puluh Tahun yang paling termasyhur mengakibatkan lebih dari 11 juta orang tewas selama tahun 1600-an ketika dunia baru memiliki populasi yang sangat kecil. Di samping itu, perang sipil Rusia, perang sipil Amerika, Perang Napoleon, Perang Vietnam, Perang Cina Pertengahan dan Inggris serta ribuan perang lainnya pecah oleh Barat atas nama ‘nasionalisme’.

Memang, AS (United Snakes of America/USA) dalam kira-kira 240 tahun sejarahnya telah mengalami lebih dari 235 perang hingga Perang Irak dan Afganistan saat ini. Perang-perang ini membunuh berjuta-juta manusia. Sebagian besar dari kematian mereka disebabkan oleh tidak beruntungnya mereka hidup selama zaman hukum buatan manusia. Seluruh perang ini merupakan dampak langsung penerapan konsep kapitalis nasionalisme.

Dalam kehidupan sosial, Kapitalisme telah mencetak rekor pendapatan 57 miliar dolar dari industri pornografi pada tahun 2004, dengan 32%-nya dari industri pornografi remaja. Menariknya, jumlah ini lebih tinggi daripada GDP sekitar 138 negara di dunia pada tahun 2008. Hal ini berbicara atas nama nilai-nilai kemerdekaan dan kebebasan yang bersifat rimba! Masyarakat Barat adalah masyarakat (kumpulan) anak-anak ilegal. Mereka tidak mempunyai riwayat orangtua. Bahkan mereka tidak membutuhkannya! Ketika mereka butuh, mereka melakukan tes DNA!

Inilah masyarakat saat kebebasan hewani dibolehkan dan yang menjamin orangtua untuk melakukan hubungan fisik dengan anak-anak mereka sendiri. Masyarakat ini melindungi hak seseorang untuk melakukan pernikahan sejenis. Mereka menghasilkan naturalist (anak haram), pezina dan peminum!

Konsep kebebasan Barat adalah sesuatu yang jika Anda membeli kebebasan, terdapat pemerkosaan, kekerasan, penyiksaan dan di atas semua itu AIDS sebagai hadiah gratis. Di dalam masyarakat ‘bebas’ seperti UK, 54% pemerkosaan dilakukan oleh pasangan wanita atau mantan pasangannya, kekasih; dengan kata lain, pasangan adalah pezina. Statistik menunjukkan bahwa korban wanita lebih mungkin dibunuh oleh orang yang mereka kenal. Pada 2007/2008, 73% korban wanita mengetahui sepenuhnya atau hanya mencurigai pada saat penyerangan. Di antara korban-korban ini, 48% dibunuh oleh pasangan, mantan pasangan atau kekasih.

Menurut National Crime Victimization Survey, yang memasukkan data kejahatan yang tidak dilaporkan kepada polisi, 232.960 wanita di AS diperkosa atau diserang pada tahun 2006. Artinya, lebih dari 600 wanita setiap hari. Bayangkan, di masyarakat bebas terdapat kasus pemerkosaan!

Perkiraan tingkat kematian akibat kecanduan obat-obatan di negeri pemimpin dunia bebas, yaitu AS, adalah 19.102 pertahun, 1.591 perbulan, 367 perminggu, 52 perhari dan 2 perjam. Apakah ke arah ini kebebasan membawa kita?

AS adalah negara dengan korban AIDS terbesar di dunia, selain negara-negara termiskin di dunia seperti Kenya, Tanzania dan Mozambik.

Berlawanan dengan hal ini, sejarah 1.300 tahun ideologi Islam diterapkan oleh Negara Khilafah Islam sejak zaman Rasulullah saw. di Madinah al-Munawarah hingga Sultan Abdul Majid di Istanbul, merupakan saksi supremasi ideologi Islam atas Kapitalisme atau Komunisme. Tentu, bahkan non-Muslim pun mengagumi sebuah masyarakat yang menerapkan ideologi Islam lebih dari masa 1.300 tahun sepanjang wilayah dunia yang luas; terdiri atas orang-orang dari warna kulit, bahasa, agama, dan suku yang berbeda.

Menurut Dr. William Draper, seorang sejarahwan Amerika keturunan Inggris, ahli filsafat, ahli kimia dan ilmuwan, “Selama zaman Kekhalifahan, pelajar/ilmuwan Kristen dan Yahudi tidak hanya diberikan penghargaan tinggi, tetapi ditunjuk untuk memegang tanggung jawab besar, dan dipromosikan pada pekerjaan dengan pangkat tinggi di pemerintahan… Dia (Khalifah Harun al-Rasyid) tidak pernah memandang negara mana pelajar/ilmuwan berasal ataupun kepercayaan dan keyakinannya, tetapi hanya keunggulannya dalam bidang pelajarannya.”

Selain itu, Arnold Joseph Toynbee, sejarahwan Inggris, dalam 12 volume analisisnya tentang bangkit dan jatuhnya peradaban, A Study of History, menyimpulkan bahwa, “Punahnya kesadaran ras seperti di antara Muslim adalah salah satu prestasi Islam yang menonjol, dan di dunia kontemporer, terdapat kebutuhan mendesak atas penyebaran nilai-nilai kebajikan Islam ini.”

Sejarah dan fakta di lapangan adalah saksi keunggulan ideologi Islam. Terdapat sebuah masyarakat yang dilindungi dengan perisai takwa pada beragam lapisan perisai pada tingkat pribadi, sosial dan negara. Di atas semua itu, karena Islam menyeru manusia untuk tidak menyembah selain Allah SWT dan menerapkan hukum-Nya semata.

Penyebaran Ideologi

Di dalam Kapitalisme, cara penyebaran yang lazim adalah penjajahan dan pendudukan. Sejak zaman kekuasaan Imperium Inggris hingga kekuasaan Amerika, sejarah penjajahan benua ke benua dan penundukkan orang-orang pribumi, perampasan sumberdaya, dan akhirnya pembagian komunitas-komunitas pribumi tersebut menjadi negara-negara bagian kecil atas nama nasionalisme dan penanaman penguasa-penguasa boneka, telah menjadi alat penyebaran yang alami bagi Kapitalisme. Tentu, Hamid Karzai saat ini adalah Sharif Hussein atau Kemal Pasha kemarin!

Bahkan pada Abad 21 ini, saat yang gagasan-gagasan kemerdekaan, kebebasan dan HAM didengung-dengungkan oleh bangsa-bangsa kapitalis, invasi ke Irak tahun 2003 dan penderitaan atas penderitaan umat Islam yang tidak terhitung merupakan contoh terbaik bagaimana Kapitalisme demokratik sekular menyebarkan gagasan-gagasannya tentang ‘kebebasan dan demokrasi’ kepada bangsa-bangsa lain.

Sebaliknya, ideologi Islam yang diterapkan oleh sistem Khilafah pada masa lalu tidak pernah memperlakukan umat manusia dengan cara biadab seperti itu. Khilafah tidak menyebarkan Islam dengan paksaan maupun menghancurkan peradaban. Saat Islam menyebar ke Mesir, banyak orang Kristen Koptik yang tidak memeluk Islam dan hari ini mereka masih berjumlah kira-kira 7 juta. Demikian juga saat India dibuka kepada Islam, para penduduk tidak dipaksa untuk menerima Islam. Sekitar 750 juta orang Hindu yang tinggal di India hari ini, meskipun faktanya Islam memerintah anak benua itu selama lebih dari 700 tahun, adalah saksi klaim tersebut.

Orang-orang Yahudi yang selamat dari hoIocaust Spanyol diterima dengan tangan terbuka oleh Khilafah Ustmani. Di Spanyol (wilayah) Islam, mereka tumbuh dengan subur dan menjadi bagian yang penting di dalam masyarakat Islam. Selain itu, Islam tidak memperlakukan orang-orang Mesir, Turki, atau India sebagai orang yang berbeda dari orang-orang Jazirah Arab, saat ideologi Islam telah tumbuh dan membentuk negara pertama dengan dasar ideologi. Islam tidak merampas atau merampok harta anak benua yang kaya sumberdaya dan membawanya ke Arab. Sebaliknya, Imperium Inggris melakukannya dan Amerika melanjutkan perampokannya.

Supremasi ideologi Islam tegak di atas fakta bahwa ketika Amerika memasuki Irak, tidak ada yang menyambut mereka dan tidak seorang pun bersedia menerima keyakinan dan gagasan orang-orang Amerika. Mereka berkata, “Tidak Saddam, tidak Bush. Kami ingin Islam.” Sebaliknya, saat Islam memasuki Makkah, penduduk merangkul Islam dan menerima Nabi saw. dengan penyambutan yang paling gagah berani. Sejarah menjadi saksi penaklukan Makkah terbesar dan tak tertandingi oleh Islam ini. Keunggulan Islam tegak di atas fakta bahwa ketika Umar bin al-Khaththab ra. memasuki Yerusalem setelah penaklukannya, rakyat Yerusalem telah memberikan penyambutan sepenuh hati dan menerima Khalifah Umar ra.

Penjagaan Ideologi

Keunggulan ideologi Islam disebabkan oleh sudut pandang yang unik dan benar tentang masyarakat. Di dalam Komunisme, masyarakat telah diutamakan di atas individu. Di dalam Kapitalisme, individu diutamakan di atas masyarakat, seolah-olah masyarakat dan individu adalah kekuatan yang bertentangan dan saling mengimbangi. Hal ini merupakan pemahaman yang keliru tentang masyarakat. Ideologi Islam memiliki satu-satunya pemahaman yang benar. Hubungan antara individu dan masyarakat seimbang dengan harmonis dan berjalan seperti jari-jari pada roda, dimana roda tidak dapat bergerak jika jari-jarinya tidak cocok.

Sistem Islam dibangun atas perasaan dan pemikiran yang sama dari para individu tersebut. Dengan demikian, penerapan sistem atas individu-individu di dalam masyarakat menciptakan kerukunan, bukan perselisihan. Sebagai contoh, individu-individu di dalam masyarakat Islam meyakini: La ilaha illa Allahu Muhammadur Rasul Allah. Karena keyakinan, pemikiran dan perasaan individu-individu ini berdasarkan perintah suci di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Jadi, ketika negara menerapkan sistem Islam, orang-orang mendapati bahwa sistem bekerja sebagai pelindung pemikiran dan perasaan mereka. Dengan demikian, orang menjadi semakin beriman dan setia pada sistem dan memberikan kesetiaan pada peraturannya.

Oleh karena itu, fungsi sistem bekerja dengan sendirinya tanpa ada ketakutan terhadap polisi daripada takut kepada Allah SWT. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa Muslim di masyarakatnya ‘tidak minum sembunyi-sembunyi pada bulan Ramadhan’ walaupun tidak ada polisi atau siapapun yang mencegah seorang Muslim dari melakukannya. Oleh karena itu, adalah ketakutan kepada Allah, yaitu takwa, yang menuntunnya untuk tidak melanggar peraturan, meskipun saat ini tidak ada negara Khilafah.

Oleh karena itu, Negara Khilafah yang menerapkan ideologi Islam dapat secara alami berhasil dalam menerapkan peraturan-peraturannya diantara warga negaranya dan hubungan antara negara dan individu di dalam masyarakat menjadi lebih kuat hari demi hari. Ambil contoh lain lagi. Dunia Islam saat ini tidak memiliki Khilafah untuk menerapkan Islam. Walaupun demikian, Muslim tetap membayar zakat, dengan menghitung jumlahnya sendiri. Keikhlasan mereka muncul dari pemahaman atas keyakinan: La ilaha illa Allah Muhammadur Rasul Allah.

Selain itu, ketika Muslim mendapati para penguasa mereka membuat hukum sendiri dengan gagasan ‘sekularisme’ tak bertuhan, mereka tidak melihat apapun selain bahwa para penguasa mengingkari hukum Allah SWT. Oleh karena itu, mereka mengutuk para penguasa; menghindari peraturan-peraturan Negara, kapanpun mereka menemukan kesempatan setipis apapun untuk menghindar. Dengan demikian, para penguasa sekular hanya dapat terus mencengkeram masyarakat dengan penindasan, berakhir dengan polisi negara dan pengumuman resmi peraturan bahkan hingga ‘penyadapan telepon’ atau ‘pemasangan kamera rahasia’ di tempat tinggal mereka!

Kekuatan ideologi Negara Khilafah Islam dan keunggulannya adalah kekuatan individu-individu di dalam masyarakat dan kemampuan sistemnya untuk menerapkan sesuatu yang selaras dengan pemikiran dan emosi umat. Sistem itu sendirilah yang menjaga, melindungi pemikiran dan perasaan orang-orang. Dengan demikian, umat dan negara saling bahu-membahu, bukan saling membiarkan atau saling menghancurkan.

Tentu, ketika dunia Barat dengan Kapitalisme telah menguasai dunia ini, seluruh dunia tidak melupakan apa yang Samuel P. Huntington pernah katakan, “Barat memenangkan dunia bukan dengan keunggulan gagasan atau nilai atau agamanya, tetapi dengan keunggulannya dalam menerapkan kekerasan yang terorganisasi. Orang-orang Barat sering melupakan fakta ini, non-Barat tidak pernah melupakannya.” [Al-Wa’ie No.125, Januari 2011]


Kekuatan Militer Negara Khilafah


Kekuatan Dahsyat Ekonomi Negara Khilafah


Salah satu alasan terpenting yang sering dikemukakan atas kemiskinan di Dunia Islam pada saat ini adalah karena tidak diterapkannya demokrasi. Teori saling ketergantungan antara demokrasi, pembangunan dan HAM dikemukakan pertama kali pada Deklarasi Wina tahun 1933 oleh UNESCO. Mancur Olsen (Universitas Maryland), seorang ahli ekonomi kapitalis yang terkenal, dalam bukunya yang berjudul, Kekuasaan dan Kemakmuran (Power and Prosperity) (2000), menunjukkan bahwa negara-negara demokrasi pada umumnya menunjukkan pembangunan dan kemajuan jika dibandingkan dengan sistem pemerintahan yang lain.

Campos (1994) juga telah menunjukkan suatu hubungan positif antara demokrasi dan pembangunan. Michael T. Rock (2009), dengan memakai data di Asia, menolak bahwa demokrasi memperlambat pertumbuhan dan menunjukkan bahwa demokrasi menyebabkan pertumbuhan dan investasi.

Namun, ada tulisan ilmiah yang mengkritik validitas dari kesimpulan seperti itu. Contohnya, Christian Bjørnskov (2010), yang mengungkapkan data mengenai perbedaan pendapatan yang diperoleh dari Database Ketidakmerataan Pendapatan Dunia pada 88 negara berkembang. Karena itu, dia menyimpulkan bahwa teori ini sengaja dijajakan dan diterapkan oleh para elit politik dan akademisi dari negara-negara itu. Sebagai tambahan, penemuan Sirowy dan Inkeles (1991) mendukung suatu hubungan negatif antara demokrasi dan pembangunan.

Sebagai contoh, Pakistan. Di bawah kepemimpinan diktator Jendral Pervez Musharaf, Pakistan berada di ambang kebangkrutan. Lalu di bawah pemerintahan demokratis Asif Ali Zardari Pakistan secara teknis menjadi sebuah negara yang telah bangkrut. Negara itu telah gagal selama 60 tahun terakhir di bawah sistem demokrasi-sekular. Contoh lain, Bangladesh. Selama 20 tahun terakhir, Bangladesh mempraktikkan demokrasi. Sebenarnya, Bangladesh mulai dengan tingkat kemiskinan 48% pada tahun 1990, namun sekarang sekitar 51% hidup di bawah kemiskinan! Padahal negara itu dianggap sebagai salah satu model demokrasi terbaik di Dunia Islam. Kebalikannya, Kuwait, Saudi Arabia, Emirat Arab, Qatar, Brunei dll diperintah oleh kerajaan. Negara mana yang lebih berkembang secara ekonomi? Tentu saja bukan Bangladesh!

Dengan melihat perkembangan pada tahun 2010, ekonomi di negara-negara Barat sendiri—seperti Amerika, Jerman, Perancis, Yunani, Italia, Spanyol, Portugal, Irlandia, dll—runtuh. Ini menunjukkan bahwa negara-negara demokrasi sekular itu gagal membuat rakyatnya stabil secara ekonomi selama beberapa masa. Karena Kapitalisme dan penerapan pasar bebas pulalah mayoritas penduduk dunia (3 miliar orang) hidup dengan kurang dari 2 dolar sehari; dua pertiga dunia berhutang sebesar $1,2 triliun, 1,3 miliar orang lainnya hidup dengan kurang dari 1 dolar sehari; 1,3 miliar orang tidak punya akses terhadap air bersih; 3 miliar orang tidak punya akses sanitasi; dan 2 miliar orang tidak punya akses listrik.

Di sisi lain, Islam selama lebih dari 1300 tahun menerapkan sistem ekonomi Islam tanpa mengalami resesi sepanjang sejarahnya. Karena itu, keterbelakangan ekonomi di Dunia Islam bukan karena mereka tidak mengadopsi sistem demokrasi sekular dan pasar bebas. Yang terjadi adalah kebalikannya, yakni karena sistem itu diterapkan di Dunia Islam.

Kekuatan Ekonomi Dunia Islam

1. Swasembada Pangan.

Salah satu faktor utama untuk mencapai swasembada bagi negara manapun adalah dengan mendapatkan produksi makanan yang cukup dari dalam negeri. Jika sebuah negara dapat memberi makanan bagi rakyatnya, tentu hal ini akan menambah daya tawar secara internasional sebagai sebuah negara yang independen. Berbagai sumber statistik menunjukkan bahwa Dunia Islam mendapat tempat yang baik ketika kembalinya Negara Khilafah Islam pada masa datang. Sesungguhnya Negara Khilafah Islam tidak membutuhkan bantuan dari negara manapun karena negara itu mampu menghasilkan cukup makanan biji-bijian seperti beras, gandum, kentang dan sereal untuk memberi makan penduduknya.

Dalam hal beras, menurut Institute Penelitian Beras Internasional (International Rice Research Institute), negara-negara Islam saat ini memproduksi sekitar 21,06% dari produksi beras global tahun 2008. Indonesia dan Bangladesh adalah produser beras ke-3 dan ke-4 terbesar di dunia. Apalagi menurut FAO Indonesia dan Bangladesh mengalami pertumbuhan produksi beras yang cepat pada tahun 2005 dan 2006, masing-masing lebih dari 8,6% dan 6,9%; sementara Pakistan diharapkan mampu memimpin pada ekspor beras pada tahun 2010. Sebuah laporan yang berjudul, “Monitor Pasar Beras” yang diterbitkan oleh FAO, sebuah badan PBB, memperkirakan bahwa ekspor beras dari Pakistan akan naik sebesar 3,8 juta ton pada tahun ini (2009), dibandingkan dengan hanya 2,8 juta ton pada tahun 2008.

Dalam hal gandum, negara Khilafah Islam yang diwakili oleh negeri-negeri Islam saat ini juga memproduksi gandum yang cukup besar. Menurut ‘Laporan Pasar Besar’ pada tahun 2010 negeri-negeri Islam telah memproduksi sekitar 102,3 juta metrik ton gandum yang mewakili sekitar 16,85% produksi gandum. Pakistan menempati posisi ke-7, Turki posisi ke-8, Kazakhstan posisi ke-10 dan Iran pada posisi ke-11 sebagai produser gandum terbesar di dunia. Apalagi Kazakhstan merupakan eksportir gandum terbesar dunia ke-5 dan Turki ke-8.

Dalam hal sereal, yang merupakan salah satu makanan Barat, Negara Khilafah Islam yang diwakili oleh negeri-negeri Islam memproduksi sekitar 30% keseluruhan produksi sereal dunia. UAE merupakan produsen sereal no. 1 di dunia, sementara Yordania dan Kuwait masing-masing menempati posisi ke-4 dan ke-5.

Apalagi Indonesia adalah produsen kacang hijau ke-2 terbesar dunia, sementara Turki menempati posisi ke-3. Menurut statistik FAO tahun 2009, produksi gabungan dari kacang hijau Indonesia, Turki, Mesir dan Maroko adalah sebesar 25,82% produksi dunia.

2. Sumberdaya Migas.

Sumber daya energi minyak, gas dan mineral lain menunjukkan bahwa, masa depan Negara Khilafah melebihi apa yang dimiliki negara-negara lain di dunia. Dunia Islam memegang monopoli cadangan minyak dunia, yakni sekitar 72% dari cadangan minyak dunia. Fakta menunjukkan bahwa minyak adalah sumber energi yang paling penting untuk mencapai bukan hanya pertumbuhan ekonomi namun juga untuk menjadi ekonomi terbesar dunia. Dunia Islam menghasilkan hampir 50% dari produksi minyak harian dunia. Saudi Arabia adalah produsen terbesar dengan 13,39%, sementara Rusia memproduksi 11,75%, Amerika memproduksi 9,16%, dan Iran memproduksi 5,16%.

Dunia telah membuktikan bahwa cadangan gas adalah sebesar 175,36 triliun cum. Dari jumlah itu Dunia Islam memiliki 107,75 triliun cum yakni 61,45%. Meskipun Rusia saat ini ada di posisi pertama dalam hal cadangan gas dengan 47,57 trilliun cum atau 27,13%, hal ini karena Dunia Islam masih terpecah berdasarkan nasionalisme di bawah kendali kolonialis karena tidak adanya Negara Khilafah Islam. Negara Adidaya Amerika Serikat saat ini hanya memiliki 5,978 triliun cum atau 3,4%, sedangkan Cina hanya sedikit di atas 1% dan Inggris hanya 0,2%.

Saat ini negeri-negeri Muslim, yakni Iran merupakan ke-2 terbesar (15,31%), Qatar adalah ke-3 terbesar (14,61%), Arab Saudi ke-4 terbesar (4,8%), dan Uni Emirat Arab ke-5 yakni 3,46% dengan cadangan yang telah terbukti. Dari 15 negara teratas dengan cadangan gas yang terbukti, 12 negara merupakan bagian alami dari Negara Khilafah Islam masa depan. Apalagi saat sekarang, sejumlah besar cadangan gas telah ditemukan di Afganistan. Sejalan dengan sumber-sumber daya alam lainnya, gas diperkirakan memiliki nilai pasar lebih tinggi daripada GDP dari 300 tahun negara Adidaya Inggris!

3. Cadangan Batubara.

Sumber energi alam lain yang penting di dunia adalah batubara. Pada hari ini batubara menyediakan 26,5% dari kebutuhan energi primer global dan menghasilkan 41,5% listrik dunia. Menurut World Coal Institute pada tingkat saat ini produksi cadangan batubara yang terbukti dapat dipakai untuk lebih dari 119 tahun penggunaan.

