…. jejakku, cintaku ….

Qadla dan Qadar Allah

Allah berfirman “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya.” (TQS. Ali ‘Imran [3]: 145).

Juga firman-Nya dalam surat Al-A’raaf:

Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu (ajal); maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya. (TQS. Al-A’raaf [7]: 34).

 Firman-Nya yang lain dalam surat Al-Hadid:

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (TQS. Al-Hadid [57]: 22).

Juga firman-Nya dalam surat An-Nisaa’:

“Dan jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan: “Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan: “Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang- orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (TQS. An-Nisaa’ [4]: 78).

Ayat-ayat di atas sering digunakan para ahli kalam untuk dijadikan dalil seolah manusia ”dipaksa” melakukan perbuatannya, atau seolah Allah menciptakan manusia dengan apapun yang diperbuatnya. Masalah qada dan qadar telah menjadi perdebatan dalam madzab Islam terdahulu, dimana ahlu sunnah berpendapat, ketika hendak berbuat sesuatu, Allah menciptakan perbuatan itu, dan manusia dihisab atas kehendaknya (kasb ikhtiari). Sedangkan Muktazilah berpendapat, manusia sendirilah yang menciptakan perbuatannya dan dihisab atas perbuatannya. Kemudian Jabariyah berpendapat Allah menciptakan hamba beserta perbuatannya, yang bebarti manusia dipaksa berbuat dan tidak bebas memilih, seperti bulu yang diterbangkan angin.

Berkaitan dengan perbuatan manusia, maka kita bisa melihat bahwasanya ada dua lingkaran yang melingkupinya, yaitu lingkaran yang dikuasai manusia dan lingkaran yang menguasai manusia. Dalam lingkaran yang dikuasai manusia, maka dalam hal ini manusia ikut andil dalam prosesnya, dan dia dimintai pertanggungjawaban atas prosesnya, bukan hasilnya. Jadi ketika dia berdagang, maka aktivitas/proses berdagangnya apakah sesuai syariah atau tidak (seperti menipu, barang haram, hasil mencuri, dsb) itu yang akan dimintai pertanggungjawaban. Sedangkan hasilnya apakah untung atau rugi itu mutlak ada di tangan Allah, dan manusia tidak dimintai pertanggungjawaban atas hasilnya.

Sedangkan pada lingkaran yang menguasai manusia, maka dalam hal ini manusia tidak berperan dalam menetapkannya, dan manusia tidak dimintai pertanggungjawaban di dalamnya. Contohnya adalah terlahir berkulit putih, terlahir dari keluarga miskin, cacat, pendek, perempuan/laki-laki, dsb. Betapapun besar manfa’at atau kerugiannya, disukai atau dibenci oleh manusia, meski kejadian tersebut mengandung kebaikan dan keburukan menurut tafsiran manusia —sekalipun hanya Allah yang mengetahui hakekat baik dan buruknya kejadian itu. Ini karena manusia tidak ikut andil dalam kejadian tersebut, serta tidak tahu-menahu tentang hakekat dan asal-muasal kejadiannya. Bahkan ia sama sekali tidak memiliki kemampuan untuk menolak atau mendatangkannya. Manusia hanya diwajibkan untuk beriman akan adanya qadla, dan bahwasanya qadla itu hanya berasal dari Allah SWT.

Sedangkan qadar, bahwa semua perbuatan, baik yang berada di area yang menguasai manusia ataupun di daerah yang dikuasai manusia, semuanya terjadi dari benda menimpa benda, baik berupa unsur alam semesta, manusia, maupun kehidupan. Allah SWT telah menciptakan khasiat (sifat dan ciri khas) tertentu pada benda-benda. Misalnya, api diciptakan dengan khasiat membakar. Sedangkan pada kayu terdapat khasiat terbakar. Pada pisau terdapat khasiat memotong, demikian seterusnya. Allah SWT telah menjadikan khasiat-khasiat bersifat baku sesuai dengan nizhamul wujud yang tidak bisa dilanggar lagi. Apabila suatu waktu khasiat ini melanggar nizhamul wujud, maka itu karena Allah SWT telah menarik khasiatnya. Tetapi hal ini adalah sesuatu yang berada di luar kebiasaan, seperti halnya para Nabi yang menjadi mukjizat bagi mereka.

