…. jejakku, cintaku ….

Antara Percaya dan Mempercayakan

Pernah baca buku “Setengah Isi Setengah Kosong (Half Full Half Empty)” karangan Parlindungan Marpaung terbitan MQ Publishing? Ini buku motivasi ringan yang saya baca pertama kali waktu kuliah sekitar 4 tahun lalu. Waktu itu belum begitu heboh, hingga beberapa bulan kemudian ternyata buku itu akhirnya menjadi best seller. Dan saya akui memang cukup memikat karena kemasan bahasanya yang ringan dan mudah dipahami. Saya tidak akan mereview isi bukunya, saya hanya ingin berbagi satu judul yang sering saya jadikan contoh ketika berdiskusi dengan kawan-kawan seputar keimanan. Judul cerita yang saya maksud dalam buku itu adalah “Antara Percaya dan Mempercayakan”.

Dalam cerita itu dikisahkan, suatu kali diadakan sebuah lomba menyeberangi air terjun Niagara yang dihubungkan ujung ke ujungnya dengan seutas kawat baja. Setiap peserta yang ambil bagian dalam lomba itu hanya dibekali panitia sebuah tongkat penyeimbang.

Sejak pagi lomba telah dimulai, banyak peserta yang akhirnya gagal menyeberangi air terjun itu. Hingga akhirnya ada peserta yang dengan pengalaman dan kepiawaiannya mulai menapaki kawat baja tersebut dengan mantap. Ketika sampai ditengah perjalanannya, angin mulai berhembus dengan cukup kencang, peserta lomba itupun terayun-ayun, dia berusaha mencapai keseimbangan dengan tongkatnya, dan dengan sangat hati-hati dan perlahan, dia menapakkan kakinya di kawat yang licin karena uap air terjun.

Perlahan namun pasti, peserta itu memasuki tahap terakhir dari bagian perjalanannya. Sejenak dia terhenti akibat goyangan kawat baja yang merusak keseimbangan tubuhnya. Tampaknya, uap air terjun dan angin tengah hari yang berhembus cukup kencang sangat mempengaruhi usahanya untuk mencapai seberang air terjun itu.

Akhirnya, dengan segala upaya, motivasi dan konsentrasi yang fokus, peserta ini berhasil menyeberangi air terjun Niagara dengan disertai tepuk tangan dan penganugerahan medali kehormatan sebagai satu-satunya peserta yang berhasil menyelesaikan lomba.

Tidak lama kemudian, pria ini ditantang untuk kembali lagi menyeberangi ketempat asal guna membuktikan bahwa keberhasilannya bukan karena faktor keberuntungan semata. Tantangan ini diterima oleh pria itu, dengan memberikan sebuah pertanyaan kepada panitia dan para penonton.

“ Oke saudara-saudara, saya akan menyeberangi kembali menuju tempat asal, dan satu pertanyaan saya, apakah kalian percaya saya dapat melakukan hal ini ???”. Serentak semua penonton dan panitia mengatakan, “ Percaya.!!!!!”.

Lagi pria itu bertanya :“Kalau kalian percaya saya mampu melakukan penyeberangan ini, siapakah seorang diantara kalian yang bersedia bersama-sama dengan saya menyeberangi kembali air terjun ini ?”

Semua penonton dan panitia terdiam, “ Ayo, adakah diantara kalian yang berani? “. “Jangan khawatir, saya akan menggendong , dan kita bersama-sama pasti bisa menyelesaikan pekerjaan ini!” jelasnya lagi.

Kembali suasana hening, dan banyak pula penonton dan panitia yang menundukkan wajahnya. Tidak ada yang menjawab.

Ditengah keheningan, tiba-tiba seorang anak kecil menyeruak ditengah kerumunan massa, dan mengatakan bersedia. Akhirnya, perjalanan menyeberangi kembali air terjun Niagara dimulai, dan tampaknya, memakan waktu lebih lama dari perjalanan pertama kali tadi. Melewati setengah perjalanan, penonton bersorak dengan keyakinan bahwa kedua orang itu akan tiba di seberang dengan selamat.

“Sungguh pertunjukkan yang luar biasa!” ujar reporter televisi CNN yang meliput kejadian itu. Akhirnya tibalah pria itu beserta dengan anak lelaki yang dipundaknya dengan selamat, disertai dengan sorak sorai penonton. Fokus penonton sekarang bukan lagi kepada si Pria, melainkan kepada si anak kecil. Penasaran dengan keberanian si anak kecil ini, diapun diajak naik keatas panggung dan diwawancarai oleh panitia lomba.

“Nak, mengapa kamu mau mengajukan diri untuk naik bersama-sama dengan Pria itu menyeberangi air terjun yang berbahaya ini?”, tanya ketua panitia lomba.

“Saya berani, karena dia adalah Ayah saya!”jawab anak itu singkat.