Meskipun tidak ada konfirmasi resmi mengenai cadangan batubara yang terbukti di masing-masing negara, dengan melakukan pengecekan silang dari berbagai sumber, jelas bahwa Dunia Islam memiliki jumlah cadangan batubara besar. Pada kenyataannya memang benar Dunia Islam tidak menjadi posisi pertama dalam hal cadangan batu bara yang terbukti. Namun faktanya, Dunia Islam tidak memiliki kekurangan batubara.

Indonesia merupakan salah satu produsen batubara top 10 di dunia. Dari tahun 2003 sampai hari ini Indonesia adalah pengekspor batubara ke-2 terbesar dunia setelah Australia. Indonesia mengekspor sekitar 21% perdagangan batubara global. Kazakhstan memiliki cadangan batubara ke-8 terbesar di dunia. Selain itu, Indonesia, Turki, Pakistan dan Bangladesh adalah di antara 20 negara dengan cadangan batubara terbukti menurut statistik dari BP Statistik Review Energi Dunia pada bulan Juni 2009. Pakistan memiliki lapangan batubara Thar di Provinsi Sind. Ini adalah lapangan batubara terbesar di dunia.

4. Cadangan Uranium.

Di dunia sekarang ini, sumber energi yang paling penting adalah uranium. Uranium digunakan sebagai bahan bakar dalam reaktor nuklir untuk menghasilkan listrik serta memproduksi senjata nuklir sebagai penggetar setiap ancaman asing. Bahkan energi nuklir akan menjadi salah satu pasokan energi yang tumbuh pada tahun-tahun yang akan dating (Alistair J Stephens, 2005). Pembangkit listrik nuklir adalah bentuk yang paling efisien dari pembangkit listrik. Sekitar 15% dari pembangkit listrik di dunia berasal dari 440 pembangkit tenaga nuklir yang memproduksi listrik 365.560 MWe. Sebanyak 25 pembangkit nuklir lain sedang dibangun dan akan menghasilkan tambahan tenaga listrik sebesar 20.776 MWe.

Pembangkit itu menyediakan 10.000 kali lebih energi perkilogram bahan bakar yang dihasilkan dari bahan bakar fosil tradisional. Ini merupakan penggunaan yang super efesien sumberdaya alam. Oleh karena itu, jika kita melihat sumber bahan bakar energi utama, kita melihat masa depan Negara Khilafah Islam akan memegang posisi kedua atau pertama. Tidak ada negara, konfederasi, dll yang bahkan mendekati tingkat energi sumber daya yang dimiliki Dunia Islam. Memang, itu adalah aset strategis yang telah membentuk keseimbangan kekuasaan, geopolitik dan ketertiban global dan internasional selama berabad-abad dan akan terus memainkan peran penting juga dalam berabad-abad mendatang.

5. Bijih Besi.

Bijih besi, yang merupakan komponen penting lain dari produksi industri skala besar, juga tersedia di beberapa bagian Dunia Islam. Survei menunjukkan bahwa Iran adalah produsen bijih besi ke-9 terbesar di dunia dengan perkiraan produksi 35 juta metrik ton. Kazakhstan dan Mauritania adalah produsen bijih besi ke-13 dan ke-14 di dunia di tahun 2008. Terlepas dari sumberdaya alam itu, Dunia Islam memiliki cadangan emas yang besar. Indonesia merupakan produsen emas ke-7 terbesar, Uzbekistan ke-9 terbesar, dan Tanzania ke-16 terbesar dunia. Kazakhstan, Kyrgyzstan, Arab Saudi dan Pakistan juga memiliki jumlah produksi emas yang cukup besar.

6. Angkatan Kerja dan Pasar Domestik.

Dua faktor penting lain bagi ekonomi untuk tumbuh adalah sumberdaya manusia dan pasar domestik yang cukup besar. Melihat kondisi ini, Dunia Islam memiliki angkatan kerja terbesar pada kategori usia 15-50 tahun. Untuk mendorong ekspansi ekonomi, mendapatkan produksi berbiaya rendah dan mendapatkan keunggulan kompetitif di pasar, salah satu faktor paling penting adalah adanya tenaga kerja produksi yang melimpah di Dunia Islam. Pada hari ini, masyarakat Eropa cemas karena sebagian besar negara anggota Uni Eropa akan melihat penurunan populasi mereka akibat laju pertumbuhan populasi yang negatif. Mereka juga akan memiliki masalah penuaan penduduk seperti di Jepang. Ide kompetensi biaya produksi telah menyoroti pentingnya outsourcing buruh yang murah oleh negara dengan ekonomi terbesar dunia. Ini jelas menyoroti peran tenaga kerja dalam pembangunan ekonomi.

Selain itu, masuknya imigrasi di Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Eropa juga menyoroti bagaimana putus-asanya negara-negara tersebut untuk menjaga agar tenaga kerja cukup besar bagi kebutuhan produksi industri.

Saat kembalinya Khilafah, negara akan memiliki 17,23% angkatan kerja global dunia, sementara Cina dan India masing-masing hanya 2,57% dan 1,667%. Pada tahap ini Indonesia, Bangladesh dan Pakistan yang merupakan tempat yang mungkin bagi kembalinya Negara Khilafah Islam akan memiliki tenaga kerja masing-masing dalam urutan ke-4, ke-8 dan ke-11 pada statistik tenaga kerja global.

Selain itu, Negara Khilafah Islam akan terdiri dari 23% populasi global yang menjadi konsumen global, yang merupakan faktor utama untuk mendorong pertumbuhan bisnis dalam mencapai industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi secara internal. (Al-Waie No. 125, Januari 2011)


Kekuatan Geostrategis Negara Khilafah

Perjuangan suatu negara untuk mencapai posisinya tidak mengenal henti. Kompetisi antarnegara dalam kancah politik internasional pun sudah berlangsung sejak dulu. Dalam setiap lembaran sejarah, akan selalu ada satu negara yang dianggap sebagai negara yang memimpin dan mengendalikan dunia. Kompetisi ini, selain dipengaruhi oleh keyakinan yang diemban negara, penduduknya dan sistem yang dianutnya, juga dipengaruhi oleh kekuatan geostrategis negara tersebut.

Barat telah menggunakan istilah geopolitik dan menurut Oyvind Osterud (1988) ia telah menjadi penting pasca masa kolonial. Menurut Osterud tradisi geopolitik mengindikasikan adanya kaitan sebab-akibat antara kekuatan politik dan wilayah geografis. Menurut dia, istilah geopolitik dalam istilah yang baku berarti kumpulan pemikiran yang mendalami strategi yang spesifik, yang diformulasikan berdasarkan kepentingan relatif kekuatan darat dan laut dalam sejarah dunia. Karena itu, dalam membangun negara terkemuka di dunia, pentingnya kontrol atas geopolitik internasional tidak bisa diremehkan. Studi komprehensif terhadap sejarah Inggris dan Amerika—sebagai contoh negara adidaya global masa lalu dan sekarang—akan menampilkan beberapa kesimpulan penting mengenai karakter geopolitik sebuah negara adidaya.

Geostrategis Imperium Inggris Masa Lalu

Supremasi Inggris di dunia adalah karena kemampuannya menjajah Afrika, Amerika, Semenanjung India dan Timur Tengah di penghujung era kolonial.

Koloni Inggris di Amerika merupakan sumber hasil pertanian yang mendatangkan uang bagi Inggris dan, lebih penting lagi, menjadi sumber penghasilan penting dari bisnis jual-beli budak. Sedikitnya 3,5 juta budak, terutama berasal dari Afrika, telah dijual ke koloni Inggris di Amerika.

Afrika, selain merupakan sumber suplay budak, juga merupakan sumber bahan mentah yang penting. Inggris memerangi Prancis habis-habisan agar tetap memilki hubungan baik dengan beberapa kawasan di Afrika yang saat itu berada di bawah Khilafah Utsmani dan untuk tetap mengontrol bagian Afrika yang menjadi koloninya.

Meskipun penemuan mineral di Afrika baru banyak dilakukan pada Abad 20, pada masa lalu potensi kekayaan Afrika yang melimpah seperti sumber hutan, budak, tanah untuk pertanian, dan batubara untuk menjalankan roda industri secara pesat meningkatkan perhatian Inggris terhadap Afrika. Jika kita memperhatikan bagaimana Inggris menjaga dominasinya itu, Selat Gibraltar memberikan jawaban yang sempurna.

Semenanjung India menjadi lokasi penting lainnya bagi geopolitik Inggris. Kontrol penuh atas Semenanjung baru terealisai pada penghujung tahun 1857. Pada Abad 19, Inggris terus memproteksi koloni di India dan memperluasnya, sebagai batu loncatan untuk menguasai seluruh Asia.

Tentara bayaran perusahaan East India Company (EIC) memiliki peran penting bagi militer Inggris, sejak perang 7 tahun, dalam memukul mundur Napoleon dari Mesir (1799), merebut Jawa dari Belanda (1811), menguasai Singapura (1819) dan Malaka (1824) serta mengalahkan Burma (1826). Dari India pula Inggris bisa mengusik Cina dan menguasai Hongkong melalui manuver opium. Dengan demikian, India merupakan lokasi geostrategis bagi imperium Inggris di Asia Pasifik.

Bagi kekuatan adidaya, Mesir merupakan jalur kunci perdagangan rempah-rempah antara Eropa dan Asia. Inggris pun merebut Mesir dari Prancis pada abad ke-18. Mesir memberikan jalur tercepat untuk menjalin komunikasi dengan koloninya di India. Karena itu, jalur Terusan Suez menjadi penting sebagai urat nadi Imperium Inggris.

Apa yang dikenal sebagai ‘Rute Merah’ adalah rute perdagangan dari Inggris bagian selatan à Gibraltar àMalta àAlexandria àPort Said (setelah dibangunnya kanal) àTerusan Suez àAden àMuscat (akses menuju Teluk Persia) àIndia àSri Lanka àBurma àMalaysia àSingapura; lalu menyebar ke Pasifik, menuju Hong Kong, Australia, Selandia Baru, dan koloni Inggris lainnya. Ini mengingatkan kita bahwa rute ini merupakan rute strategis paling penting bagi Imperium Inggris.

Terakhir, Laut Mediterania merupakan lokasi geopolitik terpenting bagi Inggris. Dari tahun 1600-an hingga sekarang, Laut Mediterania membantu Inggris untuk mengontrol koloninya di Afrika sebagai sumber bahan baku dunia, memelihara komunikasi dengan Semenanjung India melalui Terusan Suez dan Teluk Persia, serta menjaga kekuatan Eropa lainnya tetap di luar Timur Tengah, Asia dan Afrika. Bahkan hingga hari ini pun, jalur ini masih merupakan jalur perdagangan tersibuk untuk perekonomian dunia; menghubungkan Amerika dan Eropa, dengan Asia dan Timur Tengah.

Dengan demikian, fakta sejarah menunjukkan bahwa Benua Afrika, Timur Tengah, Laut Mediterania, Teluk Persia dan Semenanjung India menjadi lokasi terpenting dalam kepentingan geopolitik Imperium Inggris. Dengan menguasai rute dan lokasi penting ini, Inggris menikmati pertumbuhan ekonomi yang digerakkan oleh visi politiknya. Lebih jauh lagi, sejarah mencatat bahwa Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat Hormuz di Teluk Persia dan Selat Malaka memegang peran penting dalam mempertahankan Inggris sebagai kekuatan adidaya selama 200 tahun.

Kolonialisme Amerika: Geostrategis Modern

Sejarah Amerika sebagai satu negara adidaya penting pada masa 1945-1990, dan adidaya dunia tunggal sejak 1991- hingga sekarang, memberikan beberapa kesimpulan penting.

Amerika menguasai minyak dari Timur Tengah untuk mendukung ekspansi ekonomi dan kebutuhan militernya. Krisis minyak 1973 menunjukkan rawannya ekonomi Amerika dan negara-negara Barat lainnya ketika suplai minyak diputus. Karenanya, Amerika membangun pangkalan militer di Teluk Persia, Arab Saudi dan Kuwait pada tahun 1990-an dan di Irak baru-baru ini. Sumber minyak dari Tim-Teng dikirim ke AS melalui Terusan Suez ke Mediterania. Untuk mengamankan suplai minyak itu, AS memerangi keberadaan Inggris dan Rusia di kawasan itu sejak PD II hingga akhirnya menang pada 1990-an selama Perang Teluk I dan jatuhnya Komunisme 1990. Betapa strategisnya kawasan ini diungkapkan dalam pidato Presiden Jimmy Carter tahun 1980 yang dikenal sebagai Doktrin Carter, “Sikap kami sudah jelas, kekuatan asing manapun yang berusaha mengontrol Teluk Persia akan dianggap sebagai serangan terhadap kepentingan vital Amerika dan akan dihadapi dengan berbagai tindakan, termasuk tindakan militer.”

Faktanya, 23% impor minyak AS berasal dari Timur Tengah. Kini Amerika menghadapi persaingan dari Cina dan Rusia terhadap akses minyak Timur Tengah. Demikian juga menghadapi kompetisi dari India, Jepang dan Uni Eropa. Karena itu, kawasan Mediterania dan Teluk Persia menjadi satu lokasi paling strategis bagi Amerika yang sudah mengalami perubahan dari peta kekuatan unipolar menjadi multipolar.

Sejak era Perang Dingin kawasan Laut Hitam dan Laut Kaspia menjadi tempat penting bagi Amerika untuk mengendalikan Rusia yang semakin berpengaruh di wilayah itu dan juga mempertahankan sekutu ideologisnya di Eropa. Meskipun dari dulu bersaing, AS dan Rusia memiliki kepentingan yang sama di kawasan Kaspia. Ini karena dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan pesat aktivitas gerakan Islam dan seruan untuk tegaknya kembali Khilafah Islamiyah oleh partai politik Islam non-kekerasan, yang populer dan aktif, yang telah menginspirasi Muslim di kawasan ini. Hizbut Tahrir menjadi aktor utamanya. Hingga tahun 2010, lebih dari 10 ribu aktivis dan pendukung Hizbut Tahrir dipenjara di Uzbekistan, termasuk wanita tua (73 th) dan anak-anak (13 th), dengan hukuman antara 7 hingga 20 tahun, hanya karena aktivitas dakwah mereka, bukan karena aksi kekerasan ataupun kejahatan apapun. Seorang pengamat independen dari Inggris yang memiliki hubungan dengan Kedutaan Inggris di Uzbekistan mengatakan, “Barat hanya punya satu opsi, yaitu Diktator brutal Islam Karimov, karena di luar itu hanya ada Hizbut Tahrir dengan Khilafah Islamiyahnya.”

Hal sama juga terjadi di negeri Asia Tengah lainnya.

Terakhir, di wilayah Asia, Amerika memiliki kepentingan untuk mengisolasi Cina. Lebih jauh lagi, bangkitnya India dalam skala regional dan pasarnya yang besar, gencarnya seruan Khilafah dari Pakistan, Bangladesh dan Indonesia membuat Asia Selatan merupakan target kebijakan luar negeri Amerika yang penting menurut Menlu AS Hillary Clinton. Pesatnya perekonomian Cina sudah mulai mengakar di negeri ASEAN dan meluaskan penetrasi ke Semenanjung Asia Selatan melalui Myanmar, Pakistan, dan Bangladesh.

Ancaman Islam Politik di kawasan Samudera India yang meliputi Pakistan, Bangladesh, India dan Indonesia yang didiami tidak kurang dari 60% populasi Muslim dunia telah mengkhawatirkan pembuat kebijakan Amerika.

Maka dari itu, dari studi yang mendalam tentang dua kekuatan adidaya penjajah dunia, Inggris dan Amerika, beberapa kawasan diketahui menjadi pusat pengaruh yang sangat penting bagi bangkitnya negara adidaya baru. Kontrol atas pusat pengaruh tersebut sangat penting dalam persaingan peradaban. Menilik sisi ekopolitik dan kepentingan strategis, ada beberapa pusat kawasan yang menjadi kunci pengendalian dunia, yaitu:

1. Kawasan Mediteranea, Timur Tengah dan Teluk Persia.

2. Benua Afrika yang kaya sumberdaya alam.

3. Asia Selatan dan Asia Tenggara yang terhubung dengan Selat Malaka.

4. Kawasan Laut Kaspia dan Laut Hitam.

Bangkitnya Negara Khilafah Islamiyah: Implikasi Geostrategis

Dari studi geostrategis ini, siapapun yang ingin melukiskan masa depan dunia, akan mendapatkan kesimpulan yang sangat penting dan mendalam. Umat Islam yang memiliki kesamaan keyakinan, tradisi dan aspirasi masa depan dan kelak akan disatukan dalam negara Khilafah Islamiyah dengan izin Allah SWT menempati posisi strategis. Keempat kawasan kunci serta rute perdagangan dan perekonomian paling vital yang disebutkan sebelumnya berada di wilayah kaum Muslim. Begitu Khilafah Islamiyah bangkit, dengan kontrol atas kawasan kunci dan rute vital itu, yang dikombinasikan dengan potensi demografi, ekonomi, militer dan ideologi, maka dalam sekejap Khilafah Islamiyah akan menjelma menjadi adidaya baru di dunia. Hal itu hanyalah masalah waktu. [Al-Waie No. 125, Januari 2011]


Potensi Demografi Muslim Bagi Kebangkitan Kembali Khilafah


Over Populasi: Bencana?

Sejak 1960 secara global dibangun mitos di seputar masalah ledakan jumlah penduduk. Dimitoskan bahwa angka pertumbuhan penduduk yang tinggi dan besarnya jumlah penduduk telah menjadi bencana yang mengancam peradaban umat manusia. United Nations Population Fund (UNFPA) pada tanggal 8/7/2010 menginformasikan bahwa jumlah penduduk dunia sudah mencapai 6,8 miliar orang dan akan naik dua kali lipat dalam 4 dekade kedepan, yaitu tahun 2050, apabila tingkat pertumbuhan penduduk tidak dikendalikan.

Para ahli Barat berperan besar dalam membangun mitos masalah over populasi. Menurut John A. Lorraine (1967) over populasi pada abad ke-20 adalah salah satu bencana yang menimpa planet kita ini. Cicely D. Williams (1966) mengatakan bahwa negara-negara di dunia yang kini menderita akibat over populasi diharuskan untuk menghabiskan dana yang banyak untuk mengendalikan kesuburan penduduknya. Menurut dia, cara terbaik adalah dengan membuat program keluarga berencana (KB). Menurut W. Parker Mauldin (1977) untuk mengatasi masalah over populasi diperlukan program kependudukan yang diterapkan dalam rencana pembangunan.

George B. Simmons (1977) dalam penelitiannya menemukan bahwa pertumbuhan populasi adalah masalah dan terkait dengan perubahan ekonomi. Menurut dia, pertumbuhan penduduk yang pesat di negeri miskin di Afrika, Asia dan Amerika Latin membuat penyelesaian masalah ekonomi jadi sulit dan lebih sulit lagi untuk memastikan pertumbuhan pendapatan perkapita. Menurut dia pula, kemiskinan tidak akan bisa diatasi jika populasi tidak dikendalikan. Karena itu, harapan terbaik adalah menggabungkan reformasi sosial dan ekonomi dengan program pengendalian populasi.

Lebih jauh lagi, Roy O. Greep (1998) menyatakan bahwa over populasi merupakan akar masalah sosial dan lingkungan seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, kejahatan, terorisme, polusi air dan udara serta hilangya ozon. Menurut dia, dengan berbagai alasan maka pertumbuhan jumlah penduduk harus dikendalikan baik secara alami atau dengan campur tangan manusia.

Namun, benarkah jumlah penduduk yang besar merupakan masalah atau bahkan bencana? Memang, tidak banyak artikel akademik yang mendukung pertumbuhan jumlah penduduk, apalagi mengatakan bahwa pertumbuhan populasi yang tinggi justru mendukung ekonomi dan pamor negara! Namun, cerita Cina, India dan Brazil menunjukkan bahwa populasi yang besar, jika dokimbinasikan dengan kemampuan teknologi dan pengaturan logistik yang tepat, akan membangun ekonomi yang besar dengan pasar lokal yang mendukung bisnis untuk tumbuh, meningkatkan skala produksi ekonomi, serta menaikkan potensi dan status negara.

Faktanya, Inggris sebagai negara adidaya pada abad ke-19, pertumbuhan ekonominya didukung oleh teknologi, tenaga kerja murah, dan bahan mentah dari daerah jajahannya serta perluasan pasar di dunia dengan mengontrol lalu-lintas perdagangan dunia. Namun, sekarang Inggris menduduki peringkat yang lebih rendah dibandingkan dengan adidaya lain dalam berbagai aspek; bukan karena tidak menguasai teknologi, tetapi justru karena pasar globalnya telah mengecil dan kapasitas memperoleh bahan baku dan tenaga kerja murah telah berkurang—di satu sisi akibat naiknya pengaruh Amerika dan di sisi lain karena berkurangnya populasi Inggris dibandingkan dengan era kolonial dulu.

Lebih jauh lagi, kasus Amerika yang mengundang imigran asing dengan menyelenggarakan undian memperoleh visa menunjukkan, bahwa pertumbuhan populasi penduduk justru membantu dominasi ekonomi Amerika. Kalau pertumbuhan populasi merupakan masalah, mengapa Eropa, Kanada, Australia, dll justru mengkompensasi penurunan populasinya dengan mengundang imigran?

Faktanya, besarnya populasi justru dan selalu menjadi faktor penting bagi suatu negara untuk mempengaruhi kebijakan dunia, ekonomi dan geopolitik. Tentu penurunan jumlah penduduk akan kontraproduktif bagi bangsa manapun yang bermimpi akan menjelma menjadi kekuatan adidaya dunia. Itulah sebabnya Jerman, Italia, Jepang dan Rusia sangat khawatir dengan menurunnya populasi mereka. Bagi suatu negara ideologis, adalah penting memiliki populasi besar yang menganutnya; lalu berikutnya mengikuti, mempraktikkan, mengimplementasikan, mempropagandakan dan menyebarluaskan sistem ideologi tersebut.

Tren Populasi di Dunia Islam

Dari sekian banyak berkah Allah SWT adalah besarnya populasi Muslim dunia yang bisa menjadi potensi besar bagi bangkitnya negara adidaya baru ke depan. Studi demografi komprehensif dari 200 negara menunjukkan populasi Muslim dunia sebesar 1,57 miliar yang mewakili sekitar 23% dari 6,8 miliar penduduk dunia menurut estimasi di tahun 2009.1

Studi lanjutan menunjukkan bahwa dua pertiga dari Muslim dunia tinggal di 10 negara, yaitu enam negara di Asia (Indonesia, Pakistan, India, Bangladesh, Iran and Turki), tiga negara di Afrika Utara (Mesir, Aljazair dan Maroko) dan satu negara di sub-sahara Afrika (Nigeria).