Seperti halnya pada benda-benda yang telah diciptakan khasiat-khasiatnya, maka pada diri manusia telah diciptakan pula berbagai gharizah/naluri, yaitu naluri mempertahankan diri (gharizatun baqa), naluri menghasilkan keturunan (gharizatun nau’nau’ ) dan naluri mengagungkan sesuatu (gharizatun tadayyun) serta kebutuhan jasmani. Pada naluri dan kebutuhan jasmani ini juga telah ditetapkan khasiat-khasiat seperti halnya pada benda-benda. Misalnya, pada gharizah mempertahankan dan melestarikan keturunan (gharizatun nau’) telah diciptakan khasiat dorongan seksual. Dalam kebutuhan jasmani diciptakan pula khasiat-khasiat seperti lapar, haus, dan sebagainya. Semua khasiat ini dijadikan Allah SWT bersifat baku sesuai dengan sunnatul wujud (peraturan alam yang ditetapkan Allah).

Seluruh khasiat yang diciptakan Allah SWT, baik yang terdapat pada benda maupun naluri serta kebutuhan jasmani manusia, dinamakan qadar (ketetapan). Sebab, Allah-lah yang menciptakan benda, naluri, serta kebutuhan jasmani, kemudian menetapkan khasiat-khasiat tertentu di dalamnya. Khasiat- khasiat ini tidak datang dengan sendirinya dari unsur-unsur tersebut. Dan manusia sama sekali tidak memiliki andil atau pengaruh apapun. Karena itu, manusia wajib mengimani bahwa yang menetapkan khasiat-khasiat di dalam unsur-unsur tersebut hanyalah Allah SWT. Khasiat-khasiat ini memiliki qabiliyah (potensi) yang dapat digunakan manusia dalam bentuk amal kebaikan apabila sesuai dengan perintah Allah. Bisa juga digunakan untuk berbuat kejahatan apabila melanggar perintah Allah dan larangan-Nya.

Baik itu dilakukannya dengan menggunakan khasiat-khasiat yang ada pada benda, atau dengan memenuhi dorongan naluri dan kebutuhan jasmaninya. Perbuatannya itu menjadi baik apabila sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya, dan sebaliknya menjadi jahat apabila melanggar perintah dan larangan-Nya. Dengan demikian, semua peristiwa yang terjadi pada area yang menguasai manusia itu datangnya dari Allah, apakah itu baik ataupun buruk. Begitu pula khasiat pada benda-benda, naluri serta kebutuhan jasmani datangnya dari Allah, baik hal itu akan menghasilkan kebaikan ataupun keburukan.

Karena itu, wajib bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadla, baik dan buruknya dari Allah SWT. Dengan kata lain, ia wajib meyakini bahwa semua kejadian yang berada di luar kekuasaannya datangnya dari Allah SWT. Wajib pula bagi seorang muslim untuk beriman kepada qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT, baik khasiat-khasiat tersebut akan menghasilkan kebaikan ataupun keburukan. Manusia sebagai makhluk tidak mempunyai pengaruh apapun dalam hal ini. Ia tidak punya andil dalam masalah ajal, rizki, dan dirinya. Semua itu dari Allah SWT.

Jadi, kecenderungan seksualnya yang terdapat pada gharizatun nau’, kecenderungan memiliki sesuatu yang terdapat pada naluri mempertahankan diri (gharizatul baqa’), rasa lapar dan haus yang ada pada kebutuhan jasmaninya, semua itu datangnya dari Allah SWT. Dan manusia diminta pertanggungjawabannya bagaimana memanfaatkan potensi hidup yang diberikan, apakah sesuai perintah Allah, atau malah bertentangan. Wallahulam

Sumber : Nidzomul Islam, Taqiyyudin an Nabhani

2 responses

  1. fightingzone

    kapan2 mampir ke blog saya ya ukhti…
    salam blogger ideologis 😀

    Juli 7, 2011 pukul 18:28

  2. Reblogged this on agushamdani564.

    April 26, 2014 pukul 20:41

Tinggalkan komentar