Disini terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara PERCAYA dan MEMPERCAYAKAN. Sikap penonton dalam cerita di atas adalah lambang dari “PERCAYA”, sedangkan keikut sertaan si Anak di pundak Pria itu adalah “MEMPERCAYAKAN”.

…………………………………………………………………………………………………………..

Dan itu menggambarkan sejatinya kita, jika kita bertanya kepada saudara kita sesama muslim, Percayakah kita pada Allah? Saya yakin hampir setiap kaum muslimin yang kita temui akan menjawab dengan tegas “Percaya !!”. Tapi, apakah kita sudah mempercayakan hidup kita di tangan Allah? Pencipta kita yang Maha Tahu apa yang terbaik bagi hambaNya? Jika iya, lalu mengapa masih banyak yang meragukan perintah Allah? Mengapa masih banyak yang mempertanyakan aturan Allah? Mengapa masih banyak yang tidak yakin aturan Allah pasti yang terbaik, pasti bermanfaat dan pasti mensejahterakan, terlepas apakah kita tahu atau tidak manfaatnya, tapi kepastian itu, Allahlah jaminannya.

Jika mau tahu seperti apa seharusnya kita mempercayakan hidup kita ditangan Allah, tengoklah kisah Rasulullah dan para sahabat menyikapi aturan Allah yang baru saja mereka terima. Ketika ayat pelarangan minum khamr turun, serta merta seluruh sahabat membuang kendi-kendi khamr yang mereka miliki, bahkan memuntahkan khamr yang baru saja hendak dan sudah diteguknya, hingga dikisahkan saat itu Mekah banjir khamr. Mereka seketika itu juga melaksakan perintah Allah langsung begitu seruan dalam ayatNya turun, tanpa menunda-nunda dan tanpa bertanya-tanya. Tidak ada satupun di kalangan sahabat yang bertanya dulu pada Rasulullah mengapa Allah mengharamkan khamr dan baru akan mematuhinya setelah puas mendapat jawaban Rasulullah. Padahal khamr sangat bermanfaat untuk menghangatkan tubuh karena Mekah pada malam hari sangat dingin. Tapi tak ada satupun yang melakukannya, kenapa? Jawabannya sudah jelas, keimanan membuat mereka mau mempercayakan apapun di tangan Allah.

Begitu juga kisah sahabiyah. Ketika ayat tentang kewajiban jilbab dan khimar turun, serta merta mereka mengambil dan menyobek kain apa saja yang ada di depannya, entah itu gorden, alas duduk atau apapun untuk menutupi auratnya. Seketika !! dan Tanpa Bertanya !!! Apalagi menunda-nunda dengan berbagai alasan. Dan kau pasti tahu alasannya kan? Karena tidak ada yang bisa 100% dipercaya kecuali Allah. Allah adalah jaminan akan kebaikan bagi kita, apapun itu aturannya.

Dan saya rasa semua juga pasti tahu tentang kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, putranya. Alasan apakah yang mendorong Ibrahim mau menyembelih anaknya Ismail? Tidak lain dan tidak bukan adalah Allah semata. Sesuatu yang dimata kita sangat kejam, ternyata begitu mulia di sisi Allah.

Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita untuk meragukan aturan Allah. Apapun itu !!! Apalagi mengharamkan apa yang sudah Allah halalkan seperti jihad, poligami, pembatasan usia nikah, atau pembatasan mahar bagi wanita misalnya. Kalaupun terjadi masalah itu bukan karena hukum Allah yang salah, tapi penerapannya yang tidak sesuai syariah. Jadi bukan hukumnya yang akhirnya di rubah, tapi pelaksana hukumnya yang harus mau berubah. Begitupun sebaliknya, menghalalkan apa yang Allah haramkan, seperti privatisasi sektor-sektor publik, homo, lesbi, waria, khamr, judi, riba, zina yang semakin marak dimana-mana. Jadi dalam Islam seharusnya tidak akan pernah sekalipun ditolerir adanya pernikahan sesama jenis atau lokalisasi judi sekalipun seluruh wakil rakyat setuju untuk diundangkan !!!

Aturan Allah pasti terbaik bagi hambaNya, apakah itu ekonomi, politik, tata pergaulan, pendidikan, rumah tangga baik itu dari bangun tidur hingga kita tidur lagi ataupun dari diri sendiri hingga pengaturan negara. Aturan Allah juga bukan aturan yang mustahil untuk dijalankan, karena sudah terbukti mampu mensejahterakan lebih 13 abad lamanya bertahan dan melingkupi 2/3 dunia. Dan tentu saja, kita mau melaksanakannya karena itu adalah konsekuensi keimanan kita, konsekuensi yang seharusnya membuat kita mempercayakan sepenuh hidup kita ditanganNya. Tanpa kecuali.

Jadi, sudahkah kita mempercayakan hidup kita di tangan Allah? Kita sendiri yang bisa menjawabnya. Wallahua’lam.

Tinggalkan komentar