Secara umum populasi Muslim ada di lima benua, dimana 60% berada di Asia dan 20% di Timur Tengah dan Afrika Utara. Negara di Timur Tengah dan Afrika Utara banyak yang mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Lebih dari 300 juta Muslim (seperlima dari total penduduk Muslim dunia) tinggal di negara dimana Muslim bukan mayoritas. Populasi minoritas Muslim ini cukup besar. India yang dulu adalah bagian dari dari Khilafah Islamiyah memiliki populasi Muslim ketiga terbesar di dunia. Cina memiliki penduduk Muslim lebih banyak daripada Syria. Rusia adalah rumah bagi populasi Muslim yang lebih banyak daripada gabungan Yordania dan Libya. Dari sekitar 317 juta Muslim yang tinggal sebagai minoritas, sekitar 240 juta (75 %) tinggal di lima negara: India (161 juta atau 13,4% dari populasi), Ethiopia (28 juta atau 34% dari populasi), Cina (22 juta), Rusia (16 juta atau 11,7% dari populasi) dan Tanzania (13 juta atau 30,2% dari populasi). Dari 10 negara terbesar dengan jumlah Muslim minoritas adalah Eropa yaitu Rusia (16 juta) dan Jerman (4 juta atau 5% dari populasi).

Sebaran Demografis Umat Islam

Sebaran demografi umat Islam menunjuk-kan, empat wilayah memiliki populasi Muslim tertinggi. Ini bisa menjadi satu faktor yang menentukan untuk mendorong lahirnya negara global jika wilayah itu punya aset strategis lainnya seperti energi, industri, keuntungan strategis dan yang terpenting adalah asimilasi ideologis. Dari sisi ‘kekuatan populasi’, di antara empat wilayah itu, tiga pertama memiliki kualifikasi menjadi titik awal kembalinya Khilafah Islamiyah:

1. Wilayah Asia Pasifik mewakili 62% penduduk Muslim dunia. Empat negara (Indonesia, Bangladesh, Pakistan dan India) didiami sekitar 43,5% dari Muslim dunia (690 juta). Dua negeri Muslim, yaitu Pakistan dan Indonesia, memiliki kekuatan yang potensial. Pakistan adalah satu-satunya negeri Muslim yang memiliki senjata nuklir. Berdirinya Khilafah Islamiyah di Pakistan akan dengan cepat menyatukan wilayah tetangga seperti Afganistan, Uzbekistan, Kazakhstan, Kirgistan dan negeri-negeri Asia Tengah lainnya. Lebih jauh lagi, wilayah Khilafah akan dengan cepat meluas ke Selatan dan Asia Tenggara melalui Bangladesh, Indonesia dan Malaysia. Dengan demikian, wilayah yang kaya sumberdaya, dengan posisi yang strategis, dan populasi yang besar ini bisa menjadi awal mula kebangkitan umat di bawah satu negara Khilafah Islamiyah.

2. Dunia Arab, yakni Timur Tengah dan Afrika Utara, didiami oleh sekitar 315 juta Muslim atau 20% dari populasi Muslim dunia. Lebih dari separuh negeri-negeri di Timur Tengah-Afrika Utara mayoritas penduduknya adalah Muslim, sekitar 95% atau lebih, yaitu: Aljazair (34 juta); Mesir (79 juta); Irak (30 juta); Yordania, Kuwait, Libya, Maroko (32 juta); Palestina, Arab Saudi (25 juta); Tunisia (10 juta); Sahara Barat dan Yaman (23 juta). Negeri lainnya, prosentase Muslimnya lebih kecil, yaitu Suriah (92%, 20 juta), Oman (88%), Bahrain (81%), Qatar (78%), Uni Emirat Arab (76%) dan Sudan (71%, 30 juta). Tentu saja dengan potensi SDA yang besar, posisi strategis, asimilasi ideologis, dan besarnya populasi Muslim yang menguasai bahasa Arab, wilayah ini ideal bagi bangkitnya kembali negara Khilafah Islamiyah. Jadi, tidak aneh jika laporan the Project for the New American Century (2000)” berkesimpulan bahwa, “Amerika tidak boleh kehilangan kontrol terhadap wilayah Timur Tengah dan Teluk Persia.”

3. Asia Tengah dan Barat, meliputi Afganistan, Armenia, Azerbaijan, Siprus, Iran, Kazakhstan, Kirgistan, Tajikistan, Turki, Turkmenistan dan Uzbekistan; mayoritas penduduknya beragama Islam kecuali Siprus. Total populasi Muslim wilayah ini 380 juta atau 24% dari populasi Muslim dunia. Wilayah yang sangat volatil ini menurut Ariel Cohen (2003) menyimpan ancaman keamanan terbesar bagi Amerika. Ariel Cohen secara spesifik menyebut Hizbut Tahrir, sebuah partai politik Islam global non-kekerasan, telah membentuk opini publik tentang Khilafah Islamiyah di wilayah ini. Elizabeth Wishnick (2004) dengan jelas menyatakan, militer AS harus bisa menghadapi ancaman apapun dari kebangkitan Khilafah Islamiyah di Asia Tengah. Ia menyarankan agar AS memiliki pangkalan militer yang besar terutama di wilayah Uzbekistan, Kirgistan dan Tajikistan. Harian People’s Daily (24/9/2010), telah membongkar rencana Amerika untuk memperluas pangkalan militernya di Baghram, Kandahar dan pangkalan udara di Mazar-E-Sharif di Afganistan dengan biaya 300 juta dolar untuk menyiapkan diri menghadapi kemungkinan konflik global pada masa depan.

4. Sub-Sahara Afrika, didiami oleh sekitar 241 juta Muslim atau sekitar 15% dari Muslim dunia. Nigeria merupakan negeri dengan penduduk Muslim terbesar (78 juta jiwa atau 50% dari total penduduk Nigeria) di wilayah ini.

Saat ini Dunia Islam memang terpecah menjadi lebih dari 57 negara kecil. Itu karena kolusi para penguasa negeri Islam dengan imperialis Barat. Namun, agresi budaya oleh Barat telah gagal menjauhkan Islam dari umat Muslim. Penguasa di negeri Muslim pun tidak bisa melakukannya. Betapapun represi politik mereka lancarkan terhadap para pengemban dakwah, seruan persatuan umat dan penghapusan batas-batas kolonial makin nyaring terdengar. Upaya Barat agar umat Islam tetap terpecah-belah akan diterjang oleh gelombang pergerakan umat saat ini. Ketika Islam kembali dipraktikan dalam kehidupan, maka hanya dalam sekejap mata saja penyatuan 1,56 miliar umat Islam akan terwujud dalam satu wilayah besar. Dengan sumberdaya manusia yang demikian besar yang memiliki keyakinan yang homogen, Dunia Islam menunjukkan realita yang tak bisa dipungkiri untuk menjadi negara global yang terkemuka di dunia. [Al-Waie No 125 Januari 2011]


Khilafah: Negara Global Utama

Sejak bom atom meletus di akhir Perang Dunia (PD) II, kejayaan imperium inggris resmi berakhir, dan babak dominasi Amerika pun dimulai. Sejak PD II, Amerika telah mendominasi dunia dengan kekuatan militer dan ekonominya. Namun, 50 tahun setelah itu Amerika tidak lagi menikmati kejayaannya sejak invasinya ke Irak dan Afganistan yang telah menghabiskan banyak sumberdaya. Krisis ekonomi global semakin membuat Amerika semakin terpuruk dan mulai bergantung pada intervensi Sosialisme untuk menggulirkan roda ekonominya kembali. Upaya ini pun ternyata gagal ketika Amerika mulai memasuki resesi kedua di bulan Juli 2010. Dengan demikian, keberadaan Amerika di dunia pun menjadi sulit untuk dipertahankan.

Perang Irak dan Afganistan telah membunuh banyak serdadu Amerika, dan 1 dari 9 serdadu mengalami gangguan mental. Paul Martin dari lembaga Peace Action mengatakan, “Saat ini ada 100,000 tentara. Sepertiga dari mereka menderita penyakit jiwa, separuhnya lagi menderita banyak penyakit.”

Militer Amerika melihat ada kenaikan jumlah serdadu yang dikeluarkan dari tugas sebesar 64% antara 2005 dan 2009. Angka ini sama dengan 1 dari 9 yang dibebastugaskan karena masalah kesehatan. Serdadu yang dipensiunkan karena mengalami masalah mental dan cacat fisik melonjak sekitar 174% dalam 5 tahun terakhir hingga 2009 menurut angka statistik resmi militer Amerika. Ini merupakan bukti jatuhnya moral pasukan Amerika dalam “Perang Melawan Islam”.

Amerika bukan merupakan adidaya yang dihormati, namun ia adalah adidaya yang mendominasi. Meski dibangun dengan teknologi yang terbaik dan rumit, Amerika secara etika, ekonomi, strategi dan politik adalah bangsa yang bisa dikatakan bangkrut. Penduduk Amerika sendiri tidak lagi yakin dengan pemerintahnya dan sistemnya sendiri. Bahkan fondasi ideologinya pun mulai dipertanyakan oleh rakyatnya sendiri. Dua puluh tahun setelah jatuhnya Tembok Berlin, survei oleh BBC menemukan ketidakpuasan mereka dengan sistem Kapitalisme Pasar Bebas (James Robbins, BBC, 9/11/2009).

Dalam survei global oleh BBC, hanya 11% responden dari 27 negara yang mengatakan bahwa Kapitalisme berjalan dengan baik. Demikian pula slogan ‘Perubahan’ yang digemakan Barack Obama di Amerika kini dengan cepat berubah menjadi mimpi buruk. Dalam Pemilu 2009, Barack Obama menyambar rekor 76% dalam tingkat kepuasan warga Amerika dalam sejarah Amerika. Namun, ini tidak bertahan lama, karena kini hanya mendapatkan 42% saja. Kantor berita Fox justru memberitakan persentase yang lebih kecil, yaitu sekitar 30% saja, dan kaum kulit hitam muda bahkan mengutuknya sebagai ‘munafik’.

David S Mason (2009) dalam bukunya, Berakhirnya Abad Amerika, mengatakan, “Amerika kini berada di akhir periode kepemimpinan global dan dominasi yang kita nikmati selama 50 tahun. Negeri ini sudah bangkrut secara ekonomi. Kita kehilangan dominasi politik, ekonomi dan sosial. Kita tidak lagi bisa dibandingkan dengan negeri lain dan tidak lagi dikagumi sebagaimana dulu. Kita pun tidak lagi dianggap sebagai model ekonomi dan politik seperti dulu. Sungguh ini merupakan pergeseran global dalam sejarah dunia, baik bagi Amerika dan seluruh dunia.

Sebagai akibat dari kelemahan Amerika, tantangan pun datang dari negara pesaingnya sesama penganut Kapitalisme yang kini mulai bertambah besar dan kuat. Namun, negara-negara tersebut tidak akan mengancam supremasi Amerika karena mereka tidak memiliki visi ideologi yang berbeda dari Amerika. Meskipun Jerman dan Jepang memiliki kekuatan ekonomi, kedua negara tersebut tidak akan menguasai dunia karena ambisi mereka sudah hancur sejak PD II. Di lain pihak, negara seperti India lebih berkonsentrasi sebagai pemain regional untuk berperan sebagai pelayan kepentingan Amerika. Rusia, meskipun sering mengucapkan retorika anti Amerika, juga lebih berposisi defensif dalam menjaga wilayahnya.

Terakhir, Cina yang selama 5000 tahun merupakan penguasa regional dengan pertumbuhan ekonomi dan kemampuan militer yang luar biasa, juga tidak mampu mengubah dunia karena ia pun tidak memiliki ambisi global. Itulah sebabnya Amerika masih mampu menjadi satu-satunya negara global karena belum ada negara ideologis lain dengan jumlah populasi besar, ekonomi dan militer yang kuat, memiliki lokasi geografis strategis yang bangkit saat ini, yang berpotensi menjadi tandingan Amerika. Karena itu, tidaklah mungkin Amerika akan pecah seperti Uni Soviet atau berhenti begitu saja sebagai kekuatan global, sebagaimana terjadi pada Inggris selama tidak ada negara tandingan yang sebenarnya.

Cina, meskipun kekuatan ekonomi dan politiknya lebih maju ketimbang Rusia, pertumbuhan ekonominya sangat bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki Timur Tengah dan Afrika, serta pasar Amerika. Namun, asimilasi wilayah Cina akan sangat mudah dieksploitasi oleh Amerika ataupun negara lain yang memiliki ambisi global. Kegagalan Cina dalam menghadapi proyek Amerika, yaitu Taiwan, menunjukkan bahwa Cina memang tidak berambisi global. Lebih jauh lagi, Hongkong juga menikmati otonomi penuh. Hal ini mendukung absennya keinginan Cina untuk berambisi global. Propinsi Tibet seperti halnya Taiwan sedang dalam proses aneksasi. Lebih jauh lagi, pembantaian Muslim secara sistematik di Xinjiang mempersulit pembahasan integritas teritorial.

Faktanya, Cina selama 5000 tahun tidak lebih sekadar penguasa regional dan hingga saat ini pun tidak memiliki ambisi untuk menjadi negara yang paling berpengaruh di dunia. Cina pun dalam perjalanannya akan mengikuti pola Jepang dalam mencapai status kekuatan ekonomi. Namun perlu diingat, bahwa ekonomi tanpa tujuan politik dan ambisi global akan menjadikan negara itu menjadi pemimpin perdagangan global, namun bukan sebagai kekuatan global yang sebenarnya (Adnan Khan, 2009).

Adapun Rusia, Steven Rosefielde dari University of North Carolina, Chapel Hill, dalam bukunya, Rusia Abad 21: Adidaya Jenius, mengatakan bahwa “Rusia ingin kembali muncul sebagai kekuatan adidaya total sebelum 2010 dengan menantang Cina dan Amerika dan berpotensi untuk memulai kembali perlombaan senjata”, dengan menunjukkan perang di Ossetia dan perdebatan tentang sistem pertahanan misil Eropa Timur milik NATO. Rosefielde pun berargumentasi kalau Russia “masih memiliki industri militer yang utuh .. dan juga sumber mineral yang mampu membangkitkan potensi militerisme yang selama ini masih terlelap.”

Kenyataan yang membatasi bangkitnya Rusia untuk kembali menjadi adidaya adalah tidak adanya sekutu, kuatnya Uni Eropa dan Cina di perbatasannya, ekonomi yang relatif kecil dan lemah, serta mengecilnya populasi penduduknya. Rusia memang bisa memanfaatkan kelemahan Amerika dan mengambil kesempatan untuk memperkuat pengaruhnya di negeri-negeri bekas Uni Soviet, tetapi sekali lagi tidak melebihi batas regionalnya.

Rusia masih jauh dari memiliki kemampuan ekonomi dan kontrol geopolitik yang diperlukan dalam menghadapi Amerika secara langsung. Lebih jauh lagi, kenyataan yang membatasi bangkitnya Rusia untuk kembali menjadi adidaya adalah tidak adanya sekutu, kuatnya Uni Eropa dan Cina di perbatasannya, ekonomi yang relatif kecil dan lemah, serta mengecilnya populasi penduduknya, dimana itu semua adalah faktor penting ekopolitik di masa sekarang.

Kekuatan lain seperti Jerman dan India tidak perlu dibahas secara rinci, karena mereka sudah tidak memiliki ambisi global dan tidak memiliki sumberdaya apapun untuk menggantikan posisi Amerika dari posisi sekarang. Faktanya, semua negara tersebut justru memperkuat dominasi Amerika di wilayah mereka masing-masing. Lebih jauh lagi, perlu dicamkan bahwa negara global yang mampu memimpin dunia hanya bisa bangkit ketika negara global tersebut mengemban ‘ideologi alternatif’ yang sama sekali berbeda dari ideologi yang saat ini berkuasa.

Semua negara yang saling bersaing saat ini tidak ada yang memiliki ideologi yang unik dan berbeda yang bisa ditawarkan ke dunia. Kompetisi yang terlihat saat ini tidak lebih dari manifestasi unjuk kekuatan regional masing-masing untuk mendapatkan ‘bagian dari sumber alam global’ guna mendukung ekonomi masing-masing sehingga mampu menjadi pemain global yang disegani ketimbang menjadi negara global sejati.

Meski demikian, sudah banyak sekali jurnal akademis, artikel ilmiah, pernyataan kebijakan pemerintah Barat, opini publik global, lembaga ilmiah dan laporan intelijen dalam 10 tahun terakhir yang berakhir pada kesimpulan, bahwa di dunia saat ini terjadi perubahan diam-diam, serius dan mendalam. Tidak lain dan tidak bukan adalah terjadinya kebangkitan intelektual dan politik di Dunia Islam. Alec Rasizade (2003), MR Woodward (2004), Thomas R. McCabe (2007), J. O’Loughlin (2009), Mustafa Aydin, Çýnar Özen (2010), Rachel Rinaldo (2010) dan Sanjida O’Connell (2010) dalam penelitiannya berkesimpulan bahwa bangkitnya Islam dan Khilafah adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri lagi.

Menurut J.O’Loughlin (2009), dalam 50 tahun terakhir terjadi siklus naik-turunnya kekuatan adidaya, yang pada puncaknya adalah timbulnya kekuatan armada laut sebagai mekanisme kendali global. Sejak kejatuhan Khilafah Uthmani dan menurunnya pamor Inggris pada awal abad 20 serta kegagalan usaha Jepang dan Jerman pada PD II untuk menjadi adidaya, kompetisi Amerika melawan Uni Soviet tampak sebagai konfrontasi sesama adidaya. Setelah kejatuhan Soviet, Amerika mencapai puncak kepemimpinan dengan mengendalikan negara besar lainnya dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun, setelah 15 tahun mendominasi, kepemimpinan Amerika pun mulai dipertanyakan, dan persaingan adidaya bisa menjadi kenyataan kembali.

Munculnya Khilafah: Ancaman Negara Imperialis

Dengan menunjukkan realita yang ada sekarang, intelijen Amerika menganggap bahwa tuntutan umat Islam untuk menginginkan Islam kembali adalah bentuk ancaman terhadap keamanan dan kepentingan Amerika. Perjuangan politik dan ideologi (bukan kekerasan) yang dilakukan oleh aktifis umat Muslim telah mencapai titik bahwa tuntutan terhadap Khilafah dan syariah adalah ancaman ideologis terserius yang Amerika pernah hadapi. Bekas Wakil Presiden Amerika Dick Cheney pada tanggal 23 Februari 2007 secara jelas menyatakan, “Mereka memiliki tujuan untuk menegakkan Khilafah yang berkuasa dari Spanyol, Afrika Utara, melewati Timur Tengah, Asia Selatan hingga mencapai Indonesia—dan tidak berhenti di sana.”

Lebih jauh lagi, bekas Menteri Dalam Negeri Inggris Charles Clarke, dalam pidatonya di hadapan lembaga pemikiran Amerika Heritage Foundation berkata, “Tidak ada lagi kompromi dalam menegakkan kembali Khilafah; tidak ada lagi kompromi untuk menerapkan hukum syariah.”

Ancaman tentang adanya Khilafah sering diulang-ulang oleh pemerintahan Bush dan merupakan alasan di balik invasi Irak dan Afghanistan. Pensiunan Jenderal Richard Dannatt, penasihat Perdana Menteri David Cameron, mengatakan dalam wawancaranya dengan BBC Radio 4 mengakui tujuan perang di Afganistan, “Di sini ada agenda kaum Islamis. Apabila tidak segera kita tumpas di Afganistan, atau Asia Selatan, maka konsep ini akan menyebar dan pengaruhnya pun akan sulit dikendalikan.”

Pada akhirnya, dengan kenyataan yang ada dan berbagai pernyataan dari Barat, maka situasinya adalah menjajaki kondisi Dunia Islam seperti populasi, umat beragama, kekuatan dan keragaman budaya, besaran dan kendali terhadap benua, ekonomi dan militer, kemauan politik, dan kekuatan ideologi guna mengevaluasi apakah penyatuan umat Islam di bawah satu Khilafah merupakan kemungkinan realistik. Dengan demikian, Khilafah State bisa bangkit sebagai negara utama, unik dan global pada abad 21. (Al-Waie, No 125, Januari 2011)

Wallahu a’lam bi ash-shawab. []


Hanya ISLAM yang memuliakan Wanita

Kebobrokan Kapitalisme

Kapitalisme telah membuat kehidupan manusia sangat menderita. Ekonomi kapitalis telah melahirkan kemiskinan yang mengerikan. Karena kemiskinan, banyak wanita terpaksa bekerja dan meninggalkan peran utamanya sebagai ibu. Akibatnya, mereka banyak yang stres dan hilang naluri keibuannya. Tak sedikit ibu yang melakukan tindak kekerasan pada anak mereka karena stres. Karena tekanan ini ada juga istri yang membunuh suaminya.

Karena kemiskinan pula, banyak istri menjadi sasaran kekerasan para suami. Akibatnya, angka gugat cerai bertambah (63% dari 131.518 kasus perceraian di tahun 2009). Disharmonisasi keluarga ini juga mengakibatkan penderitaan pada anak-anak. Kebahagiaan hidup dan harapan masa depan mereka terenggut. Akibat kemiskinan pula timbul kasus gizi buruk, utamanya pada anak-anak; wanita menjadi tenaga kerja dan tidak sedikit dari mereka menjadi korban perdagangan wanita. Mereka dilacurkan karena keadaan. Jumlah PSK tahun 2008, yang dilansir website GP Anshor, adalah sebanyak 270.000 dengan pelanggannya berjumlah 10 juta orang.

Ide kebebasan (Liberalisme) ala Kapitalisme juga telah mengubah perilaku manusia bak binatang. Budaya permisif menumbuh-suburkan pornografi-pornoaksi yang memicu adanya seks bebas. Seks bebas kemudian menyebabkan banyak kasus hamil tak diinginkan. Akibatnya, banyak remaja putri yang melakukan aborsi (2,3 juta kasus per tahun). Seks bebas juga menimbulkan penyakit HIV-AIDS yang mematikan (Data Indonesia: 300 ribu jiwa menderita HIV/AIDS pada 32 propinsi atau 300 kabupaten/kota). Budaya ini telah memunculkan komunitas manusia menyimpang. Akhir-akhir ini muncul kelompok LGBT (Lesbian-Gay-Biseks-Transgender). Mereka memberanikan diri untuk eksis dan mempengaruhi masyarakat agar menerima keberadaan mereka. Cerita-cerita prestatif mereka dikemas sedemikian rupa berharap adanya pengakuan. Kisa-kisah sosial mereka diungkap untuk mendapat simpati. Padahal mereka inilah biang kerok penyakit-penyakit seksual yang mengerikan.

Menuduh Islam

Anehnya, kaum kapitalis-liberal malah berani menuduh Hukum Islamlah yang menyebabkan penderitaan bagi wanita. Mereka menuduh Hukum Islam mengekang kebebasan wanita, yang menjadikan wanita tidak mempunyai ruang gerak yang berkonsekuensi pada kejumudan dan ketertinggalan. Mereka menuduh bahwa keluarga adalah terali besi yang dibuat Islam untuk wanita. Wanita diklaim terjebak dalam aktivitas tak bermakna serta tidak mendatangkan materi dan ‘prestise’.

Hukum Islam yang acapkali dituduh diskriminatif di antaranya: keharusan izin bagi istri kepada suaminya jika akan keluar rumah; keharaman wanita menjadi kepala negara; kewajiban wanita menutup aurat, mendidik anak, serta menaati dan melayani suami; kebolehan lelaki berpoligami; dll. Wanita dalam Islam dianggap tidak diberi kesempatan untuk berkiprah di ranah publik.

Tuduhan keji ini sengaja direkayasa untuk menyesatkan umat dari gambaran pemikiran Islam yang sahih. Sudahlah umat ini tidak mewarisi gambaran utuh syariah Islam berikut penerapannya, dalam tataran pemikiran pun hendak disesatkan. Itulah kelicikan kapitalis. Mereka hendak menutupi kebobrokannya dengan bersembunyi di balik tuduhan terhadap Islam.

Sikap Umat Islam

Umat Islam tentu tidak boleh menempatkan diri sebagai pihak tertuduh sehingga melakukan pembelaan dengan cara yang keliru. Umat harus menjelaskan bahwa justru Islam yang menyelamatkan wanita dari kubangan lumpur Kapitalisme dan hanya Islamlah yang memuliakan wanita dan mensejahterakan manusia.

Karenanya, harus ada upaya penanaman cara berpikir pada umat dengan target sebagai berikut:

1) Umat harus memahami realita persoalan yang terjadi secara benar;

2) Umat memahami hukum Islam terkait dengan realita tersebut;

3) Umat mampu menghukumi realita dengan Hukum Islam yang telah mereka pahami sehingga tergambar jelas bagaimana Islam memecahkan persoalan tadi.

Inilah cara berpikir Islam. Metode berpikir seperti ini yang harus dimiliki umat Islam seluruhnya agar tidak menjadi korban penyesatan Barat.

Hanya Islam

Allah SWT telah menetapkan dalam berbagai nash syariah bahwa wanita adalah barang berharga yang wajib dijaga. Hukum-hukum berikut ditetapkan dengan maksud menjaga kehormatan wanita.

Pertama: Syariah Islam telah menjadikan dua kehidupan bagi manusia, yaitu kehidupan khusus di dalam rumah dan kehidupan umum di luar rumah. Di dalam rumah wanita hidup sehari-hari bersama mahram dan saudara perempuan mereka. Siapa saja yang hendak memasuki kehidupan khusus orang lain wajib meminta izin kepada pemilik rumah. Ini dimaksudkan agar wanita—yang di dalamnya dibolehkan melepas jilbab—tidak terlihat auratnya oleh laki-laki yang bukan mahramnya (Lihat: QS an-Nur [24]: 27).

Dalam kehidupan umum Islam mewajibkan wanita untuk menggunakan pakaian khas luar rumah yang menutupi seluruh tubuh wanita kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Mereka wajib mengenakan kerudung (QS an-Nur [24]: 31) dan jilbab (QS al-Ahzab [33]: 59).

Mari kita membandingkan Islam dengan Kapitalisme yang tidak mengatur kehidupan manusia sebagaimana di atas. Siapa saja boleh masuk ke dalam rumah orang lain tanpa izin. Akibatnya, laki-laki asing leluasa masuk dan merusak kehormatan wanita. Sudah banyak kasus keretakan rumah tangga karena istri memasukkan lelaki asing ke dalam rumahnya. Banyak kasus perzinaan remaja yang dilakukan di dalam rumah saat orangtua mereka tidak ada. Banyak peristiwa lain sebagai akibat hukum pergaulan khusus di dalam rumah tidak diterapkan.

Di sisi lain, Kapitalisme memandang pakaian Muslimah (kerudung dan jilbab) sebagai penghambat gerak wanita. Padahal apa yang terjadi saat wanita mengumbar auratnya? Mereka menjadi korban pelecehan seksual dan obyek industri pornografi-pornoaksi yang nyata-nyata membahayakan kesucian dan kehormatan dirinya. Jadi jelas, kewajiban berkerudung dan berjilbab bagi wanita adalah agar mereka terhindar dari orang-orang yang akan mengganggu atau menyakiti mereka.

Kedua, Islam melarang wanita bepergian jauh seorang diri tanpa ditemani mahram mereka. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَحِلٌّ لإمْرَأَةٍ تؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَومِ الآخِرِ أنْ تُسافِرَ يَوْم ولِيْلَة إلاّ وَمَعَها مَحْرَمٌ لَها

Tidak halal wanita yang mengimani Allah dan Hari Akhir melakukan perjalanan sehari semalam, kecuali bersama mahramnya.

Sementara itu ide barat kapitalisme dengan dalih kebebasan memperbolehkan wanita bepergian menempuh perjalanan lebih dari sehari semalam, berpetualang, tanpa harus disertai oleh mahram. Tidak jarang untuk itu wanita meninggalkan keluarga yang dia cintai dan kewajiban utamanya. Sementara sepanjang perjalanan dan petualangan itu, bahaya bisa saja mengancam wanita itu setiap saat. Lantas siapa yang akan melindungi dan membelanya dalam kondisi seperti itu? Inikah yang disebut kebebasan bagi wanita?

Dalam Islam, andai wanita menghabiskan waktu 24 jam perjalanannya, maka ia wajib ditemani oleh mahram mereka. Inilah bentuk penjagaan Islam terhadap kehormatan dan keselamatan wanita dalam perjalanan. Bagaimana dengan Kapitalisme? Tidak peduli sama sekali dengan keselamatan wanita.

Ketiga: Islam melarang wanita berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram-nya. Rasulullah saw. bersabda:

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بإمْرَأةٍ إلاّ وَمَعَها ذُوْ مَحْرَم لها، فَإِنّ ثالِثَهُما الشَّيْطانُ

Janganlah seorang pria berkhalwat (berduaan dengan wanita), kecuali wanita itu disertai mahram-nya, karena sesungguhnya yang ketiga adalah setan (HR Muslim).

Kebebasan berperilaku yang dibanggakan Kapitalisme memberikan keleluasaan bagi wanita dan pria bergaul bebas. Banyaknya kasus hamil di luar nikah dan kehamilan tak diinginkan membuat hidup wanita tak bahagia. Wanita yang kegadisannya sudah direnggut tidak akan pernah hidup tenang. Belum lagi bila mereka memilih untuk menggugurkan kehamilannya akan menghadapi risiko kematian. Kebebasan ini membawa keresahan dalam kehidupan masyarakat. Karena itulah, Islam melarang aktivitas apapun yang mengarah pada zina. Salah satunya adalah larangan ber-khalwat ini, dan bila dilanggar maka pintu zina terbuka lebar. Jadi, sesungguhnya larangan khalwat ini menjamin kehormatan wanita.

Keempat: Islam melarang wanita menampakkan kecantikan mereka (tabarruj) di depan laki-laki asing (QS al-Ahzab [33]: 33). Saat ini tidak sedikit wanita berprofesi sebagai model berjalan berlenggak-lenggok demi me-launching style pakaian terbaru. Pengorbanan yang mereka berikan untuk menjadi model amat besar. Mereka harus menjaga ketat makanan supaya berat badan tidak naik. Mereka rela mengeluarkan uang untuk merawat kebugaran dan kecantikan. Jadi sebenarnya siapa yang mengekang wanita? Padahal keuntungan besar tidak didapat oleh mereka, karena sesungguhnya model wanita hanyalah menjadi alat Barat kapitalis untuk memupuk keuntungan dan self interest mereka.

Kelima: Islam melarang wanita berinteraksi bebas dan bercampur-baur dengan laki-laki bukan mahram, seperti tamasya bersama, makan dan ngobrol bersama, dan sejenisnya. Dampak dari dilalaikannya hukum ini adalah maraknya pergaulan bebas.

Jelas sudah, tuduhan yang dilontarkan kepada Islam adalah salah alamat. Sejatinya orang-orang yang berpikiran Kapitalisme sekular itu telah menunjuk hidung mereka sendiri. Jika kemudian mereka memastikan bahwa hukum-hukum di atas menyebabkan penderitaan bagi wanita, itu salah besar. Jika wanita menaati perintah dan larangan tadi maka ia tidak akan punya kesempatan hidup layak, tidak bisa memiliki uang, tidak bisa meraih prestasi, tidak akan mendapatkan kemuliaan di tengah masyarakat, maka anggapan ini salah besar juga. Mengapa? Karena Allah SWT telah memberi kedudukan mulia bagi wanita dengan menetapkan mereka menjadi seorang ibu dan pengatur rumah tangga. Itulah posisi terbaik bagi wanita, karena Allah Pencipta segenap makhluk sangat mengetahui apa yang terbaik bagi mereka. Karena kewajiban utamanya menjadi ibu dan pengatur rumah tangga, maka Islam memberi hak bagi wanita untuk mendapatkan nafkah dari suaminya. Mereka tinggal di dalam rumah, tetapi mendapat pemenuhan kebutuhan hidupnya secara makruf (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 223).

Wanita tidak harus bekerja keluar rumah dan mendapat perlakuan keji. Mereka tidak perlu berpayah-payah mendapatkan uang karena telah dipenuhi oleh suaminya. Islam akan menindak suami yang tidak memenuhi kebutuhan keluarganya dengan baik melalui penguasa kaum Muslim, yaitu khalifah.

Meski wanita tidak bekerja dan mempunyai uang, kedudukan mereka tidak menjadi rendah di depan suaminya dan berpeluang besar dianiaya. Sebab, istri berhak mendapatkan perlakuan baik dari suaminya dan kehidupan yang tenang. Islam menetapkan bahwa pergaulan suami-istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain berhak mendapatkan ketenteraman dan ketenangan. Kewajiban nafkah ada di pundak suami, yang bila dipenuhi akan menumbuhkan ketaatan pada diri istri. Pelaksanaan hak dan kewajiban suami-istri inilah yang menciptakan mawaddah wa rahmah dalam keluarga. Jadi, tidak benar bila istri tidak bekerja akan mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.

Demi menjamin kedudukan mulia wanita ini, Islam menjauhkan wanita dari lingkup tanggung jawab berat yang ada pada urusan pemerintahan. Hal ini tentunya untuk menjaga kedudukan utamanya sebagai ibu generasi. Bisa dibayangkan bila perempuan menjadi penguasa, pengatur urusan rakyat yang demikian banyak dan kompleksnya, maka urusan rumah dan anak-anak mereka akan terabaikan. Begitu pula untuk menjamin kelangsungan fungsi ibu, Islam membebaskan kewajiban shaum Ramadhan bagi mereka saat hamil dan menyusui, juga membebaskan kewajiban shalat saat mereka haid.

Islam mewajibkan kepada pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap wanita untuk memenuhi hak mereka dengan baik, termasuk negara. Negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki agar dapat memberi nafkah pada keluarga mereka. Negara juga wajib menyediakan fasilitas yang diperlukan, khususnya oleh wanita, seperti fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik agar para wanita bisa menjalankan perannya yang mulia dengan baik pula. Negara wajib menjamin keamanan dalam kehidupan publik agar saat wanita keluar rumah untuk menunaikan kewajiban yang dibebankan padanya mereka mendapat ketenangan.

Perlindungan dan pemenuhan kebutuhan wanita oleh negara telah banyak dibuktikan dalam sejarah pemerintahan Islam. Misal, saat seorang Muslimah berbelanja di pasar Bani Qainuqa, seorang Yahudi mengikat ujung pakaiannya tanpa dia ketahui sehingga ketika berdiri aurat wanita tersebut tersingkap diiringi derai tawa orang-orang Yahudi di sekitarnya. Wanita tersebut berteriak. Kemudian salah seorang Sahabat datang menolong dan langsung membunuh pelakunya. Namun kemudian, orang-orang Yahudi mengeroyok dan membunuh Sahabat tersebut. Ketika berita ini sampai kepada Nabi Muhammad saw., beliau langsung mengumpulkan tentaranya. Pasukan Rasulullah saw. mengepung mereka dengan rapat selama 15 hari hingga akhirnya Bani Qainuqa menyerah karena ketakutan.

Kemudian kisah pada masa Khalifah al-Mu’tashim Billah berkaitan dengan pembelaan Khilafah terhadap kehormatan wanita. Ketika seorang wanita menjerit di Negeri Amuria karena dianiaya dan dia memanggil nama Al-Mu’tashim, jeritannya didengar dan diperhatikan. Dengan serta-merta Khalifah al-Mu’tashim mengirim surat untuk Raja Amuria “…Dari Al Mu’tashim Billah kepada Raja Amuria. Lepaskan wanita itu atau kamu akan berhadapan dengan pasukan yang kepalanya sudah di tempatmu sedang ekornya masih di negeriku. Mereka mencintai mati syahid seperti kalian menyukai khamar…!

Singgasana Raja Amuria bergetar ketika membaca surat itu. Lalu wanita itu pun segera dibebaskan. Kemudian Amuria ditaklukan oleh tentara kaum Muslim.

Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ia biasa melakukan ronda keliling rumah penduduk setiap malamnya. Satu malam dia mendengar suara tangisan anak-anak dari satu rumah yang ternyata menangis karena kelaparan. Ibu anak-anak itu tengah memasak batu yang tentunya tidak akan pernah kunjung matang. Melihat itu, Khalifah Umar bersegara mengambil sekarung gandum yang beliau bawa sendiri dan diberikan kepada ibu tersebut.

Pada satu malam lainnya, ia mendengar keluhan seorang perempuan—melalui senandung syair—yang rindu akan suaminya yang tengah menjalankan tugas di medan pertempuran. Lalu Khalifah Umar ra. bergegas mendatangi putrinya, Hafshah, untuk bertanya berapa lama seorang wanita tahan menunggu suaminya. Dari jawaban Hafshah, Khalifah Umar mengirimkan perintah kepada para panglima perang yang berada di medan pertempuran, agar tidak membiarkan seorang pun dari tentaranya meninggalkan keluarganya lebih dari empat bulan.

Banyak kisah lainnya yang menunjukkan bahwa negara mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan wanita. Sayangnya, saat ini Negara Islam (Khilafah) yang menerapkan hukum-hukum tersebut tidak ada.

Apa yang Harus Diperjuangkan Wanita?

Melihat permasalahan yang dihadapi wanita akibat dari penerapan sistem kapitalis-sekular, tidak ada cara dan solusi yang lebih tepat untuk menyelamatkan kehormatan dan kemuliaan kaum wanita selain dengan penerapan syariah Islam. Perjuangan saat ini fokus pada penegakan Khilafah yang akan menerapkan syariah secara kaffah. Dengan syariah, kehormatan dan kemuliaan wanita dapat terjaga; seluruh kebutuhan hidup wanita juga dapat terpenuhi.

Tegaknya Khilafah, di samping sebagai kebutuhan, juga merupakan kewajiban bagi seluruh Muslim. Oleh karena itu, kepada kaum wanita sebagai bagian dari umat Islam, mari kita mengembalikan Islam pada kehidupan nyata sebagaimana yang sudah terjadi sebelumnya. Yakinlah bahwa hanya Islam dan Khilafah yang akan memuliakan wanita.

Wallahu a’lam bi ash-shawab. [Ratu Erma R-MHTI]


Kebijakan Khilafah di bidang Energi

Negeri kaum Muslim telah menjadi ajang pertarungan kolonial selama lebih dari satu abad. Itu tak lain, karena dunia Islam tidak pernah kekurangan sumberdaya energi yang sangat dibutuhkan bagi industrialisasi. Sayangnya, negeri-negeri Muslim itu memperlihatkan potret yang penuh paradoks, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Indonesia. Negeri yang kaya akan energi ini, ternyata tidak bisa menjamin kelangsungan kebutuhannya akan energi. Pabrik pupuk di Aceh terpaksa gulung tikar karena kekurangan pasokan gas. Listrik byar pet karena PLN tidak mampu memenuhi kebutuhan energi untuk pembangkitnya. Yang terbaru, rakyat harus membayar mahal BBM, yaitu Rp 6.500 per liter.

Kondisi ini tentu tidak hanya berdampak pada pemilik kendaraan tetapi juga kepada rakyat jelata. Ongkos-ongkos akan naik karena kenaikan komponen biaya transportasi. Padahal, energi ini adalah milik mereka, tetapi ironisnya mereka tidak bisa menikmatinya. Dengan alasan pencabutan subsidi BBM, rakyat sebagai pemilik sah, dipaksa memberikan hak miliknya, sementara untuk itu, mereka tidak mendapatkan kompensasi apapun. Tragisnya lagi, mereka masih harus membayar pajak untuk membiayai apa yang disebut sebagai pembangunan, yang tidak pernah mereka rasakan.

Inilah potret yang penuh paradoks. Potret ini sesungguhnya terjadi karena kebijakan yang dipilih terkait dengan pengelolaan energi itu salah. Kesalahan ini terjadi karena penguasa kaum Muslim tidak pernah memikirkan rakyat, kecuali diri, kroni, partai dan kekuasaan mereka sendiri.

Mari kita buktikan, negeri-negeri kaum Muslim mempunyai kekuatan energi yang luar biasa:

  1. Sebanyak 74 persen cadangan minyak dunia, yakni lebih dari setengah cadangan seluruh dunia, jika dikombinasikan, berada dalam tanah kaum Muslim.  Dunia Muslim memompa 42 persen dari kebutuhan harian minyak dunia.
  2. Sebanyak 54 persen dari cadangan gas dunia ada di negeri Muslim, dan memompa 30 persen kebutuhan harian gas dunia.
  3. Arab Saudi memiliki ladang minyak Ghawar, yang merupakan ladang minyak terbesar di dunia.
  4. Iran dan Qatar memiliki ladang South Pars North Dome. Yang terletak di Teluk Persia adalah ladang gas terbesar di dunia.
  5. Iran juga memiliki cadangan gas alam terbesar di dunia setelah Rusia.
  6. Kuwait, negara-kota yang kecil, memiliki 10 persen cadangan minyak dunia.
  7. Pembangkit Shoaiba dan tempat desalinasi adalah kompleks pembangkit Combine Cycle Gas Turbine (CCGT), Desalinasi di Arab Saudi, pembangkit listrik terbesar di dunia berbahan bakar fosil, serta pembangkit air dan listrik terintegrasi ketiga terbesar di dunia.
  8. Kazakhstan adalah produsen uranium terbesar di dunia setelah Australia. Kazakhstan saja memiliki 20 persen uranium dunia.
  9. Pakistan memiliki cadangan batubara terbesar setelah Amerika Serikat. Ladang batubara Thar di Sindh adalah ladang batubara terbesar di dunia.
  10. Pembangkit Brunei Liquefied Natural Gas (BLNG), dibangun pada tahun 1972, adalah ladang gas alam cair terbesar di dunia.
  11. Qatar, Indonesia dan Malaysia adalah negara eksportir gas alam cair (LNG) terbesar dunia.

Ironisnya, walaupun memiliki banyak kelebihan seperti itu, negeri-negeri kaum Muslim memiliki infrastruktur energi yang buruk, di mana banyak rakyatnya hidup tanpa listrik, seperti di pulau-pulau di luar Jawa. Di Arab Saudi dan negara-negara Teluk, dengan infrastruktur energi yang telah maju saja, banyak dari penduduknya yang hidup dalam kemiskinan. Bahkan, di Saudi 50 persen rakyatnya tidak mempunyai rumah. Di Indonesia, lebih dari 30 juta penduduknya hidup di bawah garis kemiskinan.

Meskipun produksi minyak dan konsumsinya akan terus meningkat, selama 30 tahun terakhir, sangat sedikit kilang yang dibangun di seluruh dunia. Wilayah yang memiliki cadangan minyak terbesar (61 persen) dan memompa 31 persen minyak dunia, yakni Timur Tengah, hanya bisa menyuling 8 persen dari jumlah itu; 76 persen minyak dunia disuling di daerah dengan sedikit sumber minyak, tetapi dengan permintaan minyak yang meningkat. Amerika menyuling 20 persen minyak dunia, sementara Eropa menyuling 22 persen minyak dunia dan Timur Jauh 27 persen dari minyak dunia.

Karena itu, meski dunia Islam mempunyai cadangan minyak yang besar, pada dasarnya hal itu tidak ada gunanya karena tidak mampu memproduksi dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan. Karena alasan ini sebagian besar minyak disalurkan untuk Timur Jauh dan Eropa untuk bisa disuling, lalu produknya dijual kembali ke negeri-negeri Muslim. Kondisi ini terjadi karena tidak adanya political will dari para penguasannya untuk mengurusi urusan rakyatnya, serta intervensi asing dalam kebijakan pengelolaan energi.

Negara Khilafah

Minyak dan gas adalah dua komoditas yang paling penting di dunia. Laju industrialisasi bergantung pada tingkat ketersediaan energi. Bahkan pertanian modern bergantung pada gas alam sebagai bahan baku pembuat pupuk. Sumber-sumber itu sangat penting untuk kehidupan masyarakat, yang berarti bahwa keuntungannya harus dinikmati bersama oleh masyarakat dan tidak dapat diprivatisasi.

Kebijakan energi Negara Khilafah harus diadopsi dengan memperhatikan realitas sebagai berikut:

  • Karena energi adalah penting untuk industrialisasi, maka kebijakan energi Negara Khilafah harus dilihat dan dianalisis lebih dalam.
  • Karena energi dibutuhkan untuk berbagai tugas, maka Negara Khilafah perlu membangun infrastruktur energi modern.
  • Minyak dan gas bumi harus dialokasikan untuk pemakaian yang penting seperti bahan mentah untuk industri manufaktur, pertanian dan petrokimia, karena sampai saat ini tidak ada alternatif untuk bahan-bahan itu.
  • Minyak dan gas bumi juga harus digunakan untuk transportasi dan penghasil energi karena teknologi saat ini, utamanya dijalankan dengan sumber energi itu. Meski alternatif lain harus tetap dicari. Ini akan membantu pemanfaatan yang berkelanjutan atas sumberdaya Negara Khilafah, yang memungkinkan fleksibilitas dalam penjualan minyak menghasilkan pendapatan, dan sebagai bantuan untuk membantu membawa negara-negara lain lebih dekat ke dalam pangkuan Islam.

Selain itu, hal yang paling mendasar adalah bahwa energi ini merupakan hak umum (public ownership), sehingga tidak boleh diprivatisasi. Sebaliknya, Negara Khilafah harus bisa menjamin kebutuhan rakyat akan energi ini dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan negara. Karena itu, pengelolaan energi harus diintegrasikan dengan kebijakan negara di bidang industri dan bahan baku sehingga masing-masing tidak berjalan sendiri-sendiri.

Untuk memenuhi konsumsi kebutuhan domestik rakyatnya, Negara Khilafah bisa menempuh dua kebijakan: Pertama, mendistribusikan minyak, gas dan energi lainnya kepada rakyat dengan harga murah. Kedua, mengambil keuntungan dari pengelolaan energi untuk menjamin kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, keamanan termasuk terpenuhinya sandang, papan dan pangan.

Dengan begitu, Negara Khilafah benar-benar akan bisa mengelola energinya secara mandiri dan tidak diintervensi oleh negara manapun. Jika itu terjadi, maka hasil dari pengelolaan energi itu bukan hanya akan membawa kemakmuran bagi rakyatnya tetapi juga menjadi kekuatan bagi negara. Negara bukan saja mengalami swasembada energi tetapi juga bisa menjadikan energinya sebagai kekuatan diplomasi, sebagaimana yang dilakukan oleh Rusia terhadap Uni Eropa dan AS.

Untuk itu, Negara Khilafah sejak pertama kali berdiri segera melakukan pengembangan infrastruktur energi yang diperlukan untuk menjamin kebutuhannya dan memastikan agar energi tersebut tidak keluar dari negara dan jatuh ke tangan negara-negara penjajah.
Selain itu, pengembangan infrastruktur ini kenyataannya akan menciptakan berjuta-juta lapangan pekerjaan yang akan mengangkat berjuta-juta orang keluar dari kemiskinan di dunia Muslim. Pada gilirannya pengembangan energi akan memberikan efek luar biasa dengan merangsang ekonomi yang lebih luas melalui pengembangan industri berat, kompleks-kompleks manufaktur, industri-industri militer, industri-industri penyulingan dan pabrik-pabrik.

(Hafidz Abdurrahman-HTI)


Pesan Untuk Para Calon Istri

Asma’ binti Kharijah Al Fazary berpesan kepada puterinya ketika menikah (sebelum melepaskan kepergiannya menuju suaminya) :

“Wahai puteriku sayang, tak lama lagi kau akan keluar meninggalkan ayunan tempat kau ditimang dulu, dan berpindah ke atas ranjang yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Kau akan hidup bersama seorang kawan yang belum pernah kau kenal sebelumnya. Oleh karena itu, jadilah bumi tempat ia berpijak, maka ia akan menjadi langit yang menaungimu. Jadikanlah dirimu tempat sandaran baginya, maka ia akan menjadi tiang yang meneguhkanmu. Jadilah pelayan baginya, ia akan menjadi abdi bagimu. Jangan kau merepotkannya sehingga ia merasa kesal. Dan jangan terlalu jauh darinya sehingga ia lupa akan dirimu. Jika ia mendekatimu, maka dekatilah. Jika ia berpaling, maka menjauhlah. Peliharalah pandangannya, pendengarannya dan penciumannya. Jangan sampai ia memandang sesuatu yang buruk darimu. Dan jangan sampai ia mendengar kata-kata kasar darimu. Dan jangan sampai ia mencium bau yang tak sedap darimu. Jadikanlah setiap apa yang ia lihat adalah wajahmu yang cantik berseri-seri. Jadikanlah setiap apa yang ia dengar adalah ucapanmu yang santun dan lembut. Jadikanlah setiap apa yang ia cium adalah aroma wangi tubuh dan pakaianmu.”

“Ayahmu dulu berpesan kepada ibumu: Maafkanlah segala kesalahan dan kehilafanku, niscaya cinta kita akan terus bersemi. Ketika aku marah, janganlah kau memancing lagi amarahku. Karena benci dan cinta takkan pernah bersatu. Saat benci datang, cinta pun kan berlalu.”

Demikian isi pesan tersebut. Semoga bermanfaat dan dapat dijadikan bahan renungan untuk para calon istri yang akan memasuki sebuah kehidupan baru, yang semoga mendapat keberkahan dalam ridloNya. Amin

Wallahu a’lamu bis showab.


Calon Istri

 

Seorang teman pernah mengatakan, kriteria calon isterinya: shalihah, cerdas, kaya dan cantik. Sebuah hadist juga mengemukakan, seorang perempuan dipinang karena kecantikannya, hartanya dan keturunannya. Tapi pinanglah perempuan karena keshalihannya. Itu yang utama. Saya sepakat dengan hadist tersebut. Perempuan yang shalihah, insya Allah cerdas. Ketika seorang perempuan cerdas, harta bisa dicari. Bila harta sudah di tangan, kecantikan bisa dibeli. Pilih satu, dapat tiga.

Namun, bila kita tinjau ulang, pemikiran akan kriteria calon isteri tersebut cenderung egois. Tidak memandang dari banyak sisi. Hanya memandang pernikahan dari segi manfaat untuk diri sendiri. Tidak untuk keluarga, sahabat dan lingkungan sekitar. Padahal menikah adalah penyatuan dua organisasi besar; keluarga, membentuk organisasi baru. Banyak pihak yang bisa terpengaruh dan mempengaruhi pra dan pasca pernikahan.

Jika kita berkaca, mengevaluasi. Melihat, mencari kelebihan dan kekurangan diri. Niscaya kita akan menemukan berbagai fakta; kita juga punya banyak kekurangan. Lalu, pantaskan bersibuk ria dengan segala macam kriteria? Sedang diri sendiri mungkin tak bisa memenuhi segala kriteria impian oleh calon pasangan. Seseorang berharap mendapat perempuan shalihah, namun apakah dia cukup shalih untuk berdampingan dengan perempuan shalihah. Ia ingin perempuan cerdas, tapi apakah ia cukup cerdas untuk mengimbangi kecerdasannya? Ia ingin perempuan berharta, tapi seberapa banyak harta yang dapat dia berikan, untuk ‘membeli’ sang calon dari ayah-bundanya. Dan ketika ia ingin perempuan cantik, apakah ia sendiri cukup gagah, tidak jomplang, saat bersisian dengannya? Tidakkah keinginan si lelaki terlalu berlebih?

Dari kisah cinta para Nabi, sahabat dan para syuhada, ada sejumlah fakta: tangan Allah selalu bermain. Kisah cinta Muhammad-Khadijah, Yusuf-Zulaikha hanyalah sebagian kecil contoh. Keikhlasan menggenapkan separuh agama pasti akan mendapat anugerah luar biasa; seorang isteri penghuni taman surga. Segala hambatan pernikahan hanyut karena ibadah yang khusu, penghambaan yang sangat padaNya. Manusia hanya berusaha, hasilnya terserah pada Yang Kuasa.

Hendaknya seorang lelaki berusaha melihat dari banyak sisi, ketika datang seorang calon isteri padanya. Segala identitas standar bukan pertimbangan utama. Serahkan saja padaNya. Meminta petunjuk lewat shalat istikharah. Apakah perempuan itu orang yang tepat? Apakah si calon pasangan dunia akhirat? Hanya Allah yang tahu, kan?

Lelaki manapun bisa saja berharap: Semoga calon isteri yang datang padaku adalah perempuan shalihah. Bila belum shalihah, haruslah dia mengajak, meningkatkan pemahaman agama, terus memperbaiki diri. Menghiasi rumah tangga dengan amalan wajib dan sunnah. Menggapai sakinah. Semoga perempuan yang datang padaku cerdas. Jika belum cerdas, mestilah dia yang mengajar dan belajar dari pasangannya. Mencari ilmu baru, terutama ilmu rumah tangga. Tentang harta, boleh saja meminta: datangkanlah padaku calon isteri yang berharta. Tetapi ingatlah, harta adalah cobaan, tak banyak orang yang bisa tetap rendah hati, menunduk-nunduk ketika punya harta. Lagipula harta gampang dicari. Soal kecantikan, wajar lelaki normal ingin mendapatkan isteri cantik. Tetapi bukan hanya cantik lahir, batinnya juga harus cantik. Yang menjadi pertanyaan, standar apakah yang akan digunakan untuk menilai seorang perempuan cantik. Standar dunia atau standar surga? Standar dunia menekankan kecantikan maya. Mengandalkan costmetik. Kecantikan abadi, keindahan hingga akhir hayat dan di akhirat kelak, itulah yang seharusnya dicari. Terserah cantik atau tidak kata dunia, yang penting isteri bisa selalu menarik di mata, di hati. Menjadi telaga sejuk, pohon teduh di terik siang. Standar cantik ini sifatnya personal. Orang lain memandang biasa, tapi luar biasa menurut sang suami.

Perempuan manapun yang datang pada seorang lelaki, sudah sepatutnya ia melepas kacamata kekinian. Menggunakan kacamata masa depan dan kacamata banyak orang untuk menilai. Mungkin banyak keindahan calon pasangan yang sengaja disimpan olehNya. Allah ingin mengujinya, apakah dia cukup shaleh, cukup ikhlas, cukup bersabar untuk mendapatkan pasangan sejati.

Pasti ada keraguan saat menimbang. Maka dari itulah perlunya mengetuk nurani sahabat, saudara, kakak, orang tua, mereka yang lebih berpengalaman. Calon suami dapat bertanya, apakah perempuan begini akan begini-begini? Ia bisa minta tepukan tangan di pundak, pelukan, dan untaian mutiara. Agar sang lelaki yakin, mantap. Semoga setelah itu, dia betul-betul siap, menggenapkan separuh agama, mengapai sakinah. Memberatkan bumi dengan generasi yang menjunjung tinggi kalimat La Ilaha IlaLLah. Amin

Oleh : Koko Nata Kusuma


Harmonis dengan Canda

“Mas, itu ada tukang bakso lewat!” ujar seorang istri pada suaminya. “Stttt… biarkan Dik, dia kan sedang usaha. Jangan diganggu!”

Mendengar ucapan suaminya tentu saja sang istri merasa gemas lalu mengejar sang suami yang ingin dicubitnya. Si suami tentu saja senang berhasil mencandai istrinya. Meski agak dongkol sang istri pun tertawa-tawa cukup lama.

Apakah anda senang bercanda dengan pasangan Anda, atau apakah pasangan anda senang menajak bercanda? Kalau jawabannya jarang atau bahkan tidak, berhati-hatilah. Beberapa tes untuk mengukur sejauh mana keharmonisan suatu hubungan pernikahan senantiasa menjadikan “ada tidaknya canda” sebagai salah satu parameter. Kurangnya canda dan gurauan di antara suami istri bisa menunjukkan kurang harmonisnya kehidupan rumah tangga.

Setiap orang tentu menginginkan hubungan pernikahannya harmonis hingga akhir hayat. Namun tak setiap pasangan dapat mempertahankan keharmonisan rumah tangganya, bahkan banyak yang berakhir dengan perceraian. Alasan perceraian “sudah tidak ada kecocokan” sebenarnya berarti sudah hilangnya keharmonisan dalam rumah tangganya.

Banyak faktor yang mempengaruhi hilangnya keharmonisan diantara keduanya. Diantara faktor yang paling penting yaitu komunikasi. Jika komunikasi mengalami hambatan bisa mempengaruhi hubungan suami istri.

Suami istri perlu membiasakan suasana komunikasi yang akrab dalam keseharian bahkan dalam menentukan berbagai keputusan penting dalam rumah tangga. Suami dan istri harus saling menghargai pendapat masing-masing. Tak sepantasnya suami mendoktrin istri, atau bahkan meremehkan pendapatnya. Demikian juga sang istri sebaiknya tidak mendominasi pembicaraan. Suasana dialogis perlu dikembangkan untuk menjaga keharmonisan rumah tangga.

Rasulullah adalah teladan baik sebagai seorang suami dalam menjalin komunikasi dengan keluarganya. Beliau tak segan mendengarkan pembicaraan istri tanpa memotong, menyela bahkan menghentikannya. Sebagai contoh, suatu malam Aisyah menuturkan kisah yang amat panjang tentang sebelas orang wanita di zaman jahiliyah yang menceritakan suami-suami mereka.

Diceritakannya satu persatu cerita dari para wanita itu dari mulai satu hingga ke sebelas. Selama Aisyah bercerita Rasululah menyimaknya dengan baik. Aisyah merasa bebas bercerita kepada Rasul Allah SAW tanpa khawatir dipotong dan diacuhkan oleh beliau. Bahkan Rasulullah terlihat betah mendengar cerita Aisyah yang panjang lebar itu. Setelah selesai barulah beliau memberi komentar secukupnya. Dari kisah itu kita bisa melihat suasana komunikasi dalam keluarga yang baik dan lancar.

Rasulullah adalah juga sosok suami yang sangat memperhatikan kebutuhan batiniah istrinya. Rasulullah senantiasa mengupayakan suasana yang menyenangkan dan selalu ingin menghibur perasaan istrinya. Aisyah yang terpaut usia sangat jauh tidak dipaksa melulu untuk mengikuti pola dan irama hidup Rasulullah sebagai pemimpin umat. Ada saat-saat di mana Rasulullah mengkondisikan suatu suasana dan situasi demi menyenangkan perasaan Aisyah. Nabi mengundang beberapa anak gadis Anshar untuk bermain-main dengan Aisyah. Dibiarkannya Aisyah bemain memuaskan hatinya. Hubungan harmonis Rasulullah dengan Aisyah pun terlihat dari sikap masing-masing terhadap pasangannya.

Aisyah pernah menyaksikan orang-orang Habsyah yang sedang bermain pedang di mesjid sebagai bentuk latihan menghadapi peperangan. Sambil menonton Aisyah bersandar di pundak beliau. Selama itu beliau tidak beranjak sampai Aisyah sendiri yang menginginkan pergi. Demikian juga Rasulullah kerap menyandarkan kepala di pangkuan Aisyah sambil membaca Al Quran.

Rasulullah bahkan pernah berlomba lari dengan Aisyah. “Rasulullah berlomba denganku hingga aku dapat mendahuluinya, sampai ketika aku menjadi gemuk, beliau berlomba dengan aku dan beliau mendahului aku. Lalu beliau tertawa dan berkata, “Kali ini untuk menebus yang dulu” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Untuk menciptakan suasana harmonis Rasulullah gemar bercanda dengan istrinya. Meskipun beliau banyak mengalami kesedihan, beliau suka bergurau. Beliau menyertai istrinya dalam tertawa. Pada suatu kali, saat membuat roti, dua orang istri Nabi yaitu Aisyah dan Saudah bercanda saling melumurkan adonan tepung ke wajah, dan Rasul turut serta bergembira bersamanya (HR. Bukhari).

Rasulullah pun menganjurkan bergurau pada sahabatnya. Rasulullah pernah berkata kepada Hanzhalah ketika itu. Hanzhalah merasa sedih melihat perubahan sikapnya (keadaannya) sendiri yang berbeda ketika berada di rumah dan ketika bersama Rasulullah saw, sehingga ia menganggap dirinya munafik.

Maka Rasulullah bersabda, “Wahai Hanzhalah kalau kamu terus menerus dalam keadaan seperti ketika kamu bersamaku, niscaya kamu akan disalami oleh malaikat di jalan-jalanmu. Akan tetapi, wahai Hanzhalah, berguraulah sekedarnya.”

Canda dan gurauan memang diperlukan dalam menjalin komunikasi yang akrab khususnya antara suami dan istri. Suasana tegang dan hubungan yang kaku dan hambar dapat dicairkan dengan gurau dan canda.

Menurut beberapa penelitian humor atau canda dapat menghindari stress dan timbulnya serangan jantung. Senyum dan tawa akan mengedurkan tegangnya urat syaraf. Persoalan rumah tangga yang kadang pelik dan rumit harus dihadapi dengan rileks. Pernikahan bukan sekadar kontrak sosial dimana suami istri terikat dengan peraturan dan hubungan kaku. Sebaiknya dibangun suatu relasi dan situasi yang yang nyaman dan menyenangkan di mana setiap pasangan dapat menikmati hari-harinya.

Dalam saling menasihati antara suami istri, canda dan humor juga sangat dibutuhkan. Menurut Abdullah Nashih Ulwan nasihat yang disertai humor dapat menggerakkan rasio, menghilangkan jemu dan menimbulkan daya tarik. Nasihat yang menggurui dan kritik yang tajam akan sangat berlainan dampaknya dibanding dengan nasihat dan kritik yang disampaikan dengan canda. Canda akan mengurangi resiko munculnya perasaan tersinggung. Canda memang dapat menciptakan suasana komunikasi yang kondusif dalam rumah tangga sehingga ikatan pernikahan senantiasa harmonis. Namun perlu diingat bahwa canda harus betul-betul diniatkan untuk menyenangkan perasaan pasangan, bukan untuk menyinggung perasaannya. Insisiatif meyenangkan hati pasangan ini jangan hanya muncul dari salah satu fihak, melainkan harus dari keduanya.

Istri maupun suami pun harus menghargai upaya pasangannya dalam menyenangkan hatinya sehingga ia akan merasa terpacu dan terpanggil untuk selalu menyenangkan hati pasangannya.

“Sesungguhnya hati itu bisa bosan sebagaimana badan pun bisa bosan (letih), karena itu carikanlah untuknya hiburan yang mengandung hikmah.” (Ali karamallahhu wajhah).

sumber : Ida S Widayanti / Hidayatullah


Penelitian, Kebenaran dan Kreativitas dalam Paradigma Islam

Dr.-Ing. Fahmi Amhar
Peneliti Terbaik Pemilihan Peneliti Muda Indonesia 2001 Bidang Teknologi Rekayasa
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina dan Institut Pertanian Bogor
famhar@telkom.net

 

Abstrak

Tulisan ini terdiri dari empat bagian, bagian pertama membawa kepada filosofi penelitian, Manfaat serta Peranannya dalam Permasalahan Dunia Kerja; bagian kedua tentang filosofi kebenaran; kemudian bagian ketiga tentang kreativitas sebagai tindak lanjut konkrit setelah pengenalan kebenaran bagi perkembangan peradaban manusia.  Tulisan ini diakhiri dengan bagian keempat berupa paradigma Islam dalam penelitian dan pengembangan sains dan teknologi.

 

 

1. Penelitian

Setiap tahun, ratusan ribu calon sarjana di Indonesia membuat penelitian, setidaknya sekali seumur hidup mereka, entah itu yang dinamai skripsi, tugas akhir, proyek akhir dan sebagainya.  Teorinya, suatu bangsa yang memiliki banyak sumberdaya manusia melek penelitian, akan jadi bangsa yang tangguh.  Mereka adalah bangsa yang mencintai kebenaran dan juga mampu menghasilkan karya-karya ilmiah dan teknologi.  Di abad 21 ini jelas, keunggulan suatu bangsa makin ditentukan oleh penguasaannya atas iptek, tidak lagi pada kekayaan alamnya, atau besar jumlah penduduknya.

Tanpa stimulasi ini, sulit dibayangkan bahwa para pemuda di Indonesia, terutama yang mengenyam pendidikan tinggi, akan tertarik untuk mengalami suatu proses penelitian.  Dunia kita saat ini digeber justru untuk lebih tertarik pada sesuatu yang tidak rasional, baik itu mistik ataupun kehidupan glamour ala artis.  Hampir tidak ada bupati atau konglomerat yang berlomba memberi hadiah bagi pemenang Lomba Karya Ilmiah Remaja atau Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia.  Namun hampir semua jor-joran mengguyur juara AFI yang notabene pasti sudah ditawari menjadi bintang iklan dengan nilai ratusan juta Rupiah.

Pertanyaannya adalah, perlukah semua mahasiswa itu nanti jadi peneliti?  Jadi peneliti atau ilmuwan di Indonesia ini belum menjadi idola banyak orang.  Lain dengan menjadi dokter spesialis, jadi selebriti atau – sekarang ini – jadi anggota legislatif!  Dan faktanya, jadi peneliti di Indonesia ini masih harus “Omar Bakri”.  Tunjangan peneliti yang tertinggi (untuk Ahli Peneliti Utama) baru Rp. 1.118.000,-  Bersama gaji pokok tertinggi (Rp. 1.500.000), seorang peneliti senior (yang sampai botak!) dengan pengalaman akademis minimal 20 tahun, hanya akan membawa pulang kurang dari Rp. 3 juta.  Jumlah ini bisa didapat Inoel hanya dengan goyang pantat selama 10 menit!

Di instansi pemerintah, sudah rahasia umum bahwa badan-badan Litbang adalah “Sulit Berkembang” atau orang-orangnya “Dililit dan Dibuang”.  Anggaran riset kita tak sampai 0,2% PDB  Bandingkan dengan Malaysia, yang R&D tersebut hampir 2% PDB, atau Jepang yang hampir 5% PDB.  Sementara itu di sektor swasta, penelitian juga tiarap.  Mungkin hanya di sedikit industri farmasi ada riset.  Sementara itu sebagian besar industri kita hanya “kacung” dari suatu raksasa di Luar Negeri.  Di negeri asal itulah ada R&D.  Di sini, mau buat apa?  Jangan-jangan malah khawatir nanti disintegrasi …

Sebenarnyalah, senang meneliti tidak harus jadi peneliti.  Sikap (attitude) dan kemahiran yang didapatkan dari pelatihan penelitian atau skripsi, mestinya dibawa sampai mati, tidak dibatasi ruang dan waktu, apalagi bentuk-bentuk institusi.

Seharusnya, bagus-bagus saja, ketika seorang yang pernah dilatih penelitian, kemudian ketika menjadi pejabat politik, dia tidak hanya mengikuti gossip, wangsit ataupun instink belaka, namun mengkaji permasalahan secara ilmiah, sehingga keputusannya tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara rasional kepada publik. Juga tentu bagus sekali, bila keahlian meneliti itu dipakai untuk mengembangkan enterpreneurship. Sekarang ini konon lapangan kerja sedikit sehingga cari kerja susah.  Faktanya, banyak pemilik modal atau perusahaan kesulitan mendapatkan SDM yang tepat. Banyak sarjana, tapi pola pikirnya tidak berbeda dengan lulusan SD.  Tidak rasional, tidak kreatif dan tidak-tidak yang lain.  Ya terang saja perusahaan itu kesulitan, karena pada umumnya mereka yang pintar dan kreatif, lebih suka buka perusahaan sendiri, sudah jadi bos sendiri, bisa ngatur penghasilannya sendiri, dan juga bisa menolong orang dapat kerjaan (dapat pahala).  Nah untuk tahu bagaimana memilih bisnis yang tepat, dan setelah itu bagaimana agar bisnis itu berjalan lancar dan maju, ini semua perlu dievaluasi dan dianalisis terus menerus dengan metode ilmiah – sesuatu yang mudah-mudah didapatkan mahasiswa selama pelatihan atau tugas akhirnya.

Bahkan jika ada alumni pelatihan penelitian itu akhirnya lebih banyak beraktivitas di rumah (misal jadi ibu rumah tangga), mereka seharusnya bisa mengenali permasalahan di rumah, baik yang sifatnya fisik, finansial, maupun psikologis.  Metode ilmiah banyak membantu menyelesaikan segalanya, walaupun tentu bukan segala-galanya.

 

2. Kebenaran

Bila di suatu majelis ada perbedaan pendapat, sebagian orang sering langsung mengeluarkan jurus “peredam ikhtilaf”, yaitu kalimat-kalimat seperti “Kebenaran itu relatif”, “yang mutlak benar hanya Tuhan, kebenaran ilmu itu relatif”, dsb.

Masalah ini bermula ketika berbagai usaha untuk “islamisasi ilmu pengetahuan” sering terjebak pada keinginan untuk mencocok-cocokkan suatu fakta ilmiah dengan Qur’an atau Hadits.  Tindakan ini sangat berbahaya, karena andaikata suatu ketika yang dianggap fakta ilmiah itu teranulir oleh fakta yang lebih akurat, maka Qur’an atau Hadits akan kehilangan kredibilitasnya.

Maka kita perlu menengok sejauh mana relativitas kebenaran itu, dan sejauh mana kita bisa menempatkan diri secara proporsional.

Dalam filsafat ilmu, kita mengenal tiga jenis aliran informasi, dan ini berakibat ada tiga macam kebenaran, yaitu: (1) kebenaran deduktif atau bisa disebut juga kebenaran subjektif/otoritatif/deklaratif; (2) kebenaran naratif atau transmisif; (3) kebenaran induktif atau objektif/konklusif.  Tiga jenis kebenaran ini bisa berkaitan namun tak bisa dicampuradukkan.

 

Kebenaran deduktif

adalah kebenaran pernyataan (declare) dari seseorang karena otoritasnya – yang tentu saja bisa subjektif.  Seorang ayah berhak memberi nama anaknya Ahmad, sehingga pasti salah kalau orang lain memanggil anak itu Aceng.  Suatu pemerintah berhak menetapkan bahwa kendaraan jalan di lajur kiri, sehingga pasti salah bila ada kendaraan jalan di lajur kanan.  Di sini kebenaran sama sekali tidak relatif.  Kebenaran ini hanya bisa digugat ketika otoritas ayah atau pemerintah tersebut dipertanyakan.

Ummat muslim seharusnya menyadari, bahwa kebenaran sumber-sumber Islam seperti Qur’an, Sunnah atau Ijma’ as-Shahabah, adalah memiliki deduktif/subjektif, artinya kebenarannya tergantung sejauh mana otoritas yang mengeluarkannya itu (Allah-Rasul) memiliki arti bagi kita.  Karena itu hal yang paling mendasar adalah pengakuan atas otoritas tadi, yaitu syahadatain.

 

Kebenaran naratif

adalah kebenaran akurasi dari objek atau informan ke penerima.  Kebenaran ini terkait dengan akurasi alat transmisi (alatnya cacat, noise, bias atau tidak) dan tingkat kepercayaan manusia yang terlibat (apa benar pernah bertemu dan mendengar/melihat, sejauh mana ingatannya, reputasi kredibilitasnya, dll).  Inilah kebenaran yang sering diandalkan oleh para jurnalis, pengadilan, pemberantas korupsi dan periwayat hadits.

 

Kebenaran induktif

adalah kebenaran objektif.  Nilai kebenaranya tidak tergantung dari siapa yang mengeluarkan, namun dari alur logis cara menarik kesimpulan tentang objeknya, yang bisa diulangi oleh siapapun.  Inilah jenis kebenaran yang paling luas, yang ditemui di dunia sains maupun fiqih.  Dalam kebenaran induktif, sesuatu dianggap benar sampai ditemukan suatu kejanggalan, yaitu ketika ada dalil atau fakta yang tidak “fit” di konklusinya.

Kebenaran induktif ini ada yang bersifat relatif dan ada yang mutlak.  Yang bersifat relatif pada umumnya mencakup hal-hal yang rumit dan rinci.  Yang mutlak mencakup hal-hal yang sederhana.

Contoh: adalah mutlak benar mengatakan bahwa bentuk bumi ini mirip bola (dan mutlak salah mengatakan bumi ini seperti cakram).  Namun mengatakan berapa besar radius bumi sampai milimeter terdekat masih relatif benar, karena hal itu terkait dengan beberapa penyederhanaan yang menjadi asumsinya.

Dalam ilmu pengetahuan, agar sesuatu itu bisa berguna, dia tidak harus mutlak benar.  Cukup bahwa prediksi yang dihasilkannya sesuai dengan kenyataan, sudah akan membuat ilmu itu memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi.

 

Pada abad pertengahan, peta-peta yang dipakai oleh para penjelajah dunia, masih sangat sederhana, dan dilihat dari kacamata sekarang, jelas banyak yang salah.  Namun peta-peta itu telah berguna membawa banyak tokoh sejak dari Al-Biruni, Vasco da Gama atau James Cook mencapai tempat-tempat yang saat itu sulit dibayangkan.

Demikian juga teori mekanika Newton sebenarnya tidak tepat benar.  Kalau untuk memprediksi gerakan planet Mercurius, teori Newton akan gagal.  Orang harus beralih ke Teori Relativitas Umum Einstein.  Namun teori Newton ini berguna untuk 95% persoalan sehari-hari, mulai dari perhitungan struktur bangunan, aerodinamika pesawat, hingga prediksi planet-planet selain Mercurius.  Orang kemudian memandang bahwa Teori Einstein lebih benar dan lebih luas dari teori Newton, atau Teori Newton adalah special-case dari Teori Einstein.

Yang jelas, kebenaran induktif yang mutlak, bisa menjadi acuan untuk kebenaran deduktif dan naratif.  Siapakah ayah yang berhak memberi nama anaknya, bisa dicari secara induktif, misalnya dengan tes DNA.  Juga siapakah Nabi yang memang authorized untuk menyatakan diri sebagai Rasul utusan Tuhan, bisa dibuktikan (induktif) dari mukjizat yang dibawanya.  Demikian juga, siapa yang ternyata kredible dalam penuturan hadits, dikaji terlebih dulu secara induktif.

Namun di luar persoalan kebenaran, ada persoalan lain.  Filsafat membagi objek empiris dalam tiga dunia: “logika” (yang mengenal BENAR dan SALAH), “etika” (yang mengenal BAIK dan BURUK) dan “estetika” (yang mengenal INDAH dan JELEK).  Pada umumnya, ketiga dunia ini dianggap sama sekali tak saling bertaut.  Karenanya, suatu ekspresi seni yang secara etika dianggap melanggar norma kesopanan, oleh kalangan lain dianggap memiliki nilai estetis.

Di sinilah Islam mengintegrasikan ketiga dunia tersebut di bawah satu payung kebenaran syariat.  Syariat menentukan nilai BENAR-SALAH dari suatu perbuatan, dan yang sesuai syariat adalah BAIK, dan nilai keindahanpun baru ada bila memenuhi kriteria minimal syariat (HALAL).  Tentu saja bagi yang telah memenuhi syarat minimal syariat, masih terbentang spektrum dari yang BAIK dan LEBIH BAIK, dari yang INDAH dan LEBIH INDAH.  Dan ini sangat subjektif.

 

3. Kreatifitas

Ketika nilai kebenaran dijadikan sandaran untuk memahami alam semesta, kehidupan dan manusia, kreatifitas diperlukan untuk menjawab tantangan permasalahan yang dihadapi di dunia ini.  Kreatifitaslah yang menjadikan suatu bangsa unggul dalam ilmu dan teknologi, dan bukan nilai kebenaran atau kebijaksanaan yang mereka kumpulkan.

Kreativitas bisa dibagi dalam suatu matriks 3 x 3.  Pada sumbu datar adalah jenis kreatifitas dari segi kematangan untuk digunakan, yaitu observatif – analitif – kreatif.  Sedang pada sumbu tegak adalah tingkat kesulitan mendapatkannya, yaitu aplikatif – modifikatif – inovatif.

 

inovatif 7  Nobel 8  Nobel 9  Paten
modifikatif 4 5 6  Paten
aplikatif 1 2 3
  observatif analitif kreatif

 

Riset para peneliti di negeri-negeri muslim yang notabene negara berkembang umumnya hanya berkutat riset pada kotak nomor 1, 2 atau 3.

Riset observatif-aplikatif artinya pengamatan mencari data dengan menggunakan teknik yang telah lazim diketahui, hanya diterapkan pada medan yang baru.  Jarang kita kembangkan metode observasi yang baru untuk menangkap fenomena yang sebelumnya sulit didekati.  Pernahkah membayangkan metode riset untuk mengamati fenomena mahluk halus?

Riset analitif-aplikatif artinya analisis antara berbagai data dengan menggunakan pisau analisis yang telah ada.  Kembali di sini, jarang ditemukan pengembangan baru, sekalipun hanya modifikasi.  Riset jenis inilah yang paling populer, sehingga di berbagai perguruan tinggi, seakan-akan tak mungkin ada riset tanpa statistik dan data real. Padahal untuk riset jenis kreatif, kehadiran statistik atau data real tidak terlalu mutlak, karena yang lebih penting adalah terciptanya suatu alat atau software yang bisa digunakan. Namun riset kreatif di negeri muslim umumnya juga hanya aplikatif, sekedar menggunakan (try-out) produk yang sudah dibuat orang dari negara maju.

Alangkah jarang kita dapatkan riset observatif atau analitif yang inovatif, yang bila memiliki dampak yang besar bagi kemanusiaan, pantas dihadiahi Nobel atau yang setara dengan itu.  Demikian juga riset kreatif, yang sekalipun sifatnya modifikatif, tapi sering pantas dilindungi paten – agar tidak dibajak oleh kapitalis bermodal raksasa, yang melihat penemuan itu memiliki nilai komersial yang sangat tinggi.

Paradigma kreatifitas ini yang harus dikembangkan di masyarakat muslim sehingga mereka tidak perlu hanya bersifat defensif menghadapi serbuan teknologi Barat, yang kadang disisipi pemikiran dan ideologi Barat, namun sebaliknya bisa proaktif mengekspor teknologi, pemikiran bahkan ideologi Islam ke Barat, sehingga Islam benar-benar menjadi rahmat seluruh alam.

4. Paradigma Islam

Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim fiqh yang skripturalis dan kaku.  Teori ini terbukti bertentangan dengan fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi berjalan beriringan[i].   Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur, teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama[ii]. Hunke[iii] dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat ummat muslim di khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi Islam terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal.

Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang akibat faktor teologis menjadikan ilmu sebagai “saudara kembar” dari iman, menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara percaya tahayul adalah sebagian dari sirik.  Paradigma ini menggantikan paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia bagi awam.  Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi.  Para konglomeratpun menjadi sangat antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu pengetahuan atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji pakarnya.

Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu.  Walaupun kondisi politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim sekarang ini.  Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa diakses masyarakat dengan gratis.  Sekolah ini mengajarkan ilmu pengetahuan tanpa dikotomi ilmu-ilmu agama dan teknologi yang bebas nilai.

Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma.  Ini adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai.

Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi maupun guideline.  Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb[iv].

Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian dalam filsafat ilmu[v], yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan aksiologi.

Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari  atau diteliti.  Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18).  Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar ilmu tafsir menyandingkan buku astronomi Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno) sebagai “syarah” dari surat al-Ghasiyah tersebut.

Kaidah“Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib pula) juga memiliki peran yang besar.  Maka ketika kaum muslimin melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu dsb.  Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari sejumlah bahasa asing.

Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya[vi].

 

Epistemologi menyangkut metode bagaimana suatu ilmu dipelajari.  Epistemologi Islam mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum syara’pun.  Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan syara’, misalnya cloning manusia.

Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya.  Oleh karena itu, ilmu seperti ilmu sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan.  Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti menggunakan ilmu itu.  Berbeda dengan sekarang ketika banyak mahasiswa yang ada di “menara gading”, dan ketika turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam menggunakan ilmunya.

Sedang aksiologi adalah menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan.  Ilmu atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban (hadharah) manusia atau masyarakat yang menggunakannya.  Banyak hasil riset yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai hanya untuk membenarkan suatu model yang bias secara ideologis ataupun kepentingan tertentu[vii].

Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi akan dibatasi oleh hukum syara’.  Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya.  Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat seluruh alam, bukan untuk menjajah negeri-negeri lain.  Oleh karena itu kebuntuan untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin[viii] – seperti yang terjadi dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.

5. Masa Depan

Saat ini, kemampuan sains dan teknologi ummat muslim sangat parah.  Akibatnya, mereka mengalami ketergantungan kepada Barat, sehingga Baratpun memiliki posisi tawar yang lebih tinggi untuk memaksakan aturan ataupun kepentingannya di dunia Islam.  Ada tiga ketertinggalan teknologi:

Pertama, Sumber Daya Manusia Ilmuwan yang tidak memadai.  Berbagai usaha meningkatkan kuantitas maupun kualitas ilmuwan muslim dengan mengirim mereka belajar atau riset di negara-negara maju akhirnya kandas: banyak di antara mereka yang justru kemudian menetap di negara maju (braindrain)[ix].  Sebagian kembali namun memilih bekerja pada perusahaan multinasional yang sedikit banyak tidak berkaitan dengan riset yang akan menjadi indikator kemajuan teknologi negaranya.  Sedang sebagian kecil lagi, walaupun bekerja dalam riset sebagai pegawai negeri atau swasta nasional, namun waktunya terkuras untuk hal-hal yang kurang relevan, misalnya menjadi birokrat, pengurus partai politik atau sibuk mencari tambahan penghasilan dengan aktivitas lain.

Kedua, anggaran riset yang rendah.  Dalam prosentase PDB, riset di dunia Islam termasuk yang terrendah dibanding negara-negara Barat.  Dana riset menjadi tidak memadai manakala bahan atau peralatan riset harus didatangkan dari luar negeri.  Akibat mutu SDM yang rendah, maka kreatifitas untuk menciptakan bahan atau peralatan pengganti juga hampir tak ada.  Selain itu riset belum benar-benar terkait dengan dunia industri dan bisnis, sehingga riset praktis tidak mampu menghasilkan sesuatu secara ekonomis[x].

Ketiga, dan ini berkait dengan mutu SDM dan anggaran: kualitas riset yang sangat rendah.  Banyak riset yang dikerjakan fiktif, tidak menghasilkan paper yang layak dijadikan referensi, apalagi menghasilkan paten yang dicari dunia industri[xi].

Oleh karena itu, bila kita bicara kebijakan riset di negeri Islam, mau tidak mau harus kita pisahkan antara kebijakan jangka pendek dan jangka panjang, antara yang bisa kita kerjakan dalam skop individu, skop “kelompok peduli”, dan skop sebuah negara.

Kebijakan jangka pendek lebih menjadi domain individu ilmuwan muslim yang memiliki komitmen dengan perkembangan sains dan teknologi di negeri Islam.  Untuk itu tak ada cara lain selain bahwa mereka memberi contoh dengan diri mereka sendiri, melalui produktifitas risetnya, profesionalismenya serta usahanya yang tak henti untuk melakukan sosialisasi budaya ilmiah pada masyarakat.

Sementara itu dalam jangka panjang, negara harus menempuh sejumlah kebijakan yang akan menjadikan negeri-negeri muslim menarik untuk tempat berkiprah terutama ilmuwan muslim.  Nilai atraktifitas ini hanya bisa dicapai dengan iklim kebebasan profesi ilmiah, berikut penghargaannya, kultural maupun ekonomis.

Sedangkan peran dari “kelompok peduli” adalah di satu sisi mendesakkan agenda-agenda kebijakan ini pada pemerintah, dan di sisi lain mengubah opini masyarakat luas, sehingga mereka ikut mendukung kultur ilmiah dan kebijakan ilmiah ini nantinya.

 

 

Bacaan Lanjut


[i] Rachmat Taufiq Hidayat dkk: Almanak Alam Islami.  Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 2000.

[ii] Ahmad Y. al-Hassan & Donald R. Hill: Islamic Technology: an illustrated History.  Unesco, 1986.  (Terjemahan oleh Yulian Liputo: Teknologi dalam Sejarah Islam.  Bandung, Mizan, 1993).

[iii] Sigrid Hunke: Allah’s Sonne ueber dem Abendland.  Frankfurt, Fischer, 1990.

[iv] Yusuf Qardhawi: Metode & Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah.  Bandung, Rosda, 1991.

[v] Julius Suriasumantri: Ilmu dalam Perspektif.  Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1983.

[vi] Yusuf Qardhawi: Fikih Prioritas, Sebuah Kajian Baru. Jakarta, Robbani Press, 1996.

[vii] Darell Huff: How to Lie with Statistics.  New York, W.W. Norton, 1960

[viii] Franz Nuscheler: Lern- und Arbeitsbuch Entwicklungspolitik.  Bonn, Verlag Neue Gesselschaft,1987.

[ix] Muhammad ‘Abd al-Marsi: Bencana Dunia Islam – Pelarian Cendekiawan Islam.  Bandung, Rosda, 1989.

[x] International Seminar of Best Practices in Effective Research Financing Polecy. Jakarta, Bappenas-Ristek, June 17, 2002.

[xi] S. Farid Ruskanda (Ed): Pencapaian Ilmu LIPI (Suatu Model Evaluasi). LIPI, 1998.


Khilafah, Sistem Manusiawi

Khilafah: Solusi Dunia

Perkembangan dunia Abad 21 ini menunjukkan peningkatan interdependensi (saling ketergantungan) antarbangsa. Teknologi komunikasi dan informasi (ICT) menjadikan dunia sebagai “desa global” (global village). Perkembangan di manapun dapat diikuti oleh siapapun di pelosok dunia manapun. Ini membuat batas-batas artifisial yang diciptakan oleh Negara-bangsa menjadi kurang berarti. Pertanyaannya: siapa yang dapat memanfaatkan perkembangan global itu lebih baik?

Dalam hal ini, gaya hidup yang diciptakan dunia Barat yang materialistis-kapitalistis dan liberal-sekular pada awalnya memang berhasil mewarnai seluruh pelosok dunia lebih cepat. Namun, ujung-ujungnya gaya hidup ini juga lebih cepat menuai kecaman dari seluruh bangsa di dunia. Di segala pelosok dunia orang mengeluhkan pemborosan sumberdaya alam yang makin cepat, perusakan lingkungan yang makin dahsyat, tercerabutnya kearifan lokal, terdesaknya masyarakat adat dan makin jelasnya penjajahan ekonomi di mana-mana. Globalisasi yang semula dimaksudkan untuk mengokohkan peradaban Kapitalisme—sehingga Francis Fukuyama menyebutnya sebagai “The End of History”—justru menjadi bumerang. Di mana-mana orang mencari alternatif. Bahkan di negeri-negeri asal Kapitalisme, arus orang yang mencari jalan alternatif semakin meningkat. Orang mencari makanan alternatif. Tren pertanian tanpa pupuk kimia atau pestisida (pertanian organik) meningkat pesat. Orang mencari wisata alternatif (eco-wisata). Bahkan orang mencari agama alternatif (dari mainstream di sana, yaitu agama Nasrani). Jumlah pemeluk Islam, Budhisme dan sekte-sekte tumbuh pesat.

Di sinilah, sistem Khilafah dengan syariah Islam sebagai solusi total permasalahan manusia akan menjadi alternatif yang makin menarik guna memberikan pemecahan praktis persoalan dunia. Dunia yang kehilangan arah makna kehidupan akan diberi paradigma baru yang tepat. Sistem Khilafah yang bersifat global, tetapi memberikan ruang bagi pluralitas, akan memberikan jalan yang berbeda daripada perangkap-perangkap negara-bangsa yang sudah tidak kompatibel lagi dengan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi serta isu-isu lingkungan hidup.


Khalifah Juga Manusia

Sistem khilafah masih perlu didetilkan. Konferensi Khilafah Internasional (KKI) yang digagas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) pada 12 Agustus 2007 lalu mulai menuai bola salju. Di Harian Media Indonesia (24/8/2007) lalu muncul dua tulisan yang mempersoalkan ide-ide HTI.

M. Hasibullah Satrawi (alumnus al-Azhar Kairo) mempertanyakan prosedur pemerintahan seperti apa yang hendak diciptakan? Satrawi menganggap HTI mengalami kerancuan paradigma; di satu sisi ingin menegakkan pemerintahan Khilafah (yang menurutnya pada masa awal Islam sarat dengan nilai-nilai demokrasi), tetapi di sisi lain HTI anti demokrasi. Bahkan dia mempertanyakan apakah HTI sama atau memang Khawarij baru—suatu hal yang juga dilontarkan oleh kelompok Salafi.

Adapun Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society) menggunakan pendekatan hermeneutik. Istilah khalifah dan khilafah dikatakan mengalami perkembangan dan partikularisasi, dari “mandat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia apapun agamanya” menjadi “justifikasi dan legitimasi suatu klan politik”. Kedaulatan Tuhan atau sistem Khilafah menurutnya adalah kalimat mulia tetapi maknanya bisa menjadi batil.

Lepas dari setuju atau tidak dengan isinya, keberadaan dua tulisan itu dapat bernilai positif, dan diharapkan terus membuka perdebatan ilmiah yang mengandalkan kekuatan logika.

Sepanjang sejarahnya, HT terbukti konsisten untuk concern dengan adu argumentasi ilmiah, dan bukan kekerasan atau main larang bicara yang hanya mengandalkan logika kekuatan. Justru logika kekuatan ini yang akhir-akhir ini ditunjukkan oleh penguasa negeri ini (atas desakan AS dan Uni Eropa), yang mencekal dan mendeportasi para pembicara KKI dari Luar Negeri, serta melarang dan menekan beberapa tokoh Dalam Negeri agar tidak hadir apalagi berorasi di forum KKI.

Sebenarnya apa yang dipersoalkan dua penulis di atas sudah terjawab oleh buku-buku HT sendiri. Dalam buku Ajhizah Dawlat al-Khilâfah (Struktur Negara Khilafah) yang dikeluarkan HT (Internasional) tahun 2005, ditegaskan bahwa sistem Khilafah adalah sistem manusia dan bersifat duniawi. Khalifah juga manusia dan negara Khilafah bukan negara teokrasi.

Memang, istilah khalifah dipakai secara umum dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 30, dan secara agak khusus dalam surah Shad ayat 26. Namun, Rasul saw. telah dengan jelas membatasi istilah khalifah/khilafah itu untuk pemerintahan pasca Beliau. Nabi saw. bersabda:

“Dulu Bani Israel diurus oleh para nabi. Setiapkali seorang nabi meninggal, ada nabi lain yang menggantikannya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku; yang akan ada adalah para khalifah, dan mereka banyak.” Para Sahabat bertanya, “Lalu apa yang engkau perintahkan kepada kami?” Nabi menjawab, “Penuhilah baiat yang pertama, yang pertama saja, dan berikanlah kepada mereka hak mereka. Sesungguhnya Allah akan meminta pertanggungjawaban mereka atas apa yang mereka urus.” (HR Muslim).

Dalam hadis lain Rasulullah sangat menekankan kesatuan negara sehingga melarang munculnya kepala negara tandingan. Dalam hal ini, Nabi saw. secara eksplisit menggunakan istilah khalifah untuk kepala negara kaum Muslim:

Jika dibaiat dua orang khalifah maka bunuhlah yang paling akhir dari keduanya. (HR Muslim).

Tentang mekanisme pemilihan khalifah, apa yang terjadi pada masa Khulafaur Rasyidin, dan diamnya mereka melihat mekanisme pemilihan Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali yang berbeda-beda, menunjukkan bahwa keempatnya adalah sah sebagai model. Hal ini karena ada sabda Nabi saw.:

Umatku tidak akan sepakat dalam kemungkaran.

HT menyimpulkan bahwa Ijmak Sahabat adalah sebuah sumber hukum. Karena itu, bagi HT mekanisme itu sangat jelas. Khalifah boleh dipilih secara langsung seperti Abu Bakar, atau dengan nominasi khalifah sebelumnya seperti Umar, atau dengan suatu komite pemilihan seperti Utsman. Semua model ini semuanya absah pada saat yang tepat. Jadi, keliru untuk mengatakan bahwa Islam atau sistem Khilafah tidak memiliki model suksesi.

Adapun apa yang terjadi di masa Bani Umayah, Abbasiyah atau Utsmaniyah adalah penyalahgunaan sistem baiat, namun bukan metode nominasinya sendiri yang salah. Dalam sistem demokrasi juga ada nominasi. Hampir semua penerus perdana menteri (PM) pada sistem demokrasi parlementer dinominasikan oleh PM sebelumnya. Toh nominasi ini hanya akan berjalan dengan baik kalau diterima oleh Parlemen dan diperkuat pada Pemilu berikutnya.

Dalam sistem Khilafah, orang yang dicalonkan ini baru akan sah menjadi Khalifah dengan baiat. Baiat adalah akad antara umat (yang terwakili oleh tokoh-tokoh kunci kekuatan umat, yaitu di politik atau militer) yang siap taat dan membela seseorang agar menerapkan syariah Islam. Orang yang menerima baiat itulah yang kemudian menjadi khalifah, atau amirul mukminin, atau sultan atau sebutan lain yang sah. Karena itu, jika khalifah tidak lagi menerapkan syariah maka akadnya otomatis batal. Mahkamah Madzalim secara konstitusional dapat memecat khalifah. Pemecatan ini tentu saja baru akan efektif jika kekuatan politik dan militer mendukungnya—sebagaimana juga mereka adalah kunci ketika seorang khalifah naik tahta. Kondisi real politis ini ada pada sistem apapun.

Sebaiknya dalam melihat suatu sistem pemerintahan, kita tak hanya terpaku pada sistem suksesi atau peralihan kekuasaannya. Konstitusi manapun tidak hanya mengatur suksesi. Dalam UUD ‘45 hasil amandemen, soal suksesi hanya ada pada 3 pasal dari 37 pasal. Jadi, saat kita menilai kualitas sebuah negara, jangan pula hanya melihat suksesinya. Kalau mau jujur, Indonesia ini, meski telah melakukan suksesi secara sangat demokratis, kualitas kehidupan masyarakatnya justru semakin parah dan semakin jauh dari cita-cita proklamasi. Sebaliknya, meskipun terjadi penyimpangan sebagian kecil khalifah pada masa lalu, mereka masih melindungi seluruh rakyatnya, mencerdaskannya, menjadikannya sejahtera, dan menorehkan sejarah peradaban yang mulia. Umar bin Abdul Azis dari Bani Umayyah berhasil mensejahterakan rakyatnya dalam 2,5 tahun, padahal waktu itu kekuasaannya membentang dari Spanyol hingga Irak. Khalifah al-Rasyid dan al-Makmun dari Bani Abbasiyah mensponsori aktivitas keilmuan yang luar biasa. Al-Mu’tashim Billah dengan tegas menindak suatu negara boneka Romawi yang aparatnya melakukan pelecehan seksual atas Muslimah di negeri itu. Bayangkan dengan apa yang diperbuat Republik yang sangat demokratis ini pada ribuan perempuan buruh migran yang tidak cuma dilecehkan namun juga disiksa di luar negeri? Al-Qanuni dari Bani Utsmaniyah berhasil menahan—untuk beberapa abad kemudian—laju imperialisme kekaisaran-kekaisaran Eropa saat itu (Habsburg Austria, Tsar Rusia, dll). Andaikata Khilafah Utsmani ini tidak pernah ada, barangkali Islam belum berkembang di Indonesia seperti saat ini.


Khilafah: Negara Hukum, Bukan Totaliter

Sering menjadi pertanyaan pula adalah masalah check and balance. Sistem demokrasi sering dipuja-puja karena adanya trias politika atau pembagian/pemisahan kekuasaan: legislatif–eksekutif–yudikatif. Sebaliknya, kekuasaan khalifah seperti dalam kitab-kitab fikih dituduh terlalu besar, tidak cuma sebagai eksekutif, tetapi juga bisa merangkap legislatif dan yudikatif. Sebagai legislatif: meski ada Majelis Syura, hanya dalam soal masyura keputusan syura mengikat; sedangkan dalam hukum syariah keputusan syura tidak mengikat. Sebagai yudikatif: selama tidak menyangkut dirinya, khalifah boleh mengadili secara langsung suatu pertikaian.

Orang lupa bahwa dalam sistem demokrasi dengan trias politika, kepala negara tetap paling berkuasa. Undang-undang apapun, kalau presiden tidak menerapkan, ya tidak jalan. Presiden juga bisa membuat Peraturan Pemerintah/Peraturan Presiden agar suatu UU menjadi operasional. Adapun dalam soal yudikatif, faktanya presiden mempunyai kekuasaan memberikan amnesti, grasi, abolisi dan rehabilitasi—sesuatu yang justru dalam sistem Khilafah tidak ada ketika perkaranya menyangkut hudûd atau jinâyah.

Orang juga sering lupa bahwa di negara manapun, dengan sistem apapun, kualitas kekuasaan akan bergantung pada kualitas masyarakatnya! Pada negara demokratis dengan trias politika, bisa saja seluruh kekuasaan itu praktis pada satu partai atau bahkan satu tangan. Jika suatu partai yang populer menang mutlak dalam Pemilu, dia akan mendominasi legislatif dan eksekutif. Anggota yudikatif yang konon independen pun toh dipilih dari para ahli hukum oleh DPR. Di Indonesia kita melihat sendiri seperti apa kualitas lembaga legislatif dan yudikatif yang konon melakukan check and balance itu.

Di sisi lain, jika legislatif dan eksekutif didominasi partai yang berbeda memang check and balance akan lebih kuat, namun dalam banyak hal juga akan membuat pengambilan keputusan sangat lamban yang bahkan bisa membuat pemerintahan lumpuh.

Seberapa efektif kekuasaan itu juga sangat bergantung pada kekuatan politik dan militer yang mengawalnya. Di negara yang sangat diktator pun, pemimpin tertinggi (raja, presiden atau sekjen partai komunis) akan berpikir seribu kali agar keputusannya juga didukung para aristokrat, tokoh partai dan pemimpin militer. Pada awal tahun 90-an, politik di sejumlah negara (Jerman Timur, Polandia, Uni Soviet dan Afrika Selatan) berubah total meski tanpa Pemilu. Kuncinya adalah perubahan cara pandang para tokoh politik dan militer sehingga sejalan dengan aspirasi masyarakat. Jadi, kuncinya sangat bergantung pada kualitas masyarakat. Dari rahim merekalah lahir para pemimpin. Masyarakat yang cerdas akan memunculkan para pemimpin politik dan militer yang cerdas.

Dari sini kita akan dapat mengerti bahwa tidak mungkin seluruh khalifah pada masa Umayyah-Abbasiyah-Utsmaniyah itu memerintah secara totaliter. Kalau ini terjadi, pasti umur sistem itu tak akan lama. Faktanya, mereka meninggalkan peradaban yang besar dan masyarakat yang kuat.

Namun, menganggap sistem Khilafah awal sarat dengan nilai-nilai demokrasi juga menunjukkan kebutaan kita terhadap demokrasi. Demokrasi direduksi hanya dalam proses prosedur Pemilu (demokrasi prosedural). Orang-orang liberal pun paham akan hal ini sehingga mereka menentang kalau orang Islam hanya menggunakan demokrasi sebatas prosedural.

Sejatinya, dalam demokrasi itu ada asas sekularisme (penetralan kehidupan publik dari acuan agama apapun), asas liberalisme (kebebasan berpikir, berpendapat dan berperilaku sepanjang tidak mengganggu kebebasan orang lain) serta asas kapitalisme (pasar bebas dengan modal sebagai panglima). Demokrasi boleh mempersoalkan apa saja (termasuk Islam), namun tidak boleh mempersoalkan ketiga asas penopangnya.

Sebaliknya, ide khilafah yang diusung HT sebenarnya tidak mempersoalkan pemilihan langsung oleh rakyat, sebab kekuasaan memang ditangan rakyat, namun menentang demokrasi dengan tiga asas penopangnya. Adakah demokrasi tanpa sekulerisme, liberalisme dan kapitalisme? Negara mana contohnya?


Kesimpulan

Sistem Khilafah adalah sistem pemerintahan manusiawi yang menjadikan al-Quran dan as-Sunnah sebagai sumber hukum (kedaulatan dari Allah), namun kekuasaan adalah dari umat. Karena kekuasaan dari umat, maka ia akan mengikuti dinamika politik manusia yang ada di dunia. Ini adalah realitas yang harus dimengerti, baik oleh para pejuang Khilafah maupun mereka yang skeptis terhadapnya. Wallâhu a‘lam bi ash-shawâb.[Dr. Fahmi Amhar]

Daftar Pustaka:

Ali Muhammad Ash-Shalabi: Bangkit & Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah. Pustaka al-Kautsar, 2003.

Ibnu Khaldun: Muqaddimah. Edisi Indonesia oleh Pustaka Firdaus, 2000.

Robert Greene: The 48 Laws of Power. Edisi Indonesia oleh Karisma Publishing Groups, 2007.


Tingkat Kepribadian Manusia

Abdul Fattah Rashid Hamid Ph.D., Seorang psikolog Muslim lulusan St. Louis University USA , dalam bukunya “ Pengenalan Diri dan Dambaan Spiritual” menyebutkan bahwa perjalanaan setiap Individu dalam menuju kesempurnaan kepribadiannya akan melewati tingkatan kepribadian sebagai berikut :

Kepribadian Tingkat I : AN-NAFS al- AMARAH
Pada tingkat ini manusia condong pada hasrat dan kenikmatan dunia. Minatnya tertuju pada pemeliharaan tubuh, kenikmatan selera-selera jasmani dan pemanjaan Ego. Di tingkat ini iri, serakah, sombong, nafsu seksual, pamer, fitnah, dusta, marah dan sejenisnya, menjadi paling dominan.

Kepribadian Tingkat II : AN-NAFS al-LAWWAMAH
Pada tingkat ini manusia sudah mulai melawan nafsu jahat yang timbul, meskipun ia masih bingung tentang tujuan hidupnya. Jiwanya sudah melawan hasrat-hasrat rendah yang muncul. Diri masih menjadi subjek yang dikendalikan hasrat-hasrat yang bersifat fisik, ia masih sering tertipu oleh muslihat dunia yang sementara ini.

Kepribadian Tingkat III : AN-NAFS al- MULHIMA
Pada tingkat ini manusia sudah menyadari cahaya sejati tidak lain adalah petunjuk Allah. Semangat Takwa dan mencari Ridha Allah adalah semboyannya. Ia tidak lagi mencari kesalahan-kesalahan orang lain tetapi ia selalu introspeksi untuk menjadi hamba Allah yang lurus. Ia selalu berzikir dan mengikuti sunnah nabi Muyhammad SAW.

Kepribadian Tingkat IV : AN- NAFS al-QANAAH
Pada tingkat ini hati telah mantap, merasa cukup dengan apa yang dimilikinya dan tidak tertarik dengan apa yang dimiliki oleh orang lain. Ia sudah tidak ingin berlomba untuk menyamai orang lain .
Ketinggalan ‘status ‘baginya bukan berarti keterbelakangan dan kebodohan. Ia menyadari bahwa ketidakpuasan atas segala sesuatu yang telah ditetapkan Allah menunjukkan keserakahan dan ketidakmatangan pribadi. Pada tingkat ini , manusia mengetahui bahwa seseorang tidak dapat memperoleh kebaikan apapun kecuali dengan kehendak Allah. Hanya Allah yang mengetahui apa yang terbaik dalam situasi apapun.

Kepribadian Tingkat V : AN-NAFS al- Mut’MAINNAH
Pada tingkat ini manusia telah menemukan kebahagiaan dalam mencintai Allah SWT. Ia tidak ingin memperoleh pengakuan dalam masyarakat atau apapun tujuannya. Jiwanya telah tenang, terbebas dari ketegangan, karena pengetahuannya telah mantap bahwa segala sesuatu akan kembali pada Allah. Ia benar-benar telah memperoleh kualitas yang sangat baik dalam ketenangan dan keheningan.

Kepribadian Tingkat VI : An-NAFS al- RADIYAH
Ini adalah ciri tambahan bagi jiwa yang puas dan tenang. Ia merasa bahagia karena Allah Ridha padanya . Ia selalu waspada akan tumbuhnya keengganan yang paling sepele terhadap kodratnya sebagai abdi Tuhan. Ia menyadari bahwa islam adalah fitrah insan dan ia pun haqqul yaqin pada firman Allah : “…..Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu…” Ia patuh pada Allah semata-mata hanya sebagai perwujudan rasa terimakasih nya.

Kepribadian Tingkat VII : An-Nafs al-KAMILAH
Ini adalah tingkat manusia yang telah sempurna (al-insan al –Kamil)
Kesempurnaannya adalah kesempurnaan moral yang telah bersih dari semua hasrat kejasmanian sebagai hasil kesadaran murni akan pengetahuan yang sempurna tentang Allah. “Selubung diri “ nya telah terbuka hanya mengikuti kesadaran Ilahi. Nabi Muhammad SAW adalah contoh manusia yang telah sampai pada tingkat ini. Kepribadiannya mengungkapkan segala hal yang mulia dalam kodrat manusia .

Ditingkat mana diri berada?
Seorang ahli hikmah berkata, “Barangsiapa hendak memperbaiki jiwa hendaklah bersungguh-sungguh menekan diri sampai terbebas dari keburukannya “Wallahualam bishawab”

Sumber: Ir Permadi Alibasyah

http://www.facebook.com/SHOLAT.BERJAMAAH.DI.MASJID.YUK


Perlukah Bank Syariah dalam Negara Khilafah?

 

 

Pendahuluan

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis, perlukah bank-bank syariah seperti sekarang ini dalam negara Khilafah nanti? Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu kiranya dibahas lebih dulu 2 (dua) hal penting sebagai dasar jawabannya.

Pertama, kritik terhadap bank syariah saat ini, baik kritik yang bersifat umum maupun terperinci. Kritik ini perlu, agar bank syariah dapat dipahami secara utuh. Yakni di samping ada manfaatnya yang positif, bank syariah ternyata juga tak luput dari penyimpangan-penyimpangan syariah (mukhalafat syariyah). Adanya berbagai penyimpangan ini akan menjadi bahan pertimbangan, apakah bank syariah diperlukan atau tidak.

Kedua,penjelasan mengenai apa saja yang menjadi aktivitas bank konvensional dan syariah. Penjelasan ini penting untuk mengetahui apakah aktivitas-aktivitas bank syariah saat ini memang mutlak harus dilakukan dalam bentuk bank syariah, ataukah dapat dijalankan dalam bentuk lain.

 

Kritik Terhadap Bank Syariah

Biasanya bank syariah dibangga-banggakan sebagai wujud ekonomi Islami yang bebas riba dan menjadi alternatif dari bank konvensional yang ribawi. Berbagai manfaat dan kinerjanya juga sering ditonjolkan. Tentu, manfaat dan kinerja yang baik dari bank syariah tak perlu kita ingkari dan bahkan harus diapresiasi. Namun tak boleh dilupakan, standar untuk menilai bank syariah sebenarnya bukan pada aspek manfaat atau kinerjanya, melainkan sejauh mana bank syariah berpegang teguh dengan syariah Islam. (Asy-Syarawi, Al-Masharif Al-Islamiyah, hal.516).

Berdasarkan standar syariah Islam ini, Ayid Fadhl Asy-Syarawi dalam kitabnya Al-Masharif Al-Islamiyah (2007) telah memberikan kritik umum dan rinci terhadap bank-bank syariah yang ada sekarang. Kritik secara umum, menyoroti lingkungan di mana bank syariah tumbuh dan berkembang. Tak dapat diingkari, bank syariah tumbuh dan berkembang dalam habitat yang abnormal. Yaitu dalam sistem ekonomi kapitalistik-sekular yang anti syariah, yang ditanamkan oleh kafir penjajah di Dunia Islam. Kafir penjajah awalnya menanam bank konvensional saat mereka menjajah. Ketika kemerdekaan diproklamirkan, sayangnya bank konvensional ini hanya dinasionalisasikan, tapi tidak diislamisasikan secara total. Artinya, sistem ekonomi yang ada tetap kapitalistik seperti yang dibuat oleh kafir penjajah. Dalam perkembangan berikutnya, barulah muncul ide untuk menghindarkan diri dari riba bank konvensional, dengan mendirikan bank syariah. (Syarawi, 2007:540-552).

Karena tumbuh dalam lingkungan kapitalis seperti itulah, banyak terjadi kontradiksi (tanaqudh) antara bank syariah dengan sistem kapitalis yang menjadi tempat hidupnya. Contohnya, dalam bank syariah berlaku prinsip bagi hasil dan bagi rugi (profit and loss sharing) dalam akad mudharabah, sesuai kaidah fikih Al-ghurmu bi al-ghunmi (resiko kerugian diimbangi hak mendapatkan keuntungan). Sementara dalam sistem kapitalis, khususnya dalam dunia perbankan, tidak dikenal istilah bagi rugi. Dalam UU Perbankan Amerika Serikat, misalnya, ada ketentuan walaupun bank mengalami kerugian, bank harus mengembalikan simpanan nasabah secara utuh tanpa boleh dikurangi. (Syarawi, 2007:538). Tak hanya dalam mudharabah, kontradiksi seperti itu juga terwujud dalam banyak hal, misalnya sistem akuntansi, aturan perpajakan, aturan badan hukum, serta aturan perdagangan baik dalam negeri maupun luar negeri. Berbagai kontradiksi ini, cepat atau lambat akan menimbulkan penyimpangan demi penyimpangan yang akan makin bertumpuk-tumpuk. Kondisi ini akan membuat umat Islam hidup dalam kebingungan dan kebimbangan. Karena pilihannya hanya dua : bank konvensional yang menjalankan riba, atau bank syariah yang penuh dengan penyimpangan.

Adapun kritik secara rinci untuk bank syariah, antara lain sebagai berikut :

Pertama,terlibat dalam muamalah ribawi. Tak sedikit bank-bank syariah di Timur Tengah yang menginvestasikan dananya di bank konvensional yang memberikan bunga di negara-negara Barat.

Kedua,terlibat dalam asuransi (ta`min). Padahal asuransi hukumnya haram.

Ketiga,tidak pernah mengumumkan adanya kerugian. Ini suatu keanehan yang mengindikasikan penyimpangan. Karena meski dalam akad mudharabah diteorikan bank syariah bisa rugi, tapi dalam praktiknya tak pernah satu kali pun ada bank syariah mengumumkan dirinya rugi.

Keempat,lemahnya pengawasan manajemen dan syariah. Ini mengakibatkan banyak akad-akad bank syariah tidak sesuai dengan ketentuan syariah yang digariskan.

Kelima,dominannya aktivitas pedagangan melalui akad murabahah. Ini akan berimplikasi buruk, yaitu dominasi bank syariah yang akan mengendalikan penentuan harga dan laba untuk berbagai komoditi. Pada saat yang sama, ini juga menunjukkan lemahnya perhatian bank syariah pada sektor pertanian dan industri.

Keenam, kurangnya SDM yang cakap untuk mengelola keuangan syariah. Akibatnya, bank syariah mengambil pegawainya dari bank konvensional yang masih mempunyai pola pikir dan budaya kerja bank konvensional. (Syarawi, 2007:510-514). Dengan adanya kritik-kritik terhadap bank syariah di atas, dapat disimpulkan bank syariah penuh dengan hal-hal yang meragukan (syubhat), karena terjadi berbagai penyimpangan syariah (mukhalafat syariyah) dalam banyak aspeknya. (Syarawi, 2007:554).

 

Aktivitas Bank Konvensional dan Bank Syariah

Bank konvensional adalah institusi kapitalis yang ditanamkan oleh kafir penjajah di Dunia Islam. Secara garis besar bank konvensional besar mempunyai 2 (dua) aktivitas. Pertama, aktivitas ribawi. Misalnya, memberi kredit dengan menarik bunga, menerima simpanan dengan memberi bunga, dan sebagainya. Kedua,aktivitas jasa perbankan, misalnya jasa transfer dan penukaran mata uang, kemudian bank mendapat uang jasa dari aktivitas itu. Pada saat bank syariah berdiri dalam dominasi sistem kapitalis saat ini, ia bermaksud menghapus riba pada bank konvensional (aktivitas pertama di atas) dan menggantikannya dengan aktivitas perdagangan (sesuai QS Al-Baqarah : 275). Dengan demikian, pada garis besarnya, aktivitas bank syariah juga ada 2 (dua) macam.

Pertama, aktivitas perdagangan (amal tijariyah) sebagai pengganti aktivitas ribawi. Ini dijalankan melalui berbagai macam akadnya, seperti mudharabah, murabahah, dan musyarakah, dalam sektor-sektor pertanian, industri, perdagangan, dan sebagainya.

Kedua, aktivitas jasa perbankan (khidmat mashrifiyah) dalam berbagai bentuknya dengan menarik imbalan jasa, misalnya jasa transfer (tahwil) dan penukaran mata uang (sharf, currency exchange). Aktivitas pertama pada bank syariah ini, merupakan aktivitas yang meragukan (syubhat) karena banyaknya penyimpangan syariah yang terjadi, seperti telah dijelaskan di atas. Sedang aktivitas kedua, hukumnya jaiz (boleh) secara syari selama dilaksanakan sesuai syarat dan rukunnya.

 

Bank Syariah dalam Negara Khilafah?

Jika Khilafah berdiri suatu saat nanti, apakah bank syariah yang ada sekarang masih diperlukan? Menurut kami, bank-bank syariah seperti saat ini tidak diperlukan lagi dalam negara Khilafah nanti. Mengapa demikian? Ada dua alasan. Alasan Pertama, terkait dengan aktivitas pertama bank syariah, yaitu aktivitas perdagangan (amal tijariyah) seperti akad mudharabah, murabahah, dan musyarakah. Sebagaimana kami jelaskan sebelumnya, selama ini banyak terjadi penyimpangan syariah (mukhalafat syariyah) pada aktivitas perdagangan ini sehingga menimbulkan keraguan (syubhat) pada bank syariah. Padahal sudah menjadi tuntutan syariah, umat Islam hendaknya menjauhkan diri dari segala sesuatu yang meragukan dan yang syubhat.

Nabi SAW bersabda   :      دع ما يريبك إلى ما لا يريبك

Tinggalkan apa saja yang meragukanmu, untuk menuju apa yang tidak meragukanmu. (HR Tirmdzi dan An-Nasa`i). Maka dalam negara Khilafah, bank syariah yang penuh dengan kesyubhatan ini tidaklah diperlukan lagi. Namun umat Islam tetap dibolehkan melakukan berbagai akad mudharabah, murabahah, dan musyarakah, dan yang sejenisnya, meski tidak dilakukan oleh institusi bank syariah. Akad-akad tersebut selanjutnya boleh saja dilaksanakan oleh syirkah-syirkah Islami yang didirikan secara khusus untuk tujuan-tujuan perdagangan. Jadi, meski dalam Khilafah tak ada bank syariah, berbagai akad perdagangan seperti mudharabah, murabahah, dan musyarakah, dapat tetap dilaksanakan dalam bentuk syirkah sesuai hukum-hukum syara yang mengatur syirkah. (Asy-Syarawi, Al-Masharif Al-Islamiyah, hal. 554).

Alasan Kedua,terkait dengan aktivitas jasa perbankan (khidmat mashrifiyah) dalam berbagai bentuknya, seperti transfer, pinjam meminjam uang (qardh), dan penukaran mata uang. Aktivitas bank syariah kedua ini nanti akan diambil alih oleh Khilafah. Karena ketika Khilafah berdiri nanti, Khilafah akan menyelenggarakan berbagai pelayanan umum (al-khidmat), di antaranya : (1) jasa pos dan telekomunikasi, (2) jasa perbankan (tanpa riba), dan (3) jasa transportasi umum. (Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 105). Jasa perbankan tersebut, meliputi jasa-jasa seperti transfer, penukaran mata uang, pencetakan dinar dan dirham, dan sebagainya. Jasa-jasa perbankan ini akan dilaksanakan oleh bank-bank negara yang menjadi cabang dari Baitul Mal. (Taqiyuddin an-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustur, Juz II, hal. 157) Jadi, dalam negara Khilafah nanti tidak diperlukan bank-bank syariah seperti yang ada sekarang. Karena berbagai akad perdagangan yang dilakukannya akan dilakukan dalam bentuk pelbagai syirkah yang legal. Sedang jasa-jasa perbankan yang dilakukannya, akan diambil alih oleh bank negara yang menjadi bagian dari institusi Baitul Mal (Kas Negara) (KH. M. Shiddiq Al-Jawi). Wallahu alam.

 

DAFTAR BACAAN

An-Nabhani, Taqiyuddin, Muqaddimah Al-Dustur, Juz II, (Beirut : Darul Ummah), 2010

Anshori, Abdul Ghofur, Penerapan Prinsip Syariah dalam Lembaga Keuangan, Lembaga Pembiayaan, dan Perusahaan Pembiayaan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2008

Asy-Syarawi, Ayid Fadhl, Al-Masharif Al-Islamiyah Dirasah Ilmiyah Fiqhiyah li Al Mumarasat Al-Amaliyah, (Beirut : Ad-Dar al-Jamiiyah), 2007

Hafizh, Ramadhan, Mauqif Asy-Syariah Al-Islamiyah min Al-Bunuk wa Al-Muamalat al-Mashrifiyah, (Kairo : Darus Salam), 2005

Saidi, Zaim, Tidak Syarinya Bank Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : Delokomotif), 2010

Soemitra, Andri, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, (Jakarta : Kencana), 2009

Warde, Ibrahim, Islamic Finance Keuangan Islam dalam Perekonomian Global (Islamic Finance in the Global Economy), Penerjemah Andriyadi Ramli, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar), 2009

Zallum,Abdul Qadim, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, (Beirut : Darul Ummah), 2004.


Sunni-Syiah dalam Naungan Khilafah

Sekilas Tentang Sunni dan Syiah

Salah satu upaya kaum kafir memecah-belah kesatuan dan persatuan umat Islam adalah mengadu domba kaum Muslim melalui isu perbedaan mazhab, aliran kalam, kelompok dan golongan. Melalui agen-agennya, kaum kafir terus menanamkan fanatisme dan sentimen mazhab, kelompok dan golongan agar kaum Muslim sibuk memusuhi saudara-saudaranya sendiri dan melupakan musuh sejati mereka, yakni orang-orang kafir yang terus memerangi Islam dan kaum Muslim siang dan malam. Kaum kafir juga tidak segan-segan membentuk faksi-faksi di tubuh kaum Muslim untuk menimbulkan kesesatan, perselisihan dan permusuhan.

Di antara isu sentimen kelompok yang terus dieksploitasi untuk menghancurkan kesatuan kaum Muslim adalah isu Sunni-Syiah. Isu ini secara efektif digunakan oleh Amerika Serikat, pasca invasi di Irak, untuk memecah-belah kekuatan kaum Muslim serta mengalihkan medan pertempuran sebenarnya, yakni berperang melawan tentara Amerika Serikat, ke arah perang antara kelompok Sunni dan Syiah. Amerika Serikat juga mempersenjatai dan mendanai kelompok-kelompok di Irak untuk menimbulkan konflik internal di tubuh kaum Muslim. Dengan cara seperti itu, perlawanan kaum Muslim menjadi lemah, dan eksistensi penjajahan Amerika Serikat di Irak bisa tetap bertahan hingga sekarang.

Padahal kaum Sunni dan Syiah di Irak dan juga negeri-negeri Islam yang lain sejak ribuan tahun yang lalu bisa hidup harmonis dan berdampingan satu dengan yang lain. Tidak hanya itu saja, di sepanjang lintasan sejarah Khilafah Islamiyah, kelompok Sunni dan Syiah, mendapatkan perlakuan yang sama, baik di depan hukum maupun politik. Dalam batas-batas tertentu, pemikiran hukum dan kalam Sunni dan Syiah berkembang dan diakomodasi dengan baik oleh penguasa-penguasa Islam pada saat itu. Hal ini bisa dimengerti, karena Negara Khilafah adalah institusi politik yang bertugas mengatur urusan rakyat dengan syariah Islam, tanpa memandang lagi latar belakang agama, mazhab, golongan, suku, ras dan lain sebagainya; dan menyebarkan risalah Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad. Dalam konteks ri’ayah, Negara Khilafah berdiri di atas semua kelompok, golongan dan agama serta memperlakukan kelompok-kelompok tersebut berdasarkan ketentuan-ketentuan syariah yang dilegalisasinya. Negara Khilafah bukanlah negara milik kelompok tertentu, mazhab tertentu, atau untuk agama tertentu; tetapi ia adalah institusi yang menaungi dan mengatur seluruh entitas yang ada di dalam Daulah Khilafah Islamiyah tanpa terkecuali, berdasarkan syariah Islam.

Adapun konflik-konflik bersenjata yang terjadi pada masa Kekhilafahan jarang sekali disebabkan karena faktor perbedaan pendapat dalam bidang fikih, mazhab, maupun kelompok; tetapi lebih diakibatkan karena intrik-intrik politik di pusat-pusat kekuasaan, riddah dan bughat.

.

Perkembangan Sunni dan Syiah

1. Syiah.

Kemunculan Sunni dan Syiah dapat ditelusuri dari intrik politik seputar siapa yang paling berhak menggantikan kedudukan Nabi saw. sebagai kepala Negara. Pada awalnya, persoalan ini tidak pernah menyulut pertikaian di antara para Sahabat, kecuali hanya percikan-percikan belaka. Bahkan para Sahabat tidak pernah menjadikan masalah tersebut sebagai alat untuk menikam maupun menyerang Sahabat yang lain. Hingga masa Khalifah Ali bin Abi Thalib pun, persoalan siapa yang paling berhak menjadi khalifah atau imam, bukanlah penyebab yang menyulut terjadinya Perang Jamal maupun Perang Shiffin. Namun, persoalan ini kemudian dieksploitasi sekelompok orang untuk memecah belah kesatuan dan persatuan kaum Muslim.

Sumber-sumber terpercaya dari kalangan Sunni dan Syiah sepakat bahwa pihak yang menyebarkan benih-benih fitnah di kalangan kaum Muslim adalah orang Yahudi yang berpura-pura masuk Islam, yakni Abdullah bin Saba’1. Dialah orang pertama yang menyebarkan pemikiran-pemikiran beracun, seperti kedustaan atas nama Ahlul Bait; pendiskreditan terhadap Abu Bakar, Umar dan Utsman ra.2; pengkultusan terhadap Ali dan seruan untuk hanya berpihak kepadanya; penentangan terhadap Khalifah Utsman bin Affan ra.3; dan lain sebagainya.

Menurut Dr. Amir an-Najjar, Abdullah bin Saba’ jualah yang memiliki andil dalam mengobarkan Perang Jamal dan Perang Shiffin. Propaganda-propaganda sesat Abdullah bin Saba’ menemukan momentumnya setelah majelis tahkîm (Ramadhan, 37 H/657 Masehi) gagal menyelesaikan pertikaian antara Khalifah Ali ra. dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Kegagalan ini menyebabkan lahirnya kelompok Syiah (pendukung Ali) dan Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari kelompok ‘Ali maupun Muawiyah.4

Di kemudian hari, perselisihan tersebut tidak hanya berpengaruh dalam membentuk sikap politik kelompok Syiah dan Khawarij, tetapi juga memberikan andil dalam pembentukan pemikiran-pemikiran keagamaan mereka. Intrik ini telah bergeser sedemikian jauh dari persoalan politik ke arah persoalan ideologis. Lahirlah kelompok-kelompok yang mengembangkan ajaran-ajaran ekstrem yang tidak pernah dikenal oleh kaum Muslim sebelumnya.

Kelompok Syiah terus berkembang dan tetap eksis hingga sekarang. Yang paling menonjol adalah Syiah Itsnai ‘Asyarah (Syiah 12). Ada pula kelompok Syiah Imamiyah (Syiah 6), Syiah Zaidiyah, Kaisaniyah, Ismailiyah, Fathimiyah dan lain sebagainya. Hampir seluruh kelompok Syiah menyakini sepenuhnya bahwa hak Imamah telah ditetapkan oleh nash syariah kepada Ali ra. dan keturunannya. Hanya saja, di antara kelompok-kelompok Syiah tersebut terdapat perbedaan pendapat dalam menetapkan siapa keturunan Ali ra. yang berhak memegang tampuk Imamah. Dari sisi fikih dan akidah, kelompok Zaidiyah sangat dekat dengan Ahlus Sunnah. Oleh karena itu, karya ulama Zaidiyah juga sering dijadikan rujukan kalangan Sunni. Kelompok Zaidiyah juga tidak sampai mencela atau mencerca para Sahabat besar seperti halnya kelompok-kelompok Syiah lainnya. Kelompok Zaidiyyah memperlakukan para Sahabat sebagaimana kelompok Sunni.

2. Sunni.

Terkait dengan kelompok Sunni, keragaman pendapat dalam kelompok ini di bidang fikih, ushul fikih, kalam dan bidang-bidang lain juga sangatlah kaya. Di bidang fikih, berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hanbali, Zhahiri, dan lain sebagainya. Di bidang ilmu tauhid berkembang pemikiran Imam Asy’ari, Maturidi, Thahawi, Bazdawi, Asnawi, Isyfiraini, al-Ghazali, dan lain sebagainya. Walaupun dalam banyak persoalan mereka berbeda pendapat, para ulama Sunni telah menggariskan pokok-pokok keimanan yang tidak boleh diselisihi oleh kaum Muslim; yakni iman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Kiamat serta qadla dan qadar. Pandangan mereka terhadap persoalan Imamah atau Khilafah juga beragam. Hanya saja, seluruh ulama Sunni mengakui legalitas tiga khalifah sebelum Ali ra. serta mengakui keadilan para Sahabat Nabi saw. dan hak Kekhilafahan tidak hanya di tangan Ali ra. dan keturunannya saja meski sebagian mazhab Syafii berpandangan bahwa khalifah harus dijabat oleh suku Quraisy.

Dalam konteks kalam, pandangan Imam Asy’ari dalam menyikapi ayat-ayat shifat berbeda dengan pandangan Imam Maturidi. Selain itu, pandangan dan perlakuan ulama-ulama Sunni terhadap Ahlul Bait selalu bersandarkan pada wasiat dan pesan Nabi saw. Dalam pandangan ulama Sunni, Ahlul Bait tidaklah terjaga dari dosa alias ma’shûm sebagaimana Rasulullah saw. Hanya saja, Ahlul Bait mendapatkan kedudukan dan tempat yang sangat mulia di sisi kelompok Sunni, sebagaimana para Sahabat besar Nabi saw. yang lain.

Dalam lintasan sejarahnya yang panjang, keragaman pendapat yang terdapat pada kelompok Sunni dan Syiah pada batas-batas tertentu tidak pernah menyulut terjadinya konflik yang pelik, kecuali setelah isu Sunni-Syiah ini dipolitisasi sedemikian rupa untuk menimbulkan perpecahan di tengah-tengah kaum Muslim serta untuk kepentingan politik dan kekuasaan. Namun, dari sisi pemikiran hukum maupun politik, kalangan Sunni dan Syiah sudah terbiasa dengan perbedaan pendapat. Kedua kelompok ini bisa hidup berdampingan dan saling menghormati satu sama lain. Kenyataan ini bisa dilihat dari sikap para ulama kalangan Sunni terhadap ulama Syiah dan sebaliknya. Ulama-ulama mu’tabar dari kalangan Sunni menempatkan Ahlul Bait [yang oleh kalangan Syiah dijadikan sebagai panutan dan pemimpin mereka] pada kedudukan yang tinggi dan mulia.

Ibnu Syihab az-Zuhri (50-123 H), misalnya, seorang ulama besar dari kalangan Sunni, memberikan komentar terhadap Ali Zainal Abidin dengan ungkapan, “Saya belum menyaksikan seseorang yang lebih ahli dalam bidang hukum daripada Ali bin al-Husain. Hanya saja, beliau ini sedikit berhadis.”

Ibnu Musayyab, ulama besar Sunni yang lain melukiskan kepribadian Ali bin al-Husain, “Saya belum menyaksikan orang yang lebih wara’ daripada beliau.”

Simak juga bagaimana penilaian Muhammad bin Ali atau Abu Ja’far al-Baqir (w. 133 H) terhadap Abdullah bin Umar (w. 73 H), “Di antara para Sahabat Rasulullah, tak seorang pun jika mendengarkan sabda Rasulullah saw. bersikap lebih hati-hati untuk tidak menambahi atau mengurangi daripada Abdullah bin Umar.” (Ibnu Saad, Ath-Thabaqât, II/125).

Di sisi lain, Imam Ja’far bin ash-Shadiq pernah menjadi guru Imam Abu Hanifah (w. 150 H) dan Imam Malik bin Anas ra (w. 179 H).

Dari kalangan Syiah Zaidiyah, kaum Muslim juga mengenal Zaid bin Ali ra. Pandangan-pandangan beliau mengenai syariah, hadis dan para Sahabat besar tidak ada bedanya dengan pandangan kaum Sunni, kecuali dalam bidang Imamah (kepemimpinan). Zaid bin Ali (w. 122 H) lahir di Madinah al-Munawarah. Beliau banyak belajar dari ulama-ulama Sunni terkemuka seperti Said ibn Musayyab, Abu Bakar bin Abdurrahman, Urwah bin Zubair, Ubaidillah bin Abdillah dan ulama-ulama besar Madinah lainnya.

Bukti lain yang menunjukkan bahwa perbedaan pendapat di kalangan Sunni dan Syiah adalah kaum Muslim dari kalangan Sunni dan Syiah yang hidup di daerah Kufah, Yaman dan negeri-negeri Islam lain; mereka bisa hidup berdampingan dengan damai dan harmonis. Adanya konflik-konflik bersenjata yang terjadi di dalam sejarah Kekhilafahan lebih diakibatkan karena alasan-alasan yang bersifat politis, semacam perebutan kekuasaan dan intrik-intrik politik.

.

Kebijakan Khilafah Mempersatukan Sunni-Syiah

Pada dasarnya, untuk menciptakan stabilitas negara dan persatuan umat Islam yang sangat mejemuk dan beragam tersebut, sikap resmi Negara Khilafah dapat dijabarkan sebagai berikut;

1. Mengakomodasi pendapat dan pendirian mereka selama pendapat tersebut belum dianggap menyimpang dari akidah dan syariah Islam. Kelompok-kelompok seperti ini tetap dianggap sebagai bagian dari kaum Muslim dan diperlakukan layaknya kaum Mukmin. Mereka diberi hak untuk menyebarkan pendapat dan pendiriannya di wilayah Khilafah Islamiah tanpa ada larangan sedikit pun. Mereka juga diberi hak untuk mengakses jabatan-jabatan penting Negara Khilafah.

2. Kelompok-kelompok yang telah menyimpang dari akidah Islam, atau terjatuh pada penakwilan-penakwilan yang sesat. Mereka dihukumi sebagai kelompok yang telah keluar dari Islam (murtad). Kebijakan Negara Khilafah dalam masalah ini sangat jelas: menasihati mereka agar kembali pada jalan yang lurus, menjelaskan kesesatan pendirian mereka dan memberi tenggat waktu untuk bertobat. Jika mereka menolak dan tetap dalam pendiriannya barulah mereka diperangi.

3. Kelompok-kelompok pemikiran maupun politik yang membangkang (bughat), melakukan tindak kerusakan (hirâbah), memecah-belah persatuan dan kesatuan jamaah kaum Muslim, atau melakukan persekongkolan dengan kafir harbi. Mereka ini akan ditindak dan diperlakukan sesuai dengan ketentuan syariah Islam atas pelanggaran yang mereka lakukan.

4. Selain menegakkan sanksi yang tegas atas kelompok-kelompok yang hendak merusak kesatuan kaum Muslim dan instabilitas negara, Khilafah juga melakukan upaya-upaya edukasi yang terus-menerus mengenai pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan kaum Muslim serta meninggalkan fanatisme kelompok yang berlebihan.

Kebijakan-kebijakan di atas telah dipraktikkan oleh para khalifah pada masa keemasan Islam. Misalnya, terhadap kelompok Khawarij, Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. tidak melarang mereka shalat di masjid. Mereka juga diberi bagian rampasan perang sebagaimana kaum Muslim yang lain. Beliau juga tidak melancarkan peperangan terhadap mereka, kecuali jika mereka menyerang terlebih dulu. Ketika kelompok Khawarij kalah dalam peperangan, mereka tidak dikejar-kejar untuk dibinasakan. Mereka dibiarkan kembali ke rumah masing-masing, mendapatkan perlakuan layaknya kaum Muslim dan tetap mendapatkan keamanan dari beliau.5

Sikap seperti ini juga ditempuh oleh Umar bin Abdul Aziz terhadap kelompok Khawarij pada masanya. Beliau berdiskusi dengan mereka untuk memahamkan dan menasihati mereka agar kembali kepada jalan yang benar. Saat mereka menolak serta melakukan pembangkangan barulah beliau mengirim pasukan perang.6

Pada masa Kekhilafahan Bani Umayah, tepatnya pada masa pemerintahan Mughirah bin Syu’bah, beliau tidak menggunakan kekuatan militer karena adanya perbedaan pendapat di tengah-tengah masyarakat. Jika ada orang berkata kepadanya bahwa seseorang beraliran Syiah atau Khawarij, ia pun menjawab, “Allah membiarkan mereka saling berbeda dan Allah pun akan menghukumi para hambanya yang bersalah.”7 Namun, ketika kelompok Khawarij bergerak di Kufah, membuat kerusakan dan mengobarkan pembangkangan, beliau pun bersiap memerangi mereka.8

Kebijakan serupa juga ditempuh oleh para khalifah dari Bani Abbasiyah. Khalifah al-Muktafi pernah berkirim surat kepada Abu Said al-Janabi (seorang panglima perang dari Syiah Qaramithah) yang berisi penjelasan mengenai kesesatan kelompok mereka dan ajakan untuk menghilangkan perpecahan di antara umat Islam. Khalifah Malik Syah juga pernah mengirim surat kepada kelompok Ismailiyah untuk mengajak mereka kembali pada ajaran Islam yang benar.

Akhirnya, dari seluruh uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kesatuan dan persatuan kaum Muslim hanya bisa ditegakkan secara hakiki jika di tengah-tengah mereka ada khalifah (Khilafah) yang mengatur urusan mereka dengan syariah Islam. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]

***

.

…. teringat diskusi kita tempo hari di Jakarta, bahwa selama akidah Islam yang jadi sandaran, maka tak akan ada aral penghalang sebuah kesatuan hakiki…

.

Catatan kaki:

1 Untuk literatur Syiah, bisa dibaca karya-karya Imam al-Kasyi, an-Nubakhti dan lain-lain. Untuk literatur Sunni dapat dibaca karya Imam ath-Thabari dan lain sebagainya. Lihat: Imam al-Kasyi, Rijâl al-Kasyi, hlm. 100-101; Imam atth-Thabari, Târîkh al-Mulûk wa al-Umam, V/90.

2 Lihat: an-Nubakhti, Firqah aasy-Syî’ah, hlm. 43-44, Cet. Haidariyyah, Najaf, Iraq, 1959.

3 Tarikh Syi’ah, Rawdhah ash-Shafâ, II/292.

4 Dr Amir An Najjar, Al-Khawârij: ‘Aqîdat[an] wa Fikr[an] wa Falsafat[an] (Aliran Khawarij; Mengungkap Akar Perselisihan Umat [Terjemahan]), Penerbit Lentera, 1993, Jakarta.

5 Lihat: Ibnu Atsir, Al-Kâmil, III/169 dan 173; Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/468.

6 Lihat diskusi antara Umar bin Abdul Aziz dengan mereka dalam Ibnu Atsir, Al-Kâmil, IV/155-156. Pada masa Abu Bakar ra., beliau bertindak tegas terhadap kelompok yang menolak pensyariatan zakat serta kaum murtad yang bermunculan di jazirah Arab. Sebagaimana ketentuan syariah, orang-orang yang murtad dari Islam harus dinasehati dan diberi tenggat waktu untuk bertobat (kembali pada Islam); mereka baru diperangi jika setelah itu mereka masih tetap membangkang.

7 Ibnu Atsir, Al-Kâmil, III/210.

8 Ibid, III/